KABARBURSA.COM - Ada kabar baru dari PT Adaro Minerals Indonesia Tbk (IDX: ADMR). Perusahaan yang selama ini dikenal sebagai bagian dari raksasa energi nasional, Adaro Energy Indonesia, tengah bersiap memasuki babak baru dalam perjalanan korporasinya.
ADMR merencanakan perubahan nama menjadi PT Alamtri Minerals Indonesia Tbk. Rencana ini akan dibahas secara resmi dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang dijadwalkan berlangsung pada 2 Juni 2025.
Langkah perubahan nama ini bukan tanpa alasan. Ini merupakan bagian dari upaya konsolidasi dan penyelarasan identitas korporasi menyusul perubahan nama induk usaha menjadi PT Alamtri Resources Indonesia Tbk (ADRO).
Dengan begitu, seluruh entitas di bawah grup Alamtri akan memiliki keseragaman brand yang mencerminkan arah strategis dan filosofi bisnis baru yang sedang dibangun.
Perubahan ini juga akan diikuti dengan amandemen pada Anggaran Dasar perusahaan, tepatnya di Pasal 1 ayat 1, yang membutuhkan persetujuan pemegang saham dalam forum RUPS mendatang.
Selain membahas perubahan nama, RUPS juga akan mengulas kinerja keuangan tahun buku 2024 dan menentukan arah penggunaan laba bersih perusahaan. Sepanjang tahun lalu, ADMR mencatatkan kinerja yang impresif dengan laba bersih sebesar USD436,6 juta atau sekitar Rp6,9 triliun.
Namun demikian, hingga kini perusahaan belum sekalipun membagikan dividen sejak melantai di Bursa Efek Indonesia tiga tahun silam. RUPS tahun 2024 lalu memutuskan bahwa laba tahun 2023 akan ditahan sepenuhnya dan ini menjadi sebuah keputusan yang memperpanjang jeda pembagian dividen kepada para pemegang saham.
Meskipun begitu, ADMR bukan tanpa justifikasi. Di tengah dinamika industri batu bara dan mineral, manajemen tampaknya memilih menahan laba untuk memperkuat cadangan modal dan menjaga fleksibilitas keuangan jangka panjang. Apalagi, laporan keuangan per akhir kuartal I-2025 menunjukkan bahwa kinerja perusahaan tetap tangguh.
ADMR berhasil mengantongi laba bersih sebesar USD65 juta atau setara Rp1,07 triliun hanya dalam tiga bulan pertama tahun ini. Lebih jauh lagi, posisi saldo laba ditahan perusahaan per 31 Maret 2025 sudah menembus USD1,47 miliar. Kira-kira angka tersebut menjadi modal yang cukup kokoh untuk ekspansi strategis atau bahkan membuka peluang pembagian dividen di masa mendatang.
Dengan struktur keuangan yang solid dan visi yang kian terarah, langkah rebranding menjadi Alamtri Minerals tak hanya simbolis. Ini mencerminkan keinginan perusahaan untuk menyatu dalam identitas yang lebih besar dan memperkuat daya saing di tengah transformasi industri energi dan sumber daya alam global.
Para pemegang saham tentu akan menantikan bagaimana arah kebijakan ini diwujudkan, apakah akan tetap konservatif seperti tahun-tahun sebelumnya, atau justru membuka peluang baru dalam bentuk apresiasi pemegang saham lewat dividen yang selama ini dinanti.
Kinerja Saham ADMR Diuji di 2025
Tahun 2025 menjadi fase yang penuh tantangan bagi PT Adaro Minerals Indonesia Tbk (ADMR), seiring tekanan eksternal yang makin kompleks dan ekspektasi pasar yang terus meningkat.
Dalam lanskap industri yang sedang berubah cepat, saham ADMR tak luput dari sorotan, terutama karena gejolak harga batu bara metalurgi dan ketatnya tuntutan terhadap keberlanjutan lingkungan.
Penurunan pendapatan perusahaan sebesar 27,17 persen dan laba bersih yang terpangkas hingga 43,6 persen pada kuartal pertama 2025 menjadi sinyal bahwa perusahaan harus bekerja ekstra keras menjaga stabilitas.
Salah satu beban utama yang dihadapi ADMR adalah anjloknya harga jual rata-rata batu bara metalurgi. Meski volume penjualan meningkat, nilai transaksi tetap tertekan akibat pelemahan harga komoditas global.
