KABARBURSA.COM - Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mencatat sebanyak 362.733 nasabah bank umum di Indonesia memiliki saldo simpanan lebih dari Rp2 miliar.
Jumlah ini tergolong besar jika dibandingkan dengan total rekening yang mencapai hampir 600 juta, tepatnya 593.307.911 rekening.
Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan, sesuai amanat Undang-Undang, LPS menjamin simpanan nasabah hingga Rp2 miliar per nasabah per bank.
“Per September 2024, rekening nasabah bank umum yang dijamin penuh hingga Rp2 miliar mencapai 99,94 persen dari total rekening,” kata Purbaya dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 20 November 2024.
Dari total rekening tersebut, sebanyak 592.944.178 rekening memiliki saldo di bawah Rp2 miliar dan dijamin penuh. Sementara itu, 362.733 rekening dengan saldo di atas Rp2 miliar hanya dijamin sebagian.
Di sektor Bank Perekonomian Rakyat (BPR) dan Bank Perekonomian Rakyat Syariah (BPRS), terdapat 15.783.681 rekening, dengan 99,98 persen atau 15.779.822 rekening memiliki saldo di bawah Rp2 miliar dan dijamin penuh. Sisanya, sebanyak 3.859 rekening memiliki saldo di atas Rp2 miliar dan hanya dijamin sebagian.
“Untuk BPR, mayoritas rekening nasabah dijamin penuh oleh LPS, yang menunjukkan besarnya peran sektor ini bagi masyarakat menengah ke bawah," tutup Purbaya.
Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Dolfie Othniel Frederic Palit menyoroti besarnya jumlah rekening dengan saldo di atas Rp2 miliar.
“Jumlah rekening nyaris mencapai 600 juta, dan dari itu ada sekitar 363.000 rekening yang saldonya di atas Rp2 miliar. Ini angka yang cukup spektakuler,” ujar Dolfie.
137 Bank di Indonesia Tutup, Mayoritas BPR dan BPR Syariah
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) melaporkan sebanyak 137 bank telah ditutup dalam kurun waktu 19 tahun terakhir, mayoritas berupa Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPR Syariah).
Proses likuidasi terhadap bank-bank tersebut telah selesai sejak LPS mulai beroperasi pada 2005 hingga September 2024.
“Sejak beroperasi pada 2005 hingga 30 September 2024, sebanyak 137 bank telah dilikuidasi, terdiri dari satu bank umum, 123 BPR, dan 13 BPR Syariah,” kata Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR, di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 20 November 2024.
Sepanjang tahun 2024 hingga triwulan III, LPS mencatat 15 BPR-BPR Syariah dicabut izin usahanya (CIU) oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Selain itu, terdapat 17 bank yang masih dalam proses likuidasi, termasuk dua bank yang masuk proses sejak tahun lalu.
Purbaya juga mengungkapkan pencapaian LPS dalam menyelamatkan satu BPR di Indramayu yang sebelumnya berstatus “bank dalam resolusi” oleh OJK.
“BPR tersebut berhasil kembali beroperasi normal pada Mei 2024, menjadi kasus pertama yang terjadi berkat kerja sama erat antara LPS dan OJK,” ujarnya.
Dalam tahun yang sama, LPS menyelesaikan likuidasi dua bank, yakni BPR Pasar Umum dan BPR Persada Guna, dengan rata-rata waktu penyelesaian 15 bulan. Selain itu, LPS mencatat peningkatan efisiensi dalam pembayaran klaim simpanan layak bayar.
Hingga triwulan III 2024, rata-rata pembayaran klaim pertama hanya memerlukan waktu lima hari kerja setelah pencabutan izin usaha, lebih cepat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
“Percepatan pembayaran klaim ini bertujuan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan, sehingga mengurangi potensi kepanikan jika ada bank yang bermasalah,” ucap Purbaya.
Purbaya menegaskan bahwa LPS terus berupaya mengubah citra dari “malaikat maut” menjadi mitra bagi nasabah.
“Sekarang, kehadiran LPS justru menjadi jaminan keamanan simpanan nasabah,” pungkasnya.
Faktor Mempercepat Kemajuan Pasar Keuangan Syariah
Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, menekankan pentingnya lima faktor utama untuk mempercepat kemajuan pasar keuangan syariah di Indonesia.
