Logo
>

Bitcoin Ambil Alih Mahkota Emas?

Kabarnya, emas kini bisa dibuat di laboratorium dengan mengubah timbal. Apakah ini artinya emas sudah tidak lagi menjadi safe haven?

Ditulis oleh Yunila Wati
Bitcoin Ambil Alih Mahkota Emas?
Ilustrasi bitcoin yang siap mengambil mahkota dari emas sebagai aset safe haven.

KABARBURSA.COM - Ada kabar mengejutkan dari emas. Sebuah eksperimen ilmiah yang dilakukan para ilmuwan sukses mengubah timbal menjadi emas. Apa ini artinya akan banyak emas palsu yang beredar? Dan, apakah emas akan kehilangan predikatnya sebagai safe haven?

Jadi, eksperimen ilmiah yang baru-baru ini dilakukan di pusat riset fisika paling canggih di dunia, CERN, berhasil mengguncang salah satu fondasi pasar keuangan global. Para ilmuwan di sana dikabarkan sukses mengubah timbal menjadi emas. Meski masih jauh dari penerapan komersial, implikasinya mulai terasa di dunia investasi.

Reaksi cepat datang dari komunitas aset digital. Ran Neuner, salah satu tokoh terkemuka di dunia kripto dan pendiri Crypto Banter, tak butuh waktu lama untuk menanggapi. Ia menilai, keberhasilan menciptakan emas di laboratorium bisa mengancam status logam mulia itu sebagai aset yang langka dan aman. 

Menurut Neuner, jika emas bisa diproduksi secara sintetis, maka nilainya sebagai "store of value" bisa tergerus.

Ia membandingkan situasi ini dengan pasar berlian. Ketika berlian buatan mulai marak diproduksi, harga dan nilai eksklusivitasnya ikut terkikis. Ia memperkirakan skenario serupa akan terjadi pada emas. Dalam konteks ini, Neuner menilai Bitcoin justru tampil sebagai kandidat kuat pengganti emas sebagai aset lindung nilai utama.

Sejak awal, Bitcoin sering dipandang sebagai “emas digital” karena jumlahnya yang terbatas dan sifatnya yang tahan inflasi. Kini, dengan eksperimen CERN yang memicu pertanyaan soal kelangkaan emas, Bitcoin kembali menjadi sorotan utama.

Sepanjang beberapa bulan terakhir, performa Bitcoin mencatatkan hasil yang impresif. Aset digital ini telah melampaui level psikologis penting, menembus USD100.000 dan bertahan stabil di kisaran USD103.000, bahkan di tengah ketidakpastian global akibat perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok. 

Sebaliknya, harga emas mengalami koreksi hingga 10 persen, turun dari level tertingginya USD3.500 menjadi sekitar USD3.200.

Sejumlah analis dan tokoh industri pun menguatkan optimisme terhadap Bitcoin. Robert Kiyosaki, penulis buku keuangan ternama, memperkirakan harga Bitcoin dapat mencapai USD250.000 dalam siklus ini. 

Lebih jauh lagi, prediksi dari Standard Chartered dan tokoh lain seperti Arthur Hayes dan Samson Mow bahkan menempatkan Bitcoin di angka fantastis, yaitu USD1 juta, dengan asumsi Bitcoin suatu hari nanti mampu menyaingi kapitalisasi pasar emas.

Tren arus dana juga mencerminkan pergeseran ini. Investor institusi dilaporkan mulai mengalihkan portofolio lindung nilai mereka dari ETF emas ke ETF Bitcoin. Alasan utamanya adalah karena Bitcoin dianggap lebih likuid, transparan, dan secara matematis memiliki pasokan terbatas, berkebalikan dari potensi emas sintetis yang bisa diproduksi massal.

