KABARBURSA.COM - Pinjaman subordinasi perpetual senilai Rp3 triliun dari KB Kookmin Bank ke PT Bank KB Bukopin Tbk (BBKP) terdengar seperti suntikan energi di tengah musim yang serba ketat.
Namun “abadi” di sini bukan hibah yang tak perlu dikembalikan, melainkan instrumen utang berperingkat paling junior, yaitu tanpa jatuh tempo, kupon dibayar berkala, dan umumnya diakui sebagai modal regulasi (additional capital) untuk memperkuat permodalan.
Karena sifatnya subordinasi, instrumen ini berada di bawah utang lain jika terjadi likuidasi, tetapi tetap utang yang menimbulkan beban bunga. Itulah mengapa manajemen menegaskan dana ini dipakai untuk refinancing utang lama berbunga lebih tinggi.
Tujuan langsungnya adalah menurunkan cost of fund dan memberi ruang likuiditas, bukan menghapus kewajiban.
Di atas kertas, langkah ini masuk akal. Struktur modal bank membaik, Capital Adequacy Ratio berpotensi terdongkrak, dan tenor “abadi” memberi napas pendanaan lebih panjang. Tetapi efek akhirnya pada laba tetap bergantung pada disiplin penyaluran kredit dan kualitas asset.
Dua hal yang juga disorot direksi, yaitu mengejar quality credit, mengerem NPL, dan memanfaatkan sinergi dalam grup KB Financial (syariah, asuransi, multifinance, investasi) untuk mengangkat TPK dan basis nasabah.
Jika eksekusi rapi, kupon yang lebih murah dari utang lama bisa net-net akretif ke margin. Jika tidak, beban kupon tetap menjadi biaya tetap yang menekan profit.
Melihat fundamental terbaru, BBKP masih dalam fase pemulihan yang rapuh. Secara TTM, bank mencatat rugi bersih Rp2,8 triliun, ROE -33 persen, ROA -3,36 persen, dan Arus Kas Operasi TTM -Rp6,98 triliun. Data ini menjadi lukisan yang jauh dari ideal.
Altman Z -0,75 menempatkan profil risiko di zona rentan, sedangkan financial leverage 9,96x dan Total Liabilities/Equity 8,97x menegaskan struktur liabilitas yang berat untuk bank dengan profitabilitas yang belum stabil.
Ada kilau harapan muncul, yaitu Q1 2025 dan Q2 2025 kembali mencatat laba (Rp352 miliar dan Rp37 miliar), sehingga secara annualised pendapatan bersih berpotensi Rp779 miliar.
Ini yang membuat P/E annualised tampak 17,9x. Tetapi “annualised” adalah proyeksi berbasis dua kuartal awal, di mana TTM masih merah sehingga P/E TTM negatif. Dengan kata lain, pemulihan mulai terlihat, namun belum mapan.
Bagaimana dengan valuasi di harga pasar kini (sekitar Rp70–80 per saham dari jejak pergerakan terakhir)? Book value per share (BVPS) ~Rp44,7 menempatkan P/B ≈ 1,6–1,8x.
Untuk bank yang ROE TTM negatif dan baru meniti balik, kelipatan buku setinggi itu mengasumsikan pemulihan cepat menuju profitabilitas dua digit. Secara konservatif, skenario wajar untuk bank yang baru membaik adalah P/B 0,7–1,1x, bergantung pada bukti penurunan NPL, normalisasi biaya kredit, dan kesinambungan laba.
Dengan jangkar itu, harga wajar berbasis P/B berada di Rp31–Rp49 (0,7–1,1x × Rp44,7). Jika manajemen sukses mengantar ROE 8–10% dan menjaga kualitas aset, re-rating ke P/B 1,0–1,2x memberi Rp45–Rp54. Artinya, harga saat ini sudah memuat ekspektasi pemulihan yang agresif.
Ada Peluang Rebound, tapi Pemberat Kinerja Muncul
Dari sisi pergerakan saham, tren jangka menengah menunjukkan rebound (3–6 bulan: +25 persem s.d. +48 persen), tetapi jangka panjang masih tertekan dibanding beberapa tahun lalu. Free float ~15–16 persen membuat harga sensitif terhadap aliran order.
Artinya, ketika sentimen menguat, kenaikan bisa cepat, namun arah sebaliknya juga bisa tajam. Itulah konteks kenapa kabar pendanaan “murah” dari induk mudah memantik antusiasme. Padahal, efek bersihnya tergantung disiplin eksekusi di neraca dan kredit.
Apakah perpetual loan ini memperberat kinerja? Tidak otomatis. Bila benar-benar mengganti utang lama yang lebih mahal, total beban bunga bisa turun, dan modal regulasi naik. Ini adalah gabungan yang membantu laba ke depan.
Yang bisa memperberat adalah jika pertumbuhan kredit tidak berkualitas sehingga biaya pencadangan kembali menggembung. Saat itu, kupon tetap menjadi beban yang tidak bisa dihindari. Kuncinya ada pada realisasi janji, yaitu quality loan, sinergi grup untuk menurunkan cost of risk, dan stabilisasi pendanaan murah (CASA).
Bagi investor, sinyal keseluruhan belum “aman total”, tetapi menuju lebih sehat jika dua kuartal laba tadi berlanjut dan metrik risiko membaik. Pendekatan bijaknya adalah anggap kisah BBKP sebagai turnaround yang masih on trial.
Di harga sekarang yang implisit >1,6x buku, pasar seolah memberi nilai di muka atas pemulihan. Bagi yang sudah pegang dari bawah, mengunci sebagian saat reli, sambil menilai data NPL, coverage, dan biaya dana di kuartal berikut, adalah langkah disiplin.
Bagi yang baru melirik, menunggu konfirmasi dua–tiga kuartal laba beruntun dan perbaikan rasio kualitas aset akan memberi margin of safety lebih baik, terutama jika harga mendekati rentang wajar P/B 0,9–1,1x (±Rp40–Rp49).
Intinya, Rp3 triliun dana abadi dari induk adalah alata tau bisa menjadi jembatan menuju pemulihan jika dipakai cermat, atau beban jika disiplin kredit tergelincir. Sampai buktinya solid di laporan berikut, optimisme tetap sah, tapi kehati-hatian lebih bijak.(*)