Di sisi lain, muncul pula tantangan dari sisi regulasi. Pemerintah Indonesia tengah mempertimbangkan kenaikan tarif royalti untuk produk tambang, termasuk batu bara, yang tentu bisa menambah beban operasional perusahaan.
Situasi ini membawa tekanan tersendiri bagi fundamental saham ADMR 2025, yang banyak diantisipasi oleh investor jangka menengah.
Tak berhenti di situ, ADMR juga harus menghadapi tantangan reputasi dari pasar global. Keputusan Hyundai Motor untuk menghentikan kerja sama pasokan aluminium dari proyek ADMR akibat kekhawatiran emisi karbon, menjadi pukulan tersendiri.
Hal ini memperjelas urgensi ADMR untuk bertransformasi, tidak hanya dari sisi efisiensi, tetapi juga dalam mengadopsi standar keberlanjutan global.
Menyadari itu, perusahaan pun tak tinggal diam. Salah satu langkah nyata yang ditempuh adalah percepatan pembangunan smelter aluminium di Kalimantan Utara dengan kapasitas hingga 1,5 juta ton per tahun. Dalam jangka panjang, proyek ini tidak hanya akan menambah lini bisnis, tetapi juga mendukung agenda hilirisasi nasional.
Selain itu, perusahaan juga mulai berinvestasi pada energi terbarukan melalui rencana penggunaan pembangkit listrik tenaga air untuk proyek smelter di tahap ketiga. Langkah ini dinilai krusial untuk mengurangi emisi dan menjawab kritik pasar internasional terhadap dampak lingkungan.
Dari sisi operasional, ADMR juga menargetkan penurunan stripping ratio menjadi 3,3x pada 2025 untuk menekan biaya produksi dan menjaga efisiensi.
Menariknya, meski dihantam berbagai tekanan, posisi keuangan ADMR justru tetap solid. Hingga Maret 2025, perusahaan mencatat saldo laba ditahan sebesar USD1,47 miliar. Cadangan ini menjadi bantalan yang memberi ruang manuver bagi ekspansi maupun kemungkinan pembagian dividen ke depan.
Dalam konteks ini, saham ADMR di 2025 menjadi indikator penting apakah strategi restrukturisasi dan efisiensi perusahaan mampu menjawab tantangan jangka pendek, sekaligus membuka potensi pertumbuhan yang lebih berkelanjutan di masa mendatang.
Bagi pelaku pasar, pergerakan saham ADMR tahun ini bukan sekadar cermin kinerja finansial, melainkan juga representasi dari bagaimana emiten tambang menjawab tuntutan era baru di mana efisiensi, keberlanjutan, dan hilirisasi menjadi kunci bertahan.
Smelter Aluminium hingga PLTA Mentarang
PT Adaro Minerals Indonesia Tbk (ADMR) memasuki tahun 2025 dengan sederet proyek besar yang tengah berjalan. Di tengah sorotan publik terhadap kinerja saham ADMR 2025, perusahaan ini menegaskan posisinya sebagai pemain kunci dalam agenda hilirisasi industri dan transisi energi nasional.
Salah satu proyek andalan yang paling menyita perhatian adalah pembangunan smelter aluminium di Kalimantan Utara, yang digarap oleh anak usaha mereka, PT Kalimantan Aluminium Industry (KAI).
Smelter ini berlokasi di kawasan industri hijau Indonesia (Green Industrial Park Indonesia) dan dirancang memiliki kapasitas produksi hingga 1,5 juta ton aluminium per tahun. Pembangunan dibagi dalam tiga tahap, dan jika sesuai rencana, tahap pertama dengan kapasitas 500 ribu ton per tahun akan mulai beroperasi secara komersial pada kuartal III 2025.
Pembangunan infrastruktur pendukung seperti jetty dan gudang logistik pun telah berjalan sejak akhir tahun lalu. Tak main-main, proyek ini menelan investasi hingga USD 2 miliar, di mana ADMR telah menyuntikkan modal tambahan Rp918 miliar pada Desember 2024 untuk memastikan konstruksi tetap berjalan sesuai target.
Tak hanya berhenti di sektor hilirisasi, ADMR juga memperluas cakupan bisnis ke energi terbarukan. Melalui afiliasinya, Alamtri Power, perusahaan sedang mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Mentarang Induk yang juga berada di Kalimantan Utara.
Proyek ini dirancang untuk memasok energi bersih ke smelter aluminium sekaligus memperkuat komitmen ADMR dalam mendukung kebijakan transisi energi nasional.
