KABARBURSA.COM – Bursa Efek Indonesia (BEI) membuka peluang besar bagi perusahaan pelat merah untuk kembali masuk ke pasar modal. Setelah lama absen, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) diharapkan dapat menjadi penggerak utama dalam memperdalam struktur pasar (market deepening) dan memperkuat kepercayaan investor terhadap perekonomian nasional.
Direktur Penilaian BEI, I Gede Nyoman Yetna, menyampaikan bahwa pihaknya terus menjalin komunikasi dengan Kementerian BUMN dan Danantara untuk mendorong keterlibatan BUMN dalam penawaran umum perdana (IPO). “Kami menjalin hubungan harmonis dengan Kementerian BUMN dan Danantara. Harapan kami, ke depan akan ada lighthouse IPO yang berasal dari BUMN,” ujar Nyoman di Gedung Bursa Efek Jakarta, Kamis, 6 November 2025.
Ia menegaskan, kehadiran emiten BUMN di lantai bursa tidak hanya penting dari sisi nilai transaksi, tetapi juga sebagai simbol kepercayaan publik terhadap kinerja korporasi negara. Hingga kini, BEI belum mencatat adanya BUMN dalam pipeline IPO, namun keyakinan terhadap kontribusi BUMN di masa mendatang tetap tinggi.
“Untuk saat ini belum (ada BUMN di pipeline), namun kami yakin ke depan kontribusi dari state-owned enterprise akan dapat membantu market deepening dari pasar modal Indonesia,” kata Nyoman.
Menurutnya, keberadaan BUMN di pasar modal selalu memiliki efek berganda, baik bagi likuiditas, persepsi investor global, maupun pertumbuhan emiten baru di sektor strategis. Terlebih, beberapa sektor unggulan seperti infrastruktur, keuangan, dan pertambangan masuk dalam kategori lighthouse IPO yang tengah disiapkan BEI.
“Kami saat ini memiliki 13 pipeline IPO yang sedang dalam proses. Tiga di antaranya masuk kategori lighthouse dari sektor keuangan, infrastruktur, dan pertambangan,” ungkapnya.
Nyoman menjelaskan, langkah strategis tersebut sejalan dengan upaya BEI memperkuat kedalaman pasar modal. Lighthouse IPO, atau IPO berskala besar, diyakini dapat menjadi magnet bagi investor institusi, sekaligus meningkatkan daya tarik pasar saham Indonesia di mata dunia.
“Perusahaan besar yang masuk bursa bisa menjadi konstituen indeks global dan memperkuat reputasi pasar modal kita di level internasional,” tuturnya.
Dalam konteks global, tren jumlah perusahaan tercatat di berbagai bursa mengalami penurunan. Namun, Indonesia masih menunjukkan pertumbuhan positif sekitar satu persen. Menariknya, meski pertumbuhan jumlah emiten relatif kecil, nilai rata-rata dana yang dihimpun justru meningkat.
“Di negara lain jumlah emiten menurun, di Indonesia masih tumbuh sedikit tapi fundraising-nya meningkat karena ada lebih banyak IPO berskala besar,” jelas Nyoman.
Optimisme BEI juga tercermin dari peningkatan aktivitas pasar modal sepanjang 2025. Jumlah investor meningkat hampir 30 persen dibanding tahun lalu, sementara Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil bertahan stabil di kisaran 8.000 poin.
“Supply side dari emiten dan demand side dari investor tumbuh seimbang. Itu menandakan pasar kita sehat dan dinamis,” ujarnya.
Nyoman menegaskan, BEI menargetkan pada 2025 terdapat total 340 instrumen baru di pasar modal, termasuk saham, obligasi, dan produk terstruktur lainnya. Hingga November ini, target tersebut sudah terlampaui hingga lebih dari 140 persen. Untuk tahun depan, BEI menaikkan target menjadi 555 instrumen baru.
“Target tahun ini 340 instrumen sudah tercapai lebih dari 140 persen. Tahun depan targetnya 555, kami optimis bisa tercapai,” katanya.
Ia menambahkan, partisipasi BUMN di pasar modal akan menjadi langkah strategis dalam memperluas basis emiten, memperkuat transparansi korporasi, serta mendorong sumber pembiayaan domestik yang berkelanjutan.
“Kami berharap BUMN ikut berperan aktif di pasar modal. Dengan keterbukaan dan tata kelola yang baik, mereka bisa menjadi contoh bagi emiten lainnya,” kata Nyoman.(*)