Logo
>

Bank Masih Stabil tapi Emiten Perbankan Kompak Memerah

Ditulis oleh Syahrianto
Bank Masih Stabil tapi Emiten Perbankan Kompak Memerah

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM – Emiten perbankan masih menghadapi tren penurunan harga saham, terutama bank big caps, di tengah kondisi yang stabil. Pelemahan dialami oleh PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) hingga PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) yang kompak memerah pada penutupan perdagangan Selasa, 12 Juni 2024 kemarin.

    Namun mengacu Otoritas Jasa Keuangan (OJK), kinerja industry perbankan periode April 2024 dinilai tetap resilien dan stabil. Penopangnya adalah Tingkat profitabilitas (Return on Assets/ROA) dan margin bunga bersih (Net Interest Margin/NIM) yang masing-masing tercatat sebesar 2,51 persen dan 4,56 persen.

    Dian Ediana Rae, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, menyatakan bahwa permodalan atau Capital Adequacy Ratio (CAR) perbankan sebesar 25,99 persen. Selain itu, dari sisi kinerja intermediasi, kredit mengalami peningkatan sebesar Rp66,05 triliun secara bulanan atau month to month (mtm) dengan pertumbuhan sebesar 0,91 persen mtm. Lebih lanjut secara tahunan, kredit mencatatkan pertumbuhan dua digit menjadi Rp7,310,7 triliun atau tumbuh 13,09 persen year on year (yoy).

    OJK mencatat, bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menjadi pendorong utama pertumbuhan kredit yaitu tumbuh sebesar 15,42 persen yoy. Sejalan dengan ini, Dana Pihak Ketiga (DPK) juga tumbuh positif pada April 2024 sebesar 0,60 persen mtm atau 8,21 persen yoy menajdi sebesar Rp8.653 triliun.

    Jika ditarik pada kondisi bursa kemarin, bank big caps seperti BBCA memerah sekitar 2,36 persen menjadi Rp9.300 per saham. Sementara PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) mengalami koreksi sekitar 2,39 persen menjadi Rp6.125 per saham.

    Bank big caps dengan koreksi terdalam pada perdagangan hari kemarin adalah PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI). Saham BBNI merosot 2,82 persen menjadi Rp4.489 per saham. Yang terakhir adalah BBR yang mengalami koreksi terkecil sekitar 1,36 persen menjadi Rp4.340 per saham.

    Melihat kondisi ini, perbankan Tanah Air bakal menghadapi tantangan lebih besar pada kuartal II 2024. Lani Darmawan, Presiden Direktur CIMB Niaga (BNGA), menyebut pertumbuhan bisnis riil relative tidak tumbuh, kompetisi bank besar di potensi pertumbuhan stagnan sehingga yield loan relative flat.

    Ia juga melihat dunia usaha kemungkinan masih menunggu bunga pinjaman turun sehingga investasi yang dolakukan oleh korporasi belum optimal. Pada gilirannya, membuat kredit tampak lesu.

    Di sisi lain, ia menyebutkan saat ini perbankan memang sedang fokus mengatur kualitas kredit yang dimiliki. Dengan demikian, perbankan pun jadi lebih selektif dalam menyalurkan kredit dan nasabah pun lebih sensitif dengan kondisi bunga.

    Sementara itu, OJK juga mencatat Likuiditas industri perbankan pada April 2024 memadai dengan rasio Alat Likuid/Non-Core Deposit (AL/NCD) dan Alat Likuid/Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) masing-masing sebesar 113,9 persen dan 25,6 persen, atau jauh di atas threshold masing-masing sebesar 50 persen dan 10 persen.

    Kondisi tersebut searah dengan likuiditas global yang cukup ketat di tengah kebijakan bank sentral Amerika Serikat (AS) yang mempertahankan suku bunga tinggi (high for longer).

    Sementara itu, kualitas kredit tetap terjaga dengan rasio Non-Performing Loan (NPL) gross perbankan sebesar 2,33 persen dan NPL net sebesar 0,81 persen.

