KABARBURSA.COM - Bank Indonesia (BI) diperkirakan menahan suku bunga acuan di level 5,0 persen pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang dijadwalkan Rabu 17 September 2025.
Sejak September 2024 hingga Agustus 2025, BI telah memangkas BI Rate sebesar 125 basis poin. Ruang untuk berhenti sementara kini terbuka lebar setelah siklus pelonggaran moneter yang berlangsung agresif sepanjang setahun terakhir. “Momentum saat ini mendukung BI untuk menahan bunga,” jelas Rully Arya Wisnubroto, Chief Economist & Head of Research PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia, dalam riset yang dirilis.
Ekspektasi kebijakan moneter itu ikut mengangkat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang melaju di awal pekan. Pada perdagangan Senin, IHSG ditutup naik 1,1 persen ke level 7.937,1, melanjutkan reli empat hari beruntun. Dukungan terbesar datang dari derasnya arus modal asing. Untuk pertama kalinya dalam 13 hari terakhir, asing mencatatkan net buy Rp1,05 triliun, setelah sebelumnya pasar terguncang ketidakstabilan politik di akhir Agustus.
Saham-saham yang paling banyak diserap investor asing antara lain PT Bumi Resources Minerals Tbk (BRMS) dengan net inflow Rp308 miliar dan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) Rp219 miliar.
Tekanan Global dan The Fed
Dari eksternal, sorotan tertuju pada Federal Reserve (The Fed) yang diperkirakan memangkas suku bunga acuan Federal Funds Rate (FFR) sebesar 25 basis poin menjadi 4,25 persen pada rapat FOMC 17 September 2025.
Keyakinan pasar global kian kuat. Berdasarkan indikator CME FedWatch, probabilitas pemangkasan 25 bps mencapai 96,4 persen, sementara peluang pemangkasan lebih dalam 50 bps hanya 3,6 persen.
Menurut Rully, ekspektasi pelonggaran moneter ini dipicu pelemahan sektor tenaga kerja AS. Data Non-farm Payroll (NFP) Agustus hanya mencatat 22 ribu, jauh di bawah konsensus 75 ribu, bahkan lebih rendah dari Juli 79 ribu. Pada Juni, NFP sempat terkontraksi 13 ribu—penurunan bulanan pertama sejak 2020.
Tingkat pengangguran kini naik menjadi 4,3 persen, level tertinggi hampir empat tahun. Ironisnya, di saat bersamaan, inflasi IHK AS justru meningkat ke 2,9 persen yoy di Agustus, tertinggi dalam delapan bulan. “Ini sinyal risiko stagflasi,” ujar Rully.
Fenomena tersebut, menurutnya, erat kaitannya dengan kebijakan pemerintahan Donald Trump, khususnya tarif impor baru yang masif serta regulasi ketenagakerjaan yang kian ketat.
Dolar Melemah, Rupiah Terbantu
Tren pelemahan dolar AS juga terlihat dari indeks DXY yang bertahan di kisaran 97–98 sepanjang sepekan terakhir. Rupiah, yang sempat tertekan akibat gejolak politik domestik, ikut menguat seiring melemahnya greenback.
“Dengan latar belakang ini, kami perkirakan BI akan tetap menahan suku bunga pada RDG pekan ini. Apalagi sejak September 2024 hingga Agustus 2025, BI sudah cukup agresif memangkas 125 bps,” pungkas Rully.