KABARBURSA.COM - Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (Apsyfi) menggarisbawahi bahwa kinerja subsektor serat dan benang filamen dalam industri tekstil dan produk tekstil (TPT) belakangan ini mengalami stagnasi yang sulit untuk pulih.
Redma Gita Wirawasta, Ketua Umum Apsyfi, menjelaskan bahwa utilisasi kapasitas produksi dalam industri benang filamen saat ini hanya mencapai 45 persen sehingga menyebabkan beberapa perusahaan hanya dapat beroperasi dengan skala usaha yang kecil, menggunakan sebagian kecil dari kapasitas produksi mereka.
"Beberapa perusahaan hanya jalan (produksi) yang asalnya cuma punya 4 line, (kini) hanya jalan 2 line. Kalau yang kecil misalnya punya 2 line (yang dijalankan) hanya satu line," katanya.
Jika kondisi ini terus berlanjut, Redma mengatakan pelaku sektor industri benang filamen akan jatuh ke ambang batas efisiensi. Dengan kata lain, bila utilisasi kapasitas terus berada di bawah 45 persen, perusahaan menghadapi pilihan sulit yakni menutup operasionalnya.
"Jadi polimerisasinya masih segitu-gitu aja. Sebetulnya posisinya juga sudah hampir minim sekali. Minim sekali itu maksudnya kalau kita terusin lagi ya pilihannya tutup, karena sudah enggak efisien karena sudah enggak jalan kalau di bawah 45 persen, 40 persen. Jadi pilihannya tutup," jelasnya.
Meskipun ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) masih membayangi, Redma meyakini industri benang filamen akan berusaha keras untuk menghindarinya.
"Kalau kemungkinan besar PHK, ya masih ada kemungkinan. Namun, kita tetap bertahan supaya enggak PHK. Karena kalau PHK ya tutup semua nantinya (pabrik), kalau tutup full semuanya, susah nanti untuk jalan lagi," tuturnya.
Peritel Diminta Prioritaskan Dalam Negeri
Selain itu, Redma juga mengajukan permintaan agar peritel lebih memprioritaskan produk dalam negeri dan mengadopsi semangat nasionalisme. Permintaan ini muncul setelah Asosiasi Pengusaha Ritel Merek Global Indonesia (Apregindo) melakukan protes terhadap Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 3 Tahun 2024, yang mengubah ketentuan dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor yang mulai berlaku sejak 10 Maret lalu.
Menurutnya, sejak diberlakukannya peraturan ini, tren kinerja di sektor industri tekstil dan produk tekstil (TPT) mulai ke arah positif dan seluruh stakeholder industri TPT nasional menghendaki agar aturan ini tetap berjalan tanpa perubahan dan penundaan.
Sebelumnya, Apregindo keberatan dengan pemberlakuan aturan ini hingga meminta penundaan dan menyoroti peraturan teknis (Pertek) yang dianggap memberatkan untuk proses impor.
“Justru memang itu tujuannya, perintah Presiden Oktober tahun lalu sangat jelas agar impor lebih dikendalikan karena sudah pada level yang membuat PHK di mana-mana. Melalui Permendag ini pemerintah mengatur agar impor-impor itu disubstitusi oleh barang lokal," ujar Redma.
Terkait dengan Pertek yang dikeluhkan Apregindo, Redma menyatakan bahwa peraturan ini terbit di bulan Desember 2023 harusnya sudah bisa urus Pertek-nya berdasarkan Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) No. 5 tahun 2024.
“Anggota Apregindo juga sudah mengantongi Persetujuan Impor (PI) sampai akhir tahun 2024. Untuk impor 2025 masih punya waktu 9 bulan, kan tinggal diurus saja,” tambah Redma.
Selanjutnya, Redma meminta agar para peritel lebih nasionalis dan lebih mengakomodir barang-barang lokal dibanding barang-barang impor. Pasalnya, merek-merek lokal juga banyak yang berkualitas bagus dan berkelas. "Kalau tidak diberi kesempatan masuk mal, mereka sulit berkembang dan Indonesia akan terus bergantung pada produk impor," imbuhnya.
TPT Penyerap Tenaga Kerja
Sektor TPT sendiri merupakan sektor penyerap tenaga kerja terbesar setelah makanan dan minuman (mamin) di industri manufaktur. Kontribusinya per tahun mencapai lebih dari 3 juta pekerja atau hampir 20 persen dari total serapan tenaga kerja nasional. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, sektor ini dilanda kemalangan seiring dengan badai PHK yang berbanding lurus dengan makin turunnya permintaan.
Bahkan, pada awal 2023 jumlah korban PHK di Indonesia menembus 13.634 orang. Tak hanya itu, korban PHK terbanyak saat itu tercatat berasal dari wilayah Jawa Barat sejumlah 5.603 orang, disusul Jawa Tengah 4.887 orang. Kedua provinsi tersebut diketahui merupakan basis industri TPT di Tanah Air.
Hal ini jadi sejalan dengan catatan Apsyfi, yang melaporkan penurunan volume ekspor menjadi 72,75 ribu ton dari bulan sebelumnya sebanyak 73,38 ribu ton. Di sisi lain, impor serat dan benang filamen juga anjlok dari 41,57 ribu ton pada Januari menjadi 31,04 ribu ton bulan berikutnya.
Secara nilai, ekspor serat dan benang filamen per Februari 2024 mencapai USD104,29 juta, anjlok dari bulan sebelumnya yang sebesar USD103,15 juta. Adapun, impornya pada Februari mencapai USD46,45 juta, turun dari bulan sebelumnya USD59,93 juta ton.
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.