    Pengamat Ekonomi Perbankan Binus University, Doddy Arifianto pun menambahkan bahwa saat ini kinerja perbankan akan mendapat dampak dari dicabutnya kebijakan restrukturisasi Covid-19. Menurutnya, hal tersebut menjadi wajar jika NPL perbankan terlihat mulai naik.

    Namun, ia melihat hal tersebut tak akan banyak berpengaruh pada kinerja perbankan setidaknya hingga akhir tahun. Menurutnya, kenaikan NPL akan mencapai puncaknya paling lambat enam bulan setelah kebijakan itu dicabut pada 31 Maret 2024 yang lalu.

    “Dari sisi permodalan atau CAR sebenarnya juga masih besar di 25,99 persen, bank bisa absorb modal jika memang NPL-nya naik,” ujar Doddy.

    Sementara itu, Vice President PT Infovesta Utama Wawan Hendrayana bilang prospek perbankan masih akan tetap baik walau dihantam kondisi penurunan suku bunga acuan yang tak kunjung terjadi. Hal tersebut dikarenakan proyeksi pertumbuhan ekonomi masih diproyeksikan di kisaran 5 persen.

    Tak hanya itu, Wawan berpendapat industri perbankan akan diuntungkan dengan adanya transisi pemerintah dan pemilihan kepala daerah pada semester II mendatang. Di mana, aktivitas tersebut diharapkan memicu perputaran uang.

    “Walaupun mungkin NIM tidak setinggi tahun lalu namun pertumbuhan kredit masih diproyeksinya dobel digit,” ujar Wawan.

    Lebih lanjut, Wawan sendiri melihat saat ini emiten bank yang layak dicermati adalah BBCA dan BMRI. Bukan tanpa alasan, dua bank tersebut tercatat masih mengalami pertumbuhan kredit yang tinggi dalam kinerja keuangan terakhir di kuartal I 2024. “Di akhir tahun nanti target BBCA ke Rp10 200 dan BMRI ke 7.000,” tandas Wawan.

    Bank Penopang Ekonomi

    Kondisi kuartal I 2024 menjadi cerminan kinerja bank-bank besar tersebut sepanjang 2023. Indikator utamanya adalah indikator pertumbuhan kredit, DPK, dan laba bersih mendapatkan bobot yang paling besar dalam skala perhitungan.

    Besaran penyaluran kredit sangat ditekankan karena menunjukkan peran besar bank dalam menjalankan fungsi utama bank yakni intermediasi perbankan. Fungsi tersebut juga meningkatkan peran sebuah bank dalam ikut memajukan ekonomi Indonesia melalui penyaluran kredit.

    Membandingkan dari fungsi intermediasi, BMRI terbilang yang paling unggul. Pasalnya, dengan pertumbuhan DPK nyaris setara dengan BBCA tetapi mampu menyalurkan kredit lebih ekspansif dengan pertumbuhan lebih dari 16 persen secara tahunan (yoy). Alhasil, laba bersih yang dicetak juga tumbuh lebih ciamik hingga 33,7 persen yoy menuju Rp55,1 triliun.

    Sebagai informasi, BBCA mencatat pertumbuhan DPK paling tinggi sebesar 6 persen dengan penyaluran kredit sebesar 13,90 persen. Kedua tertinggi setelah BMRI. Sementara laba bersihnya tumbuh 19,40 persen secara tahunan.

    Sementara untuk dua bank besar lainnya, BBRI mencatat penyaluran kredit 11,30 persen dengan DPK tumbuh 4 persen. BBNI terbilang menyalurkan kredit paling lambat, sebesar 7,60 persen meskipun DPK tumbuh di atas 5 persen.

