KABARBURSA.COM - Bursa Efek Indonesia (BEI) kembali menekan tombol darurat karena Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ambles 8 persen sejak pembukaan, memicu trading halt pertama sejak aturan baru diterapkan.
Ini bukan sekadar koreksi biasa, karena ini jadi momen reflektif bagi pasar modal Indonesia: apakah kita sedang memasuki era “new normal” di bursa yang lebih volatil, lebih reaktif, dan lebih global daripada sebelumnya?
Sebagaimana diketahui, revisi itu mengacu Surat Keputusan Direksi Bursa Nomor Kep-00196/BEI/12-2024 perihal Perubahan Peraturan II-A tentang Perdagangan Efek Bersifat Ekuitas dan Surat Keputusan Direksi Bursa Nomor Kep-00024/BEI/03-2020 tentang Perubahan Panduan Penanganan Kelangsungan Perdagangan di Bursa Efek Indonesia Dalam Kondisi Darurat.
Sekretaris Perusahaan BEI Kautsar Primadi Nurahmad mengatakan penyesuaian ini dilakukan pada ketentuan pelaksanaan penghentian sementara perdagangan efek dan batasan persentase Auto Rejection Bawah (ARB) yang tertuang pada surat keputusan direksi tanggal 8 April 2025.
Surat itu tertuang dalam bernomor Kep-00002/BEI/04-2025 perihal Perubahan Panduan Penanganan Kelangsungan Perdagangan di Bursa Efek Indonesia dalam Kondisi Darurat dan Nomor Kep-00003/BEI/04-2025 perihal Peraturan Nomor II-A tentang Perdagangan Efek Bersifat Ekuitas.
"Adapun kedua surat keputusan tersebut akan mulai efektif diberlakukan Selasa, 8 April 2025" ujar Kautsar dalam keterangan tertulisnya hari ini.
Di masa pandemi COVID-19, batas trading halt ditetapkan pada level koreksi 5 persen. Namun kini, setelah BEI menggeser batas itu ke 8 persen dengan asumsi pasar sudah lebih stabil, justru hari ini sistem otomatis menghentikan perdagangan di awal sesi.
“Ini menunjukkan bahwa meskipun threshold sudah dinaikkan, tekanan eksternal global bisa tetap membuat pasar jatuh seketika,” kata Ezaridho Ibnutama, Head of Research NH Korindo Sekuritas Indonesia.
“Pasar sudah mengantisipasi ini bahkan sebelum sesi dibuka. Hal ini menunjukkan fragility atau kerapuhan sentimen jangka pendek kita,” imbuhnya.
Trading halt terjadi persis di pembukaan. Harga bahkan belum sempat mencari keseimbangannya. Ini bukti tajamnya insting pasar hari ini. Menurut Ezaridho, ini bukan sekadar reaksi spontan, tapi bukti bahwa “pasar sudah menghitung skenario buruk ini sejak dini.”
Dengan kata lain, bukan hanya algoritma yang sensitif—psikologi kolektif investor pun kini jauh lebih responsif terhadap sinyal global. Mekanisme pre-opening yang menggunakan call auction pun memperkuat realitas ini: order-order jual langsung membanjiri tanpa sempat ada narasi optimisme di sesi awal.
Ezaridho menegaskan bahwa pemicu utama kepanikan hari ini bukan semata urusan domestik. “Kita melihat efek domino dari eskalasi baru dalam Trade War yang diluncurkan kembali oleh mantan Presiden AS Donald Trump, termasuk kepada Indonesia yang dikenai tarif impor sebesar 32 persen,” jelasnya.
Kondisi ini memicu reaksi klasik investor: lari dari risiko.
“Untuk seminggu terakhir sejak pengumuman tarif itu, investor global mulai masuk ke posisi cash-heavy. Bahkan harga emas terkoreksi 1,15 persen menjadi USD3.001 per troy ons, Bitcoin juga minus 2,22 persen, dan US Dollar Index kembali menguat ke 102 setelah sempat menyentuh titik rendah dua tahun di 101,” beber Ezaridho.
Dalam kata lain: bukan cuma Indonesia yang terguncang, tapi investor di seluruh dunia mulai kehilangan arah.
Dampak jangka menengahnya lebih mengkhawatirkan. Ketua Federal Reserve (The Fed), Jerome Powell, telah menyampaikan bahwa tarif-tarif baru itu akan meningkatkan inflasi dan memperlambat ekonomi AS. Ini otomatis mengubah spekulasi pasar: tidak akan ada rate cut dalam waktu dekat.
