KABARBURSA.COM – Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal, menilai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 belum menunjukkan sense of urgency yang memadai dalam menghadapi tantangan ekonomi mendatang.
Menurutnya, besaran defisit dan kebijakan pemerintah saat ini kurang tepat untuk kondisi perekonomian yang sedang dihadapi.
“APBN 2025 belum secara efektif merespons tantangan ekonomi mendatang. Dari sisi belanja, kami memperkirakan realisasi belanja akan turun signifikan pada semester pertama tahun 2025 akibat proses konsolidasi kelembagaan dan tingginya efek perbandingan dari periode sebelumnya,” ujar Faisal saat ditemui di Cikini, Jakarta Pusat, Minggu, 24 November 2024.
Presiden Prabowo Subianto telah membentuk Kabinet Merah Putih yang terdiri atas 48 kementerian, 56 wakil menteri, serta 14 kementerian baru. Selain itu, tujuh badan baru, termasuk Badan Teknologi, Informasi, dan Intelijen Keuangan serta Badan Pengendalian Pembangunan dan Investigasi Khusus, juga telah dibentuk.
Faisal menyoroti bahwa penambahan struktur ini dapat berdampak pada lambatnya penyerapan anggaran. “Proses konsolidasi kelembagaan akan menghambat implementasi program di semester pertama, meskipun total anggaran meningkat. Selain itu, struktur baru ini meningkatkan potensi pelebaran defisit APBN 2025,” jelasnya.
Belanja modal pada APBN 2025 dipangkas tajam dari Rp338,9 triliun menjadi Rp190,6 triliun. Pemangkasan ini termasuk pengurangan anggaran Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) sebesar 54,04 persen. Faisal menilai langkah ini kontraproduktif, terutama di tengah perlambatan ekonomi yang memerlukan stimulus fiskal lebih besar.
“Stimulus dari belanja modal memiliki efek pengganda yang signifikan terhadap perekonomian. Sayangnya, kesalahan pengelolaan fiskal selama bertahun-tahun telah mempersempit ruang fiskal, dengan belanja non-diskresioner seperti bunga utang kini mencapai tiga kali lipat dari belanja modal,” tambahnya.
Faisal juga mengingatkan bahwa pembentukan kementerian dan lembaga baru dapat mendorong peningkatan belanja pegawai, barang, dan operasional. Hal ini akan memberikan tekanan tambahan pada APBN yang sudah terbebani.
“Pemerintah perlu mengevaluasi ulang prioritas belanja dan kebijakan perpajakan secara lebih mendalam. Jika tidak ada perencanaan matang, pelebaran defisit hanya akan memperburuk tekanan terhadap perekonomian nasional,” katanya.
Dari sisi penerimaan negara, Faisal memperingatkan risiko shortfall akibat melemahnya konsumsi rumah tangga, penurunan harga komoditas, dan permintaan ekspor yang lesu dari negara tujuan utama seperti China, Amerika Serikat, dan India.
Ia juga menyoroti dampak kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen yang akan berlaku mulai Januari 2025.
“Kenaikan PPN ini berpotensi menekan daya beli masyarakat, mengurangi transaksi barang dan jasa, serta pada akhirnya memperlambat penerimaan negara,” jelasnya.
Sebagai perbandingan, Faisal mencatat bahwa tarif PPN di Malaysia dan Thailand masing-masing hanya 8 persen dan 7 persen, sedangkan China menggunakan sistem tarif PPN multi-level dengan kisaran 6–13 persen.
Selain itu, Faisal mengkritisi rencana penerapan Tax Amnesty Jilid III yang dinilai berpotensi menurunkan tingkat kepatuhan pajak. “Jika masyarakat menganggap kebijakan ini sebagai peluang untuk menghindari kewajiban pajak tanpa konsekuensi, tingkat kepatuhan pajak jangka panjang dapat terancam,” tegasnya.
APBN 2024 Defisit
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan perkembangan terbaru mengenai APBN 2024. Per 31 Oktober 2024, defisit anggaran tercatat sebesar Rp309,2 triliun, atau sekitar 1,37 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Meski angka ini masih menunjukkan defisit, Sri Mulyani menyebutkan bahwa defisit tersebut lebih kecil dibandingkan dengan target yang telah ditetapkan sebelumnya, yaitu sebesar 2,29 persen dari PDB.
Sri Mulyani menjelaskan bahwa defisit ini menggambarkan selisih antara pendapatan negara yang lebih rendah dibandingkan dengan pengeluaran pemerintah. Namun, ia menambahkan, dari sisi keseimbangan primer, APBN masih menunjukkan surplus sebesar Rp97,1 triliun.
Hingga akhir Oktober 2024, pendapatan negara tercatat mencapai Rp2.247,5 triliun, yang hanya naik tipis 0,3 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Pendapatan tersebut terdiri dari penerimaan pajak, bea cukai, serta pendapatan negara bukan pajak (PNBP).
Sementara itu, belanja negara tercatat sebesar Rp2.556,7 triliun, yang mengalami lonjakan signifikan sebesar 14,1 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Angka ini setara dengan 76,9 persen dari total anggaran belanja yang telah ditetapkan, yang meliputi belanja Kementerian/Lembaga (K/L), belanja non K/L, dan transfer ke daerah.
“Pertumbuhan belanja negara ini cukup tinggi, mencapai 14,1 persen year on year (yoy), dan berdampak positif terhadap perekonomian,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTA di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat, 8 November 2024.
Tarik Utang Baru Rp438 Triliun
Untuk menutupi defisit anggaran, pemerintah telah menarik utang baru sebesar Rp438,1 triliun hingga akhir Oktober, yang setara dengan 67,6 persen dari target penarikan utang 2024 sebesar Rp648,1 triliun.
Wakil Menteri Keuangan II Thomas Djiwandono menjelaskan bahwa pembiayaan utang dikelola secara efisien dengan menjaga risiko tetap terkendali.
“Kinerja pembiayaan tetap on track dan dikelola dengan baik,” kata Thomas.
Sebagian besar dari penarikan utang tersebut berasal dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) neto yang mencapai Rp394,9 triliun, atau sekitar 59,3 persen dari target penerbitan SBN 2024. (*)