    Industri likuiditas bank masih cukup terjaga. Menurut OJK angka ideal LDR di rentang 78 persen-92 persen. Tiga bank BUMN menunjukkan nilai LDR yang terjaga baik, BBRI 84,22 persen, BMRI 86,80 persen, BBNI 85,50 persen, dan BBCA 70,20 persen. Terlihat semua bank besar RI masih mencatatkan likuiditas terjaga dengan nilai LDR di bawah 92 persen. BBCA terlihat paling kecil di 70,20 persen. Sebagai informasi, semakin kecil nilai LDR menunjukkan likuiditas bank semakin baik.

    Seiring dengan menyalurkan kredit, bank juga memiliki kewajiban untuk menjaga kualitas aset. Hal ini dicerminkan dari kredit macet atau NPL Maka, semakin baik kualitas aset akan semakin kecil angka NPL.

    Secara industri rata-rata NPL berada di 2,19 persen hingga akhir Desember 2023, berdasarkan data OJK. Membandingkan dengan itu, dari empat bank big caps BMRI muncul sebagai yang terbaik menjaga kualitas aset dengan NPL 1,19 persen secara gross.

    Untuk BBCA dan BBNI nilai NPL juga terbilang masih lebih baik dari industri, sementara untuk BBRI masih memiliki risiko kredit macet lebih tinggi dengan nilai NPL sebesar 2,95 persen.

    Selain menjaga kualitas aset, bank juga harus menjaga beban biaya terukur supaya bisnis berjalan dengan efisien. Salah satu-nya melihat dari indikator Cost to Income Ratio (CIR), semakin rendah rasio tersebut maka semakin efisien operasi bisnis perusahaan.

    Berdasarkan data company presentation 2023, dari empat big bank RI terpantau masih memiliki efisiensi bisnis yang baik. Nilai CIR tidak ada yang lebih dari 50 persen, ini menunjukkan bahwa beban biaya yang dikeluarkan terukur, tidak lebih dari setengah income yang didapatkan.

    Porsi dana murah yang tercermin dari CASA pada perbankan besar RI juga terpantau masih dominan. Hal ini menjadi salah satu faktor efisiensi bisnis bank terjaga. Pasalnya, dengan dana murah tinggi maka beban untuk bunga simpanan bisa ditekan.

    Bank BCA terbilang memiliki CASA paling tinggi mencapai 80,30 persen, berikutnya disusul BMRI yang hanya selisih tipis sekitar 1 persen. Urutan ketiga ditempati BBNI sebesar 71,20 persen, sementara BBRI di posisi terakhir sebesar 64,30 persen.

    Semakin tebal CASA dibandingkan porsi deposito pada DPK bank ini juga bisa menjadi bantalan ketika suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) naik. Melihat CASA empat bank big bank RI yang masih tebal ini semakin menunjukkan bahwa operasional bisnis mereka masih tetap bertahan meski suku bunga relatif tinggi.

    Berikutnya melihat profitabilitas yang terlihat dari NIM untuk empat bank big caps masih tetap di level positif. BBRI memimpin dengan NIM di atas 6 persen, BMRI dan BBCA menyusul di angka 5,48 persen dan 5,50 persen, sementara BBNI paling kecil di 4,60 persen. (*)

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Syahrianto

    Jurnalis ekonomi yang telah berkarier sejak 2019 dan memperoleh sertifikasi Wartawan Muda dari Dewan Pers pada 2021. Sejak 2024, mulai memfokuskan diri sebagai jurnalis pasar modal.

    Saat ini, bertanggung jawab atas rubrik "Market Hari Ini" di Kabarbursa.com, menyajikan laporan terkini, analisis berbasis data, serta insight tentang pergerakan pasar saham di Indonesia.

    Dengan lebih dari satu tahun secara khusus meliput dan menganalisis isu-isu pasar modal, secara konsisten menghasilkan tulisan premium (premium content) yang menawarkan perspektif kedua (second opinion) strategis bagi investor.

    Sebagai seorang jurnalis yang berkomitmen pada akurasi, transparansi, dan kualitas informasi, saya terus mengedepankan standar tinggi dalam jurnalisme ekonomi dan pasar modal.