KABARBURSA.COM - CoinMarketCap mencatat harga mata uang kripto terbesar alias bitcoin setelah momen halving pada Sabtu, 20 April 2024, mencapai USD65.000. Dalam 24 jam terakhir, tercatat kenaikan sebesar 1,75 persen.
Halving merupakan momen paling dinanti oleh para pegiat dan penggemar mata uang digital tersebut lantaran terjadi empat tahun sekali. Pada intinya, halving adalah perubahan teknologi dasar mata uang kripto untuk memangkas laju penciptaan bitcoin baru.
Ariston Tjendra, pengamat pasar uang, menyatakan bahwa bitcoin halving merupakan kegiatan yang mengurangi setengah jumlah persediaan bitcoin yang akan ditambang kembali di masa setelah halving.
"Berarti, ini sudah keempat kalinya halving ya. Jadi halving ini bukan mengurangi suplai yang ada sekarang," kata Ariston kepada Kabar Bursa, Minggu, 21 April 2024.
Halving, sambung Ariston, tidak serta merta membuat harga bitcoin menguat tajam, meskipun pada akhirnya akan meningkat. Buktinya, tak perlu jauh ke belakang, pada bitcoin halving kemarin, penguatan hanya terjadi sebesar satu persenan.
Harga bitcoin sebelum momen halving yang tercatat pada Kamis, 18 April, menunjukkan pada harga USD61.309. Ini merupakan tren penurunan sebesar 3,84 persen.
Dalam tujuh hari terakhir, aset kripto terbesar di dunia ini telah anjlok lebih dari 13,05 persen. Selama sebulan lamanya, nilainya merosot lebih dari 10,31 persen. Artinya penguatan terjadi tidak secara instan.
"Sementara itu, terlihat pula dari tiga periode halving sebelumnya. Pada 28 November 2012, sebulan, harga bitcoin baru mulai menguat. Selanjutnya penguatan pada 9 Juli 2016 dan 11 Mei 2020 masing-masing selama tiga dan lima bulan," ungkapnya.
Lebih lanjut, Ariston menuturkan bahwa dari histori tersebut, momen bitcoin halving akan membentuk all time baru. Namun, setiap periode penambangan tersebut memiliki keunikannya masing-masing sehingga tak ada satupun kejadian masa lalu terulang.
Menurut Ariston, jika mengambil contoh pada bitcoin halving periode 2024 ini, peristiwa geopolitik dunia seperti konflik Timur Tengah antara Iran dan Israel, rupanya memberikan sedikit pengaruh. Pada gilirannya, hal ini menciptakan kekhawatiran pasar.
"Meskipun bitcoin dipandang oleh penggemarnya sebagai mata uang yang terdesentralisasi, tapi nilai bitcoin masih terpengaruh oleh peristiwa-peristiwa tersebut seperti perubahan kebijakan moneter Bank Sentral Amerika Serikat, konflik perang, dan lainnya," papar dia.
Sayangnya, para pelaku pasar telah membuat kesimpulan. Bitcoin yang dipandang tidak dapat terpengaruh pada kondisi geopolitik maupun keuangan negara, ternyata dapat disimpulkan sebaliknya.
"Pelaku pasar sudah memposisikan bitcoin sebagai aset berisiko sehingga bitcoin berpeluang tertekan di tengah konflik yang terjadi saat ini," ujarnya, menambahkan.