Pembangunan PLTA tersebut dijadwalkan dimulai secara intensif pada pertengahan tahun ini. Kehadiran proyek ini diharapkan akan menjadi pembeda strategis bagi prospek jangka panjang saham ADMR di tengah tuntutan ESG global yang semakin ketat.
Sementara itu, ADMR tetap mempertahankan fokus bisnis intinya di batu bara metalurgi. Perusahaan membidik target penjualan antara 5,6 hingga 6,1 juta ton sepanjang 2025, jumlah yang relatif stabil dibandingkan tahun sebelumnya. Strategi ini dilakukan untuk menjaga arus kas dan menopang pembiayaan proyek jangka panjang tanpa mengganggu operasional utama.
Dengan kombinasi proyek hilirisasi, investasi energi bersih, dan kinerja operasional yang terukur, ADMR menunjukkan bahwa mereka tidak sekadar bertahan di tengah tantangan pasar global, tetapi juga menyiapkan fondasi yang kuat untuk pertumbuhan berkelanjutan.
Tak heran jika proyeksi saham ADMR 2025 terus menjadi bahan pantauan pelaku pasar yang mencari emiten tambang dengan visi jangka panjang dan strategi eksekusi yang nyata.
Dividen Masih Jadi Tanda Tanya
Kinerja PT Adaro Minerals Indonesia Tbk (ADMR) sepanjang 2025 berjalan di tengah tantangan yang tidak ringan. Di kuartal pertama tahun ini, pendapatan perusahaan tercatat turun tajam sebesar 27,17 persen secara tahunan menjadi USD199,94 juta.
Penurunan pendapatan ini turut berdampak pada laba bersih, yang ikut tergerus hingga 43,6 persen menjadi USD65,4 juta atau sekitar Rp1,08 triliun. Pelemahan harga batu bara metalurgi dan tekanan pasar global menjadi penyebab utama tergerusnya performa keuangan tersebut, meskipun volume penjualan justru mengalami peningkatan.
Sebagian besar pendapatan ADMR juga masih bergantung pada pihak berelasi, yang menyumbang hampir separuh dari total pemasukan. Namun demikian, di balik tekanan itu, ADMR tetap menaruh fokus kuat pada agenda ekspansi jangka panjang, terutama lewat proyek pembangunan smelter aluminium di Kalimantan Utara.
Proyek ini dirancang dalam tiga fase dan ditargetkan mulai beroperasi secara komersial pada kuartal III tahun ini, dengan kapasitas awal sebesar 500.000 ton per tahun. Total kapasitas smelter ini jika rampung sepenuhnya mencapai 1,5 juta ton aluminium per tahun.
Tak hanya berhenti di situ, perusahaan juga mempersiapkan ekosistem energi yang bersih untuk mendukung operasional smelter tersebut. Lewat afiliasi PT Kayan Hydropower Nusantara (KHN), ADMR sedang membangun Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Mentarang Induk yang ditargetkan mulai beroperasi pada 2030 dengan kapasitas 1.375 megawatt.
Kombinasi proyek hilirisasi dan energi bersih ini menjadi pilar utama transformasi ADMR dalam mendukung agenda transisi energi nasional.
Dengan kebutuhan belanja modal yang begitu besar, pembagian dividen masih belum masuk dalam prioritas jangka pendek perusahaan. Dalam Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) pada Mei 2024, manajemen ADMR telah menegaskan bahwa seluruh laba tahun buku 2023, senilai USD436,61 juta, kembali ditahan untuk memperkuat pembiayaan proyek.
Presiden Direktur Christian Ariano Rachmat menyebut bahwa investasi besar untuk smelter dan PLTA menjadi alasan utama absennya dividen sejak perusahaan IPO pada 2021.
Meski demikian, peluang pembagian dividen belum sepenuhnya tertutup. Direktur ADMR Heri Gunawan, mengungkapkan bahwa perusahaan tetap berkomitmen memberikan nilai kepada pemegang saham, dan akan mempertimbangkan pembagian dividen jika kebutuhan investasi utama sudah terpenuhi dan kondisi kas memungkinkan.
Dengan proyeksi smelter mulai beroperasi tahun ini dan peluang kinerja keuangan membaik di paruh kedua tahun, keputusan dividen dari laba 2025 bisa saja dibahas pada RUPST tahun 2026, bergantung pada evaluasi finansial perusahaan saat itu.
Dalam situasi seperti ini, ADMR tengah meniti jalur investasi agresif yang sarat risiko namun menyimpan potensi besar. Kepada para pemegang saham, pesan perusahaan jelas: bersabar hari ini demi hasil yang lebih kuat di masa depan.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.