Faktor pertama yang dijelaskan adalah pentingnya inovasi produk keuangan syariah yang melampaui tiga instrumen utama, yaitu sukuk, takaful, dan wakaf.
Sebagai salah satu penerbit sukuk terbesar, Indonesia sudah memulai penerbitan Green Sukuk, yang berfokus pada optimalisasi manfaat keuangan bagi ekonomi dan lingkungan berkelanjutan.
“Kedua, akselerasi pasar keuangan syariah melalui digitalisasi ekonomi dan keuangan syariah,” kata Perry dalam acara Joint High Level Seminar and Investor Forum, hasil kolaborasi BI bersama Islamic International Liquidity Management (IILM) dan Islamic Financial Services Board (IFSB), dengan tema ‘Future Development of Product Innovation and Liquidity Management in the Islamic Financial Services Industry’ pada hari Kamis, 31 Oktober 2024.
Digitalisasi dianggap penting untuk memperluas akses dan mempercepat inklusi keuangan. Faktor ketiga adalah integrasi layanan keuangan wholesale dan ritel, yang diharapkan memperkuat keterhubungan antara lembaga-lembaga keuangan syariah, termasuk asuransi dan lembaga sosial finansial.
Perry juga menekankan faktor keempat, yaitu kebutuhan akan dukungan kerangka kebijakan yang mengutamakan manajemen risiko. Hal ini termasuk mitigasi risiko terhadap ancaman siber, risiko operasional, dan pencegahan pencucian uang yang dapat mengancam kestabilan sistem keuangan syariah.
Terakhir, faktor kelima adalah pendidikan dan literasi keuangan syariah yang lebih mendalam bagi masyarakat, guna memperkuat pemahaman publik dan meningkatkan kapabilitas sumber daya manusia di sektor ini.
Selain itu, inovasi pada instrumen keuangan syariah global juga semakin mengarah pada pembiayaan investasi berkelanjutan.
Berdasarkan Laporan Pengembangan Keuangan Islam 2023, nilai Green Sukuk dan instrumen Environmental, Social, Governance (ESG) mencapai USD24,4 miliar pada tahun 2022. Malaysia dan Arab Saudi tercatat sebagai negara terdepan dalam penerbitan Sukuk ESG, diikuti oleh Indonesia dan Uni Emirat Arab.
Integrasi teknologi semakin mendorong tumbuhnya sektor financial technology (fintech) syariah, yang semakin mempermudah akses masyarakat terhadap produk keuangan syariah.
Data Global Islamic Fintech Report 2023/2024 menunjukkan bahwa pasar fintech syariah global diperkirakan bernilai sekitar USD138 miliar pada periode 2022/23 dan akan meningkat menjadi USD306 miliar pada tahun 2027 dengan pertumbuhan tahunan gabungan (CAGR) sebesar 17,3 persen. Angka ini lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan fintech global yang diprediksi berada pada CAGR 12,3 persen di periode yang sama.
Tren investasi di sektor ini diperkirakan akan semakin menuju pada platform digital yang menawarkan layanan perbankan hingga crowdfunding syariah, sehingga keuangan syariah menjadi lebih mudah diakses, kompetitif, dan ramah pengguna.
Strategi pendalaman pasar uang syariah yang kuat juga menjadi fokus BI untuk menopang ketahanan industri terhadap guncangan likuiditas yang tidak terduga di masa depan. Hal ini juga berperan penting dalam transmisi kebijakan moneter melalui sistem keuangan syariah.
Dalam forum ini, BI bersama IILM dan IFSB menggalakkan sinergi antar pemangku kepentingan guna mempercepat pengembangan produk keuangan baru, menyempurnakan strategi manajemen likuiditas, serta menjaga stabilitas keuangan.
Kolaborasi dalam pengembangan produk ini diharapkan mampu mengatasi kesenjangan pasar dan menawarkan alternatif produk yang selaras dengan prinsip-prinsip syariah.
Acara internasional ini juga dihadiri oleh perwakilan bank sentral Uni Emirat Arab, perwakilan bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed), anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), serta perwakilan dari Kementerian Keuangan, IILM, IFSB, lembaga keuangan, akademisi, dan pelaku usaha dari berbagai negara.
Forum ini merupakan bagian dari inisiatif ISEF 2024 yang bertujuan memperkuat peran Indonesia dalam pasar keuangan syariah skala global. (*)