Logo
>

Alasan Pemerintah Masih Tahan Harga Pertalite dan Solar

Ditulis oleh Syahrianto
Alasan Pemerintah Masih Tahan Harga Pertalite dan Solar

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menegaskan bahwa harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, yakni Pertalite dan Solar, tidak akan mengalami kenaikan pada bulan Juli 2024.

    "Pertalite yang JBKP (Jenis BBM Khusus Penugasan) belum disesuaikan, seperti Solar. Kalau Pertamax Cs mungkin," kata Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama Kementerian ESDM Agus Cahyono Adi, dikutip Minggu, 30 Juni 2024.

    Meskipun demikian, Agus mengatakan bahwa hingga saat ini harga BBM nonsubsidi, yakni Pertamax series dan Dex series, belum dipastikan apakah akan ada penyesuaian atau tetap.

    “Sampai saat ini belum disesuaikan, kalau BBM umum nonsubsidi (Pertamax series dan Dex series) ditetapkan oleh badan usaha, sepanjang dalam kisaran harga formulasinya," katanya.

    Agus juga mengatakan bahwa sejauh ini Harga Minyak Mentah Indonesia atau Indonesia Crude Oil Price (ICP) cenderung stagnan.

    Meskipun, Agus mengakui, tetap ada beban berat yang berasal dari nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) terhadap rupiah. "Kalau harga minyak ICP masih stagnan, namun yang berat kursnya," katanya.

    Nilai tukar Dolar AS berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia (BI) sampai 27 Juni 2024 berada di level Rp16.324. Sementara, untuk ICP sampai 27 Juni 2024 berada di level 79,12 dolar AS per barel.

    Sementara itu pemerintah telah menahan kenaikan harga BBM, baik subsidi dan nonsubsidi, sejak awal tahun 2024.

    Harga BBM Nonsubsidi

    Menteri ESDM Arifin Tasrif dalam kesempatan sebelumnya mengungkapkan pertimbangan pemerintah menahan harga BBM untuk tetap stabil hingga Juni 2024, yakni untuk mendukung pemulihan ekonomi masyarakat setelah pandemi COVID-19.

    Gejolak harga minyak dunia, eskalasi konflik di Timur Tengah, hingga pelemahan kurs rupiah terhadap dolar AS membuat kompensasi dan anggaran subsidi BBM di dalam negeri membengkak.

    “Ya, itu kan nonsubsidi. Mau naik juga (Pertamina) melihat daya beli masyarakat,” ujar Arifin ketika ditemui di Kantor Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas).

    Ketika disinggung apakah pemerintah mengizinkan Pertamina untuk menaikkan harga BBM nonsubsidi, Arifin menyinggung bahwasanya Pertamina berkoordinasi dengan Kementerian BUMN.

    Dengan demikian, keputusan terkait naik maupun tetapnya harga BBM nonsubsidi pada Juli berada di tangan Pertamina dan Kementerian BUMN. “Pertamina kan di bawah BUMN,” kata Arifin.

    Untuk diketahui, pemerintah telah menahan kenaikan harga BBM, baik subsidi dan nonsubsidi, sejak awal tahun 2024.

    Arifin Tasrif dalam kesempatan sebelumnya mengungkapkan pertimbangan pemerintah menahan harga BBM untuk tetap stabil hingga Juni 2024, yakni untuk mendukung pemulihan ekonomi masyarakat setelah pandemi COVID-19.

    Gejolak harga minyak dunia, eskalasi konflik di Timur Tengah, hingga pelemahan kurs rupiah terhadap dolar AS membuat kompensasi dan anggaran subsidi BBM di dalam negeri membengkak.

    Arifin juga mengatakan bahwa terkait kelanjutan harga BBM subsidi dan nonsubsidi pada Juli akan dibahas bersama Menteri BUMN Erick Thohir dan Menteri Keuangan Sri Mulyani.

    Akan tetapi, hingga Jumat, 28 Juni 2024, Arifin mengungkapkan belum ada keputusan apakah harga BBM nonsubsidi akan naik pada Juli 2024. “(Keputusan harga) BBM belum putus,” kata Arifin.

    Penyesuaian Kata Pengamat

    Pengamat bidang ekonomi energi dari ReforMiner Insitute Dr.Komaidi Notonegoro menilai, penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) menjadi opsi yang cukup logis di tengah keterbatasan fiskal serta dampak pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

    "Kebijakan harga yang kurang proporsional dan terbatasnya anggaran subsidi berpotensi menimbulkan risiko ekonomi dan sosial yang besar akibat terganggunya keberlanjutan pasokan BBM di dalam negeri," ujar Komaidi dalam catatan kajian Reforminer Institute.

    Komaidi menguraikan, pelemahan nilai tukar rupiah telah berdampak terhadap keseimbangan fiskal karena mempengaruhi pos pendapatan dan belanja di APBN. Pelemahan rupiah juga memberikan dampak secara langsung terhadap harga energi di Indonesia.

    Pelemahan nilai tukar rupiah berpotensi memberikan dampak negatif terhadap kondisi fiskal Indonesia. Untuk APBN 2024, setiap pelemahan rupiah sebesar Rp100 per dolar AS berpotensi meningkatkan pendapatan negara sekitar Rp4 triliun.

    Akan tetapi, pelemahan tersebut memberikan konsekuensi terhadap meningkatnya belanja negara sekitar Rp10,2 triliun. Artinya, setiap pelemahan rupiah sebesar Rp100 per dolar AS berpotensi meningkatkan defisit APBN sekitar Rp6,2 triliun.

    Selain pelemahan rupiah, peningkatan harga minyak (ICP) juga memberikan dampak negatif terhadap kondisi fiskal Indonesia. Setiap peningkatan harga minyak sebesar 1 dolar AS per barel memang berpotensi meningkatkan pendapatan negara sekitar Rp3,6 triliun. Namun di sisi lain, peningkatan tersebut memberikan dampak terhadap meningkatnya belanja negara sekitar Rp10,1 triliun.

    "Ini bisa diartikan bahwa setiap peningkatan harga minyak sebesar 1 dolar AS per barel, berpotensi meningkatkan defisit APBN 2024 sekitar Rp6,5 triliun," kata Direktur Eksekutif ReforMiner Institute ini mewanti-wanti.

    Komaidi juga mengungkapkan, pelemahan rupiah dan peningkatan harga minyak (ICP) memberikan dampak langsung terhadap meningkatnya biaya pengadaan energi (listrik, BBM, gas) di Indonesia. Peningkatan biaya pengadaan energi di Indonesia dapat disebabkan oleh meningkatnya harga bahan baku dan selisih kurs rupiah. (*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Syahrianto

    Jurnalis ekonomi yang telah berkarier sejak 2019 dan memperoleh sertifikasi Wartawan Muda dari Dewan Pers pada 2021. Sejak 2024, mulai memfokuskan diri sebagai jurnalis pasar modal.

    Saat ini, bertanggung jawab atas rubrik "Market Hari Ini" di Kabarbursa.com, menyajikan laporan terkini, analisis berbasis data, serta insight tentang pergerakan pasar saham di Indonesia.

    Dengan lebih dari satu tahun secara khusus meliput dan menganalisis isu-isu pasar modal, secara konsisten menghasilkan tulisan premium (premium content) yang menawarkan perspektif kedua (second opinion) strategis bagi investor.

    Sebagai seorang jurnalis yang berkomitmen pada akurasi, transparansi, dan kualitas informasi, saya terus mengedepankan standar tinggi dalam jurnalisme ekonomi dan pasar modal.