Namun, tak semua pihak sepakat. Peter Schiff, ekonom dan pengkritik setia Bitcoin, tetap memegang pendapat bahwa BTC bukan pengganti emas. Ia menilai nilai intrinsik emas tidak tergantikan oleh mata uang digital apa pun. Meski begitu, pasar tampaknya mulai bergerak ke arah berbeda.

Perubahan ini menggugah pertanyaan mendasar: jika emas tak lagi langka, apakah ia masih layak menyandang predikat sebagai safe haven utama? Dan jika Bitcoin justru menunjukkan performa dan penerimaan yang semakin luas, apakah mahkota itu akan berpindah tangan?

Mungkin belum hari ini. Tapi satu hal tampak jelas, bahwa persaingan antara emas dan Bitcoin sebagai aset lindung nilai telah memasuki babak baru. Dan kali ini, laboratorium sains ikut memainkan peran penting dalam ceritanya.

Harga Bitcoin Sepekan Naik Fantastis

Bitcoin kembali unjuk gigi di pasar finansial dengan performa yang bisa bikin senyum lebar para pemiliknya. Dalam sebulan terakhir, aset digital ini mencatatkan lonjakan harga yang luar biasa, sekitar Rp288 juta atau naik 20,16 persen. 

Angka yang tentu tidak main-main, apalagi jika dibandingkan dengan instrumen investasi konvensional yang cenderung bergerak lambat.

Per 16 Mei, harga Bitcoin berada di kisaran Rp1,71 miliar per BTC. Sebulan sebelumnya, tepatnya pada 4 Mei, harganya masih bertengger di sekitar Rp1,57 miliar. Dalam waktu kurang dari 30 hari, lonjakan ini jelas mencerminkan optimisme pasar yang sedang tinggi terhadap Bitcoin, baik dari investor ritel maupun institusional.

Kenaikan harga ini tidak datang begitu saja. Ada banyak sentimen yang mendukung, mulai dari ketidakpastian ekonomi global, ancaman inflasi, hingga pergeseran arus dana dari emas ke aset digital. 

Banyak investor mulai melihat Bitcoin bukan lagi sekadar aset spekulatif, melainkan alat lindung nilai yang kredibel. Dan dengan makin meluasnya akses ke produk-produk seperti ETF Bitcoin, eksposur institusional terhadap BTC makin deras.

Yang juga menarik, pergerakan ini terjadi di tengah fase pasar yang masih cukup fluktuatif. Artinya, kenaikan Bitcoin bukan hanya karena tren sesaat, melainkan ada momentum kuat di baliknya. 

Optimisme terhadap adopsi lebih luas, pengakuan regulasi yang lebih bersahabat di berbagai negara, dan dukungan tokoh-tokoh besar di dunia keuangan membuat Bitcoin semakin diterima sebagai bagian dari portofolio investasi modern.

Bagi investor lama, ini jadi semacam validasi atas kesabaran mereka selama volatilitas tinggi. Sementara bagi investor baru, harga Rp1,7 miliar per koin mungkin terdengar berat. Tapi jangan lupa, Bitcoin bisa dibeli dalam pecahan kecil, bahkan mulai dari puluhan ribu rupiah.

Jadi, entah kamu sudah jadi hodler sejak awal atau baru mengamati dari pinggir, satu hal jelas, Bitcoin saat ini sedang naik daun lagi. Dan jika tren ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin angka-angka yang hari ini tampak fantastis akan jadi "harga lama" di masa depan.

Tren Harga Bitcoin di 2025

Bitcoin, si raja aset digital, terus menarik perhatian tak hanya karena harganya yang tinggi, tapi juga karena pola kepemilikan dan proyeksi masa depannya yang makin menggairahkan. 

Kalau kita lihat dari sisi teknikal dan statistik blockchain, gambaran tentang ekosistem BTC ternyata cukup dalam dan kompleks, dan justru di sanalah letak daya tariknya.

