KABARBURSA.COM – Saham PT Super Bank Indonesia Tbk atau SUPA langsung mencuri perhatian pelaku pasar setelah menyentuh Auto Rejection Atas atau ARA pada hari pertama perdagangan usai IPO.
Lonjakan cepat ini memunculkan ekspektasi tinggi di kalangan investor ritel, bahkan memicu perbandingan dengan saham ARTO milik Bank Jago yang pernah mencapai puncak harga Rp19.000 di masa euforia bank digital.
Namun analis pasar modal menilai, peluang SUPA mengulang lonjakan ekstrem ARTO sangat kecil jika ditinjau dari struktur saham, valuasi, hingga karakter IPO kedua emiten tersebut.
Analis Pasar Modal Traderindo, Wahyu Tri Laksono, menegaskan bahwa kesalahan paling umum investor adalah membandingkan harga saham secara nominal tanpa melihat konteks fundamental.
“Harga saham tidak bisa dibandingkan langsung. Yang harus dilihat adalah valuasi dan jumlah saham beredar,” ujarnya kepada KabarBursa.com pada Jumat, 19 Desember 2025.
Berdasarkan data profil emiten, ARTO tercatat di Bursa Efek Indonesia sejak 2016 dengan harga IPO Rp132 per saham dan jumlah saham IPO hanya sekitar 241.250.000 lembar. Free float ARTO saat ini berada di kisaran 26,93 persen. Struktur saham yang relatif ramping inilah yang membuat pergerakan harga ARTO sangat sensitif terhadap arus dana saat euforia bank digital memuncak.
Sebaliknya, SUPA melantai dengan struktur yang jauh lebih besar. Harga IPO SUPA ditetapkan Rp635 per saham dengan jumlah saham IPO mencapai 4.406.612.300 lembar dan free float 15,07 persen. Dengan basis saham beredar yang jauh lebih besar, lonjakan harga SUPA membutuhkan aliran dana yang jauh lebih masif agar bisa meniru pergerakan ARTO di masa lalu.
Dari sisi valuasi, Wahyu menjelaskan bahwa pada harga ARA Rp790, Price to Book Value SUPA sudah berada di kisaran 3,3x hingga 4,4x, tergantung perhitungan nilai buku pasca masuknya dana IPO sebesar Rp2,79 triliun. Level tersebut sudah berada di atas rata-rata PBV bank digital.
Mengacu pada tabel valuasi bank digital, PBV rata-rata industri berada di level 2,78x dengan estimasi harga wajar Rp500 hingga Rp670. Untuk skenario premium setara ARTO, PBV berada di sekitar 2,84x dengan estimasi harga Rp680 hingga Rp750. Bahkan pada skenario agresif setara Krom Bank atau BBSI dengan PBV 4,36x, estimasi harga SUPA hanya berada di rentang Rp780 hingga Rp1.050.
“Kalau SUPA dipaksakan ke Rp19.000, kapitalisasi pasarnya bisa melampaui bank-bank besar buku IV. Secara fundamental itu tidak logis,” kata Wahyu.
Perbedaan penting lain yang disorot analis adalah struktur penjamin emisi IPO. ARTO saat IPO hanya ditangani oleh dua sekuritas, yakni Binaartha Parama dan Erdikha Elit Sekuritas. Model IPO yang relatif sederhana tersebut membuat distribusi saham ARTO lebih terkonsentrasi di awal perdagangan.
Sementara itu, IPO SUPA ditangani oleh sindikasi penjamin emisi besar yang terdiri dari Mandiri Sekuritas, Sucor Sekuritas, Trimegah Sekuritas Indonesia Tbk, CLSA Sekuritas Indonesia, Korea Investment and Sekuritas Indonesia, serta Bahana Sekuritas. Keterlibatan banyak penjamin emisi ini membuat distribusi saham SUPA jauh lebih luas, sekaligus meningkatkan potensi tekanan jual ketika fase lock-up dan euforia IPO mulai mereda.
Wahyu menjelaskan memprediksi jumlah ARA secara pasti sulit karena tergantung pada antrean belinya. Namun ada beberapa faktor penentu seperti sentimen sektoral. “Sat ini minat terhadap bank digital kembali menghangat karena ekosistem besar di belakangnya seperti Grab, Singtel dan KakaoBank,” ujar dia.
Menurut Wahyu, kondisi tersebut menjadi faktor pembeda utama mengapa lonjakan ekstrem seperti ARTO sulit terulang pada SUPA.
“SUPA punya ekosistem kuat dan cerita besar, tapi struktur saham dan valuasinya berbeda. Area Rp1.000 saja sudah tergolong mahal dan rawan profit taking,” ujarnya.
Ia menambahkan, pergerakan SUPA dalam beberapa hari ke depan masih akan sangat bergantung pada kekuatan antrean beli. Selama antrean bid masih dominan, saham berpotensi bertahan di ARA. Namun ketika volume transaksi mulai menyamai antrean beli, risiko koreksi akan meningkat.
“Investor harus realistis dan disiplin. Tidak semua bank digital bisa mengulang euforia ARTO,” kata Wahyu. (*)