KABARBURSA.COM – Rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk membawa Bank DKI melantai di bursa saham mendapat dukungan dari analis pasar uang senior, Ibrahim Assuaibi. Ia menilai langkah itu tidak hanya strategis dari sisi bisnis, tetapi juga penting secara politis dan ekonomi dalam transisi status Jakarta dari Ibu Kota Negara menjadi Daerah Khusus Jakarta (DKJ).
Menurut Ibrahim, langkah ini merupakan momentum terbaik yang harus dimanfaatkan Pemprov sebelum perhatian pemerintah pusat dan investor global bergeser sepenuhnya ke Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan.
“Bank DKI ini sangat siap dari segi kinerja dan tata kelola. Kalau mau listing, sekaranglah saat yang tepat. Begitu pusat pemerintahan pindah, spotlight dari Jakarta akan berkurang. Jangan sampai momentum ini hilang,” ujar Ibrahim kepada KabarBursa.com, Sabtu, 3 Mei 2025.
Ibrahim menilai Bank DKI selama ini menunjukkan performa yang stabil dengan tata kelola yang relatif baik jika dibandingkan dengan bank-bank daerah lainnya seperti Bank Jabar atau Bank Jateng.
“Kalau bicara track record, Bank DKI ini hampir bersih dari kasus-kasus korupsi atau skandal yang mencoreng. Manajemennya cukup profesional. Ini warisan dari pembenahan zaman Jokowi-Ahok di Pemprov DKI dulu, dan tampaknya masih berlanjut hingga sekarang,” kata Ibrahim.
Ia menyebut profesionalisme dan kehati-hatian manajemen Bank DKI selama ini menjadi modal penting untuk memasuki pasar modal. Kepercayaan publik, katanya, adalah aset paling berharga saat melantai di bursa.
“Market trust itu nomor satu. Dan Bank DKI punya itu. Belum ada catatan buruk yang signifikan. Ini bisa jadi nilai tambah saat IPO nanti,” ujarnya.
IPO: Pilihan di Tengah Berkurangnya Subsidi Pusat
Menurut Ibrahim, alasan lain mengapa IPO Bank DKI menjadi mendesak adalah berkurangnya dukungan fiskal dari pemerintah pusat begitu Jakarta tidak lagi berstatus Ibu Kota Negara.
“Selama ini DKI Jakarta dapat banyak subsidi dan perhatian karena statusnya sebagai ibu kota. Tapi nanti, saat DKJ resmi berjalan, anggaran pusat pasti lebih terbatas. Sumber pembiayaan pembangunan akan lebih banyak ditarik dari potensi daerah sendiri, termasuk melalui BUMD,” jelasnya.
Bank DKI, kata Ibrahim, harus menjadi ujung tombak kemandirian fiskal daerah. Dan untuk bisa memperbesar kapasitas modalnya, opsi yang paling logis dan terbuka adalah IPO.
“IPO ini bukan soal gaya-gayaan. Ini soal survival dan ekspansi. Pemerintah DKI harus sadar bahwa tantangan pembiayaan akan jauh lebih besar saat mereka tidak lagi jadi 'pusat negara',” ujarnya.
Meski demikian, Ibrahim memperkirakan saham yang akan dilepas ke publik tidak akan lebih dari 10-15 persen dari total kepemilikan.
“Market maker tetap dipegang mayoritas oleh pemerintah atau Bank DKI sendiri. Hanya sebagian kecil saham yang akan dilempar ke publik. Ini hal yang lumrah di IPO perusahaan daerah,” katanya.
Meski demikian, ia menekankan bahwa persentase kecil ini tetap bisa memberikan dampak besar dalam hal transparansi, efisiensi, dan akses permodalan.
“Walau cuma 15 persen, tetap harus tunduk pada regulasi pasar modal. Ini akan mendorong manajemen lebih transparan dan profesional, karena ada pemegang saham publik yang mengawasi,” tutup Ibrahim.
IPO Bank DKI Butuh Momentum Tepat
Ibrahim menyebutkan bahwa langkah Bank DKI untuk mencatatkan sahamnya di bursa merupakan kesempatan berharga bagi warga Jakarta agar bisa memiliki kepemilikan di bank milik daerah mereka.
Ia menilai, keterjangkauan harga saham akan menjadi faktor penting dalam menarik investor ritel. “Kalau ingin masyarakat DKI bisa berpartisipasi, ya harus lebih murah. Mungkin di bawah Rp500 per lembar saham, masyarakat akan antusias,” katanya.
Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, menyampaikan bahwa proses penawaran saham perdana (IPO) Bank DKI ditargetkan rampung dalam waktu lima bulan hingga satu tahun.
“Mudah-mudahan dalam waktu lima, enam bulan atau paling lama satu tahun, Bank DKI sudah bisa IPO,” ujar Pramono.
Meskipun memberikan dukungan, Ibrahim mengingatkan bahwa pelaksanaan IPO memiliki tantangan tersendiri. Ia menekankan pentingnya mempertimbangkan waktu pelaksanaan serta kondisi pasar.
“Kalau dilakukan saat IHSG sedang lesu atau saat ada tekanan eksternal, minat investor bisa rendah. Maka dari itu, perlu waktu dan kalkulasi yang matang. Jangan terburu-buru tapi juga jangan kelamaan,” jelasnya.
Ia juga menggarisbawahi pentingnya memperhatikan situasi industri perbankan secara nasional. “Ada tekanan bunga tinggi, likuiditas ketat, dan risiko kredit meningkat. Semua ini harus dihitung agar tidak jadi bumerang saat IPO,” katanya.
Ibrahim berharap bahwa IPO Bank DKI dapat menjadi contoh positif bagi BUMD lainnya, terutama di kota-kota besar yang memiliki potensi pasar dan basis pelanggan yang kuat.
“Kalau sukses, ini bisa jadi benchmark. Bahwa BUMD bisa profesional, bisa transparan, dan bisa menarik minat investor. Ini penting untuk transformasi ekonomi daerah,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa IPO bukanlah garis akhir, melainkan langkah awal menuju perubahan menyeluruh di tubuh BUMD.
“Setelah IPO, pekerjaan besar baru dimulai: meningkatkan layanan, memperkuat manajemen risiko, dan memperluas jangkauan. Tapi ini hanya bisa dilakukan kalau ada kemauan politik dan kepemimpinan yang kuat dari Pemprov,” tutup Ibrahim.(*)