Sebagai tambahan tekanan, Rusia menolak proposal gencatan senjata yang ditawarkan Trump dalam konflik Ukraina. Ini artinya, ketegangan di Laut Hitam bisa kembali menyumbat jalur logistik dan pasokan energi, mendorong kemungkinan rebound harga minyak dunia, setelah sempat melemah. Lalu, ke mana arah IHSG setelah ini?
“Pascalibur panjang Idul Fitri nanti, kami perkirakan support kuat IHSG berada di kisaran 5.752–5.750. Jika level ini gagal bertahan, maka kita bisa melihat pergerakan menuju support selanjutnya di 5.372–5.370,” jelas Ezaridho.
Artinya, kemungkinan rebound tetap ada tapi dibayang-bayangi risiko teknikal dan psikologis yang berat.
Redefinisi New Normal Bursa?
Ezaridho menegaskan bahwa ini mungkin bukan terakhir kalinya kita melihat “trading halt” menjadi headline. “Di kondisi pasar sekarang, kejadian seperti ini bisa berubah dari peristiwa luar biasa menjadi semacam protokol mingguan,” ujarnya.
Dalam bahasa lain, pasar kita tengah masuk ke era baru: bukan hanya harga yang fluktuatif, tapi juga ekspektasi yang berubah-ubah secepat geopolitik global. Maka, redefinisi new normal di bursa bukan sekadar tentang adaptasi teknis—tapi soal menyesuaikan mindset terhadap volatilitas yang tidak lagi sementara, melainkan permanen.
Kalau dulu “new normal” berarti masker dan work-from-home, sekarang “new normal” di pasar modal bisa berarti trading halt bukan kejadian luar biasa lagi, tapi bagian dari manajemen volatilitas harian.
Menurut Pengembangan BEI Jeffrey Hendrik menjelaskan pembukaan perdagangan perdana pascalibur lebaran 2025 atau Idulfitri 1446 Hijriah langsung disambut penghentian sementara perdagangan atau trading halt.
Perdagangan hari ini, lanjut Jeffrey, dibuka di sesi pre-opening, di mana pembentukan harga dilakukan melalui mekanisme call auction. Berbeda dengan sesi reguler yang menggunakan continuous auction, di mana order beli dan jual langsung dicocokkan secara berkesinambungan, call auction mengumpulkan seluruh order terlebih dahulu, lalu menetapkan satu harga pembukaan untuk setiap saham berdasarkan titik temu terbaik antara penawaran beli dan jual.
"Karena terjadi di saat pre-opening di mana pembentukan harga di pre-opening dilakukan dengan mekanisme call auction (bukan continuous auction), dan harga setiap saham terbentuk di 1 harga," kata Jeffrey melalui keterangan tertulis di Jakarta pada Senin, 8 April 2025.
Akibatnya, seluruh saham yang diperdagangkan di pre-opening hanya memiliki satu harga terbentuk, yang mencerminkan tekanan jual dan beli pada saat itu. Dalam kondisi pasar yang mengalami tekanan ekstrem seperti hari ini, harga-harga saham langsung jatuh ke batas bawahnya (auto rejection bawah/ARB) pada saat pre-opening, sebelum perdagangan reguler sempat berjalan.
IHSG pun dibuka melemah tajam pada perdagangan hari ini, turun 598,56 poin atau 9,19 persen ke level 5.912,06 pada Senin, 8 April 2025. Sepanjang sesi pembukaan, indeks langsung menyentuh titik terendahnya di level tersebut, setelah dibuka di posisi 6.510,62, setara dengan level penutupan sebelumnya.
Konsekuensinya, BEI melakukan penghengtian perdagangan selama 30 menit. Jika selama 30 menit tidak ada perbaikan harga, trading halt akan dilanjutkan kembali. Lalu, apakah ini sehat?
“Mekanisme proteksi seperti trading halt memang penting, tapi saat penggunaannya terlalu sering, kita perlu bertanya: apakah sistemnya yang terlalu kaku, atau pasar kita yang belum siap dengan realitas global yang penuh kejutan?”, Ezaridho, menambahkan.
Bisa jadi, BEI dan regulator perlu mengevaluasi lebih dalam: bukan hanya soal batas persentase, tapi juga kesiapan mental, literasi pasar, dan kapasitas adaptasi investor domestik terhadap guncangan global.
Ini bukan pertama kalinya BEI nge-freeze, dan pasti bukan yang terakhir. Tapi hari ini menjadi momentum untuk bertanya: apa yang sebenarnya sedang kita lindungi dengan trading halt, pasar, investor, atau sekadar ilusi stabilitas?
Yang pasti, bagi investor ritel yang cermat dan sabar, volatilitas adalah ladang cuan, bukan kuburan modal. Tapi tentu saja, dengan analisis, bukan emosi. (*)