KABARBURSA.COM – Bank Indonesia akhirnya menurunkan suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin menjadi 5,25 persen pada Rabu, 16 Juli 2025. Langkah ini diikuti dengan penyesuaian pada suku bunga deposit facility menjadi 4,5 persen dan lending facility menjadi 6 persen.
Keputusan ini mengejutkan sebagian pelaku pasar karena sebelumnya ekspektasi analis cukup terbelah, yaitu 55 persen memperkirakan suku bunga akan tetap, sementara 45 persen memprediksi pemangkasan.
Stockbit Sekuritas melihat keputusan ini mencerminkan strategi BI yang lebih akomodatif dalam menjaga keseimbangan antara stabilitas makroekonomi dan dorongan terhadap pertumbuhan.
Dengan inflasi yang tetap terjaga dalam kisaran target dan tekanan eksternal yang relatif moderat, bank sentral menilai ada ruang cukup aman untuk memberikan stimulus moneter tambahan.
Dampaknya bisa cukup luas. Penurunan suku bunga tentu menjadi angin segar bagi sektor riil. Dunia usaha, terutama sektor properti, infrastruktur, dan konsumsi, kemungkinan besar akan merasakan efek langsung melalui biaya pendanaan yang lebih murah.
Di sisi lain, perbankan punya peluang untuk menggenjot penyaluran kredit, terutama menjelang semester kedua yang kerap menjadi periode strategis untuk ekspansi bisnis.
Bagi investor, keputusan ini juga menandai sinyal penting. Di pasar saham, sektor-sektor sensitif terhadap bunga rendah kemungkinan akan mendapat dorongan.
Sementara itu, di pasar obligasi, tren penurunan yield bisa berlanjut, membuka ruang bagi potensi capital gain, terutama pada surat utang jangka menengah dan panjang.
Namun, tidak berarti tantangan telah selesai. BI tetap harus berhati-hati menjaga daya tarik aset rupiah, terlebih jika bank sentral negara-negara besar seperti The Fed belum menunjukkan sinyal pelonggaran.
Margin imbal hasil (yield differential) terhadap instrumen global harus tetap kompetitif agar arus modal asing tidak mudah keluar.
Singkatnya, keputusan BI menurunkan suku bunga ini bukan sekadar upaya menggerakkan ekonomi, tetapi juga mencerminkan respons terukur terhadap dinamika global dan domestik yang sedang berjalan.
Bagi pasar, ini adalah sinyal bahwa BI siap berperan aktif menjaga momentum pertumbuhan di tengah ketidakpastian.
Rupiah Melemah Usai BI Pangkas Bunga
Rupiah kembali melemah terhadap dolar Amerika Serikat pada penutupan perdagangan hari ini, tak lama setelah Bank Indonesia mengumumkan pemangkasan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 5,25 persen.
Di pasar spot, rupiah ditutup di level Rp16.287 per dolar AS, turun 0,13 persen atau 20,5 poin dari posisi sebelumnya.
Meskipun penurunan ini tergolong moderat, arah geraknya seolah mencerminkan sentimen pasar yang belum sepenuhnya pulih dari tekanan global dan domestik yang bersilang. Keputusan BI memotong suku bunga, yang ketiga kalinya tahun ini, memang diharapkan bisa menjadi angin segar bagi sektor riil.
Namun di sisi lain, pelonggaran moneter sering kali dipandang pasar sebagai sinyal adanya kekhawatiran terhadap laju pertumbuhan ekonomi dalam negeri.
Sementara itu, indeks dolar AS justru turun tipis ke 98,53, turun 0,08 persen, namun rupiah tetap tak mampu mencatatkan penguatan.
Ini menunjukkan bahwa tekanan pada mata uang Garuda tidak semata datang dari kekuatan dolar, tetapi juga dari dinamika eksternal lain, terutama ketegangan dagang yang dipicu oleh Presiden AS Donald Trump.
Ancaman tarif baru dari Trump, termasuk wacana pengenaan bea masuk 19 persen terhadap produk asal Indonesia, memberi tekanan tambahan terhadap persepsi risiko di pasar emerging markets.
Ketidakpastian atas arah kebijakan The Fed, terutama karena desakan politik terhadap Gubernur Jerome Powell, ikut memperkeruh sentimen.
Data inflasi Amerika Serikat (Indeks Harga Konsumen) yang dirilis awal pekan ini memang tidak jauh dari ekspektasi, namun tetap lebih tinggi dari bulan sebelumnya, memperkuat kekhawatiran bahwa inflasi AS bisa bertahan tinggi dalam waktu lama.
Skenario ini membuat The Fed cenderung berhati-hati dalam menurunkan suku bunga, dan hal tersebut berdampak langsung pada mata uang di kawasan Asia, termasuk rupiah. Terlebih, jika inflasi global kembali memanas akibat tarif baru, tekanan ke mata uang negara berkembang bisa datang dari dua arah, potensi kenaikan suku bunga AS dan pelarian modal asing.
Dari sisi domestik, pasar masih mencerna langkah BI. Pemangkasan suku bunga tentu memberi ruang untuk merangsang pertumbuhan kredit dan investasi, tetapi efek jangka pendeknya ke nilai tukar kerap bersifat negatif.
Namun, beberapa analis menilai ini bersifat sementara. Dengan asumsi inflasi domestik tetap terkendali dan neraca dagang tidak terlalu memburuk, maka rupiah punya peluang untuk stabil atau bahkan rebound dalam beberapa sesi mendatang.
Untuk perdagangan Kamis, 17 Juli 2025, proyeksi pergerakan rupiah berada di kisaran Rp16.230 hingga Rp16.290 per dolar AS. Pasar kemungkinan masih akan bergerak fluktuatif, mencermati kelanjutan narasi tarif Trump dan arah kebijakan The Fed.
Jika tekanan global mereda dan pelaku pasar melihat langkah BI sebagai dukungan konkret terhadap pertumbuhan ekonomi, maka tidak menutup kemungkinan rupiah akan menemukan pijakan barunya. Yang pasti, ruang untuk kejutan tetap terbuka lebar.(*)