KABARBURSA.COM - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyuarakan kekhawatirannya terhadap potensi dampak ekonomi nasional yang ditimbulkan oleh aturan cuti 6 bulan bagi ibu hamil dan melahirkan dalam Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA).
Ketua Bidang Regulasi Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Myra M Hanartani, menekankan perlunya kejelasan dan pertimbangan matang terkait ketentuan tersebut.
"Kami ingin memperjelas kembali pasal mengenai cuti ini, khususnya terkait cuti hamil dan melahirkan. Apakah benar-benar otomatis 6 bulan? Atau ada persyaratan dan kondisi tertentu?" kata Myra saat dihubungi Kabar Bursa, Selasa, 11 Juni 2024.
Kekhawatiran Apindo berpusat pada beban finansial tambahan yang akan ditanggung perusahaan. Myra mencontohkan, perusahaan harus membayar gaji karyawan yang cuti selama 6 bulan, sekaligus merekrut dan melatih karyawan baru untuk mengisi posisi tersebut. Hal ini, menurut dia, tentu dapat mengganggu operasional dan produktivitas perusahaan.
"Secara logika, ketika cuti menjadi 6 bulan, perusahaan tidak hanya membayar gaji selama 6 bulan, tetapi juga menanggung biaya perekrutan dan pelatihan karyawan baru. Potensi kerugiannya bisa mencapai triliunan rupiah," kata Myra.
Lebih lanjut, Myra mempertanyakan perlunya regulasi yang lebih rinci terkait kondisi-kondisi yang memungkinkan cuti tambahan 3 bulan setelah cuti hamil dan melahirkan. Menurutnya, aturan yang kaku dan tanpa kejelasan dapat memicu penyalahgunaan dan menambah beban perusahaan.
"Harus ada regulasi yang jelas tentang kondisi apa yang memungkinkan cuti tambahan 3 bulan. Jika tidak, dikhawatirkan akan terjadi penyalahgunaan dan semakin memperbesar beban perusahaan," tegas Myra.
Menurut dia, Apindo tidak menentang prinsip kesejahteraan pekerja dan hak ibu hamil dan melahirkan. Namun, Myra menekankan pentingnya keseimbangan antara hak pekerja dan kelangsungan usaha.
"Kami tidak menentang hak ibu hamil dan melahirkan. Justru, kami ingin memastikan agar hak ini dapat dipenuhi dengan cara yang bertanggung jawab dan tidak merugikan perusahaan," papar Myra.
Myra tak menampik peluang pemanfaatan teknologi untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas perusahaan selama masa cuti karyawan. Namun hal ini tidaklah sederhana, perlu ada penyesuaian pada masing-masing sektor perusahaan.
"Teknologi dapat menjadi solusi untuk membantu perusahaan tetap produktif selama masa cuti karyawan. Namun, perlu diingat bahwa penerapan teknologi juga membutuhkan biaya dan waktu," kata Myra.
Apindo mengakui akan ada potensi kerugian secara nasional jika UU KIA diterapkan tanpa kejelasan yang memadai. Jika memakai data Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai jumlah tenaga kerja perempuan di Indonesia yang mencapai 54.615.804 orang, maka kerugian yang bisa ditimbulkan dari cuti tersebut mencapai ratusan triliun dengan jenjang waktu berkala. Namun, Myra tak ingin berspekulasi mengenai data tersebut karena Apindo tak punya kapasitas menghitung ekonomi makro.
Tidak Ada Hal yang Baru di UU KIA
Pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Indonesia, Payaman Simanjuntak, sebelumnya mengatakan secara substansi, UU KIA sebenarnya tidak membawa banyak hal baru.
“Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 sudah mengatur perlindungan upah bagi karyawan yang sakit, termasuk karyawan yang melahirkan,” ujarnya.
Dalam aturan tersebut, karyawan yang sakit tetap menerima upah penuh selama tiga bulan pertama, kemudian 75 persen selama tiga bulan kedua, 50 persen pada tiga bulan ketiga, dan 25 persen pada tiga bulan keempat. Suami juga diizinkan cuti dua hari bila istrinya melahirkan.
Namun, perbedaan utama dalam UU KIA adalah kesan bahwa cuti enam bulan tersebut bersifat otomatis. Hal ini memunculkan kekhawatiran bahwa pengusaha akan lebih enggan mempekerjakan perempuan yang baru menikah atau yang berpotensi hamil dalam waktu dekat.
“Jika cuti enam bulan itu menjadi diberlakukan otomatis, pengusaha bisa menjadi bersikap enggan menerima pekerja wanita yang baru kawin,” kata Payaman.
Pemberlakuan cuti enam bulan ini diprediksi akan memberikan dampak ekonomi yang signifikan, terutama bagi perusahaan kecil dan menengah yang banyak menyerap tenaga kerja perempuan.
Adapun Peneliti Senior Pusat Riset Kependudukan BRIN, Andi Ahmad Zaelany, mengatakan perusahaan menghadapi tantangan besar dalam memastikan kelangsungan operasional mereka. Meskipun ada ketentuan yang mengatur perlindungan upah, bagi perusahaan kecil dan menengah, membayar gaji penuh selama enam bulan tanpa kontribusi dari karyawan yang sedang cuti bisa menjadi beban finansial yang berat.
Mereka harus mencari cara untuk menutup kekosongan tersebut, baik melalui rekrutmen sementara atau redistribusi tugas, yang keduanya memerlukan biaya dan usaha tambahan.
“Akan sangat berat bagi perusahaan yang komposisi tenaga kerjanya didominasi pekerja perempuan. Apabila banyak yang cuti hamil pada saat yang bersamaan, akan kekurangan banyak tenaga kerja dan menanggung beban pengupahan yang besar,” kata Andi.
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.