Saat ini, harga Bitcoin diproyeksikan terus menanjak hingga tahun 2030. Dalam waktu dekat saja, tahun 2025 misalnya, BTC diprediksi bisa mencapai angka sekitar USD103.461, lalu meningkat secara bertahap menjadi USD108.634 pada 2026, USD114.065 pada 2027, dan terus naik hingga USD119.769 di tahun 2028. 

Polanya memang bukan lonjakan vertikal seperti yang sering kita lihat di tahun-tahun hype, melainkan lebih ke tren naik yang konsisten dan sehat, sebuah indikasi bahwa Bitcoin perlahan mulai dinormalisasi sebagai aset investasi jangka panjang, bukan sekadar instrumen spekulatif.

Dari sisi distribusi kepemilikan, data menunjukkan bahwa mayoritas alamat dompet Bitcoin, sekitar 77,02 persen, hanya memegang aset dalam kisaran USD0 hingga USD1.000. Ini menunjukkan bahwa komunitas Bitcoin tetap inklusif, banyak partisipan ritel kecil yang menyimpan sebagian kecil dari portofolionya dalam BTC. 

Lalu, sekitar 21,06 persen memegang Bitcoin dalam jumlah sedang, antara USD1.000 hingga USD100.000, yang kemungkinan besar adalah investor serius namun bukan institusi besar. Sementara itu, hanya sekitar 1,92 persen alamat yang memegang lebih dari USD100.000, dan bahkan dari kategori “whales” atau pemegang besar, persentasenya sangat kecil, hanya 1,25 persen. 

Ini memperlihatkan distribusi yang tidak terlalu timpang dan menepis mitos bahwa Bitcoin hanya dikendalikan oleh segelintir orang.

Kalau ditilik dari pola waktu kepemilikan, mayoritas pemilik Bitcoin saat ini tergolong holders sejati. Sebanyak 74,91 persen dari semua alamat dompet menyimpan BTC dalam jangka panjang, tanpa banyak melakukan jual-beli. 

Mereka ini yang sering disebut sebagai “diamond hands”, investor yang tahan terhadap volatilitas dan percaya pada nilai jangka panjang BTC. Sementara itu, ada juga 20,72 persen yang masuk kategori cruisers, yaitu mereka yang menyimpan Bitcoin selama beberapa bulan hingga setahun. 

Sisanya, hanya 4,37 persen adalah traders, yang lebih sering berpindah-pindah posisi, membeli dan menjual dalam waktu singkat.

Lalu, bagaimana soal biaya transaksi? Di sinilah keunggulan efisiensi Bitcoin mulai terasa. Rata-rata biaya transaksi dalam 30 hari terakhir tercatat hanya sekitar USD3,49 atau 0.000034 BTC. 

Dengan jaringan yang semakin berkembang dan teknologi seperti Lightning Network yang mulai diadopsi lebih luas, efisiensi ini diperkirakan akan makin membaik ke depan.

Secara teknikal, Bitcoin menunjukkan fondasi yang makin kuat. Harga cenderung naik konsisten, mayoritas pemilik bersikap jangka panjang, distribusi dompet cukup merata, dan biaya transaksi stabil. 

Semua ini menunjukkan bahwa Bitcoin perlahan tapi pasti mulai bertransformasi dari aset spekulatif ke instrumen investasi strategi, mungkin bahkan menjadi digital equivalent dari obligasi emas di era digital.

Jadi, bagi siapa pun yang memandang jauh ke depan, lanskap Bitcoin saat ini bisa jadi awal dari babak baru. Sebuah aset yang bukan cuma tentang potensi keuntungan, tapi juga soal kestabilan dan peran barunya dalam tatanan finansial global.

Market Cap Bitcoin

Dengan kapitalisasi pasar mencapai USD2,05 triliun, Bitcoin kembali menegaskan dominasinya sebagai aset digital terbesar di dunia. Angka ini bukan hanya mencerminkan harga per keping BTC yang tinggi, tapi juga menunjukkan betapa besarnya kepercayaan pasar terhadap masa depan kripto nomor satu ini. 

Kapitalisasi pasar yang sedemikian besar menempatkan Bitcoin dalam liga tersendiri, sejajar dengan perusahaan-perusahaan teknologi raksasa di Wall Street. Dan menariknya, kenaikan ini terjadi meskipun hanya mencatat pertumbuhan harian sebesar 0,25 persen, menandakan kestabilan yang semakin terbentuk.

Kalau kita tengok dari sisi volume perdagangan harian, nilainya juga tak kalah mencolok. Dalam 24 jam terakhir, nilai transaksi Bitcoin menembus angka USD37,82 miliar. Ini membuktikan bahwa likuiditas Bitcoin tetap terjaga dengan sangat baik, membuatnya tetap menjadi pilihan utama para trader, institusi, hingga investor jangka panjang. 

Rasio volume terhadap market cap di angka 1,84 persen memperlihatkan bahwa meskipun kapitalisasinya tinggi, perputaran hariannya tetap aktif dan sehat, tanda bahwa pasar masih sangat dinamis dan hidup.

Sementara itu, angka FDV atau fully diluted valuation Bitcoin saat ini berada di kisaran USD2,16 triliun. FDV ini mencerminkan nilai Bitcoin jika semua unit, yakni total 21 juta BTC, sudah beredar sepenuhnya di pasar. 

Tapi perlu dicatat, saat ini jumlah total pasokan yang telah beredar mencapai 19,86 juta BTC, yang artinya kita sudah sangat dekat dengan batas maksimal yang telah dikodekan sejak awal dalam protokol Bitcoin. 

Dan inilah yang membuat Bitcoin begitu unik, tidak bisa dicetak ulang, tidak bisa diproduksi seenaknya, dan benar-benar terbatas. Sifat kelangkaan inilah yang terus menjadi argumen utama mengapa Bitcoin sering disebut sebagai "emas digital".

Dengan pasokan maksimal sebesar 21 juta BTC, dan sisa pasokan yang belum ditambang hanya sekitar 1,14 juta BTC, tekanan suplai semakin ketat seiring waktu. Dan seperti hukum ekonomi klasik: ketika permintaan tetap tinggi tapi pasokan terbatas, harga berpotensi terus terdorong naik. 

Kombinasi antara kapitalisasi pasar yang besar, likuiditas yang kuat, serta pasokan yang hampir penuh inilah yang menjadi alasan utama banyak investor mulai memandang Bitcoin bukan hanya sebagai aset berisiko tinggi, tapi juga sebagai penyimpan nilai jangka panjang.

Secara keseluruhan, kondisi saat ini memperlihatkan bahwa Bitcoin bukan lagi sekadar aset kripto yang naik turun karena spekulasi. Ia telah berubah menjadi ekosistem finansial yang matang, dengan fundamental yang kuat, daya tarik global, dan struktur ekonomi yang tidak bisa ditiru begitu saja. 

Dan dengan semakin dekatnya pada batas pasokan maksimal, Bitcoin seperti sedang bersiap melangkah ke fase baru: dari alat spekulasi, menjadi simbol nilai yang tidak bisa dicetak ulang.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Yunila Wati

Telah berkarier sebagai jurnalis sejak 2002 dan telah aktif menulis tentang politik, olahraga, hiburan, serta makro ekonomi. Berkarier lebih dari satu dekade di dunia jurnalistik dengan beragam media, mulai dari media umum hingga media yang mengkhususkan pada sektor perempuan, keluarga dan anak.

Saat ini, sudah lebih dari 1000 naskah ditulis mengenai saham, emiten, dan ekonomi makro lainnya.

Tercatat pula sebagai Wartawan Utama sejak 2022, melalui Uji Kompetensi Wartawan yang diinisiasi oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dengan nomor 914-PWI/WU/DP/XII/2022/08/06/79