KABARBURSA.COM - BPJS Ketenagakerjaan mencatat lonjakan pesat dalam kepesertaan Pekerja Migran Indonesia (PMI) selama periode 2021 hingga Juni 2024. Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan, Anggoro Eko Cahyo, menyampaikan bahwa jumlah kepesertaan PMI telah melonjak 151,38 persen.
"Jumlah kepesertaan PMI pada 2021 sekitar 235 ribu, dan kini telah mencapai 592 ribu. Artinya, naik hampir dua setengah kali lipat," ujar Anggoro dalam Rapat Dengar Pendapat (RPD) dengan DPR RI Komisi IX, Selasa 2 Juli 2024 lalu.
Detailnya, kepesertaan PMI pada tahun 2021 mencapai 235.657 peserta, lalu meningkat 42,38 persen pada 2022 menjadi 333.163 peserta. Tren pertumbuhan paling signifikan terjadi pada tahun 2023 dengan lonjakan 41,95 persen, mencapai 472.934 peserta. Hingga Mei 2024, jumlah kepesertaan PMI terus bertambah 25,26 persen menjadi 592.392 peserta.
Dalam hal sebaran kepesertaan PMI, BPJS Ketenagakerjaan mencatat Taiwan sebagai negara dengan jumlah PMI terbanyak, mencakup 36,55 persen dari total peserta atau sebanyak 216.738 orang. Malaysia mengikuti dengan 176.278 peserta atau 28,73 persen. Sisanya tersebar di negara-negara seperti Hongkong, Korea Selatan, Jepang, Singapura, Arab Saudi, dan negara-negara Asia lainnya.
Di sisi klaim, BPJS Ketenagakerjaan telah menyalurkan klaim sebesar Rp55,10 miliar untuk 2.368 kasus melalui program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM) sejak 2017 hingga Mei 2024.
Menteri Tenaga Kerja (Menaker) RI Ida Fauziah telah meresmikan Balai Latihan Kerja (BLK) Pertakina di Desa Dayu, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar. BLK ini menjadi pusat pelatihan bahasa dan kompetensi untuk calon Pekerja Migran Indonesia (PMI), PMI aktif, dan keluarga mereka, bertujuan untuk mempersiapkan calon PMI yang kompeten dan berkualitas.
Dalam pertemuan dengan media, Menaker Ida Fauziah menegaskan bahwa PMI wajib menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan sebagai syarat utama sebelum berangkat kerja ke luar negeri, sesuai dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 4 tahun 2023. Program ini bertujuan untuk memastikan bahwa PMI mendapatkan perlindungan sosial yang memadai sepanjang proses pelatihan dan penempatan kerja di luar negeri.
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 4 Tahun 2023 memperluas cakupan manfaat jaminan sosial bagi Pekerja Migran Indonesia (PMI) dari 14 menjadi 21 manfaat yang berbeda.
Dalam Permenaker tersebut, manfaat tambahan yang disebutkan meliputi: penggantian biaya pengobatan akibat kecelakaan kerja di negara penempatan dengan batas maksimal Rp 50 juta; layanan homecare selama satu tahun dengan batas biaya maksimal Rp 20 juta; penggantian alat bantu dengar hingga Rp 2,5 juta; penggantian kacamata maksimal Rp 1 juta; bantuan pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak sebesar Rp 1,5 juta; kompensasi bagi PMI yang ditempatkan tidak sesuai dengan perjanjian kerja sebesar Rp 25 juta; dan biaya transportasi dengan batas maksimal Rp 15 juta.
Netty Prasetiyani Aher, Anggota Komisi IX DPR RI, mengekspresikan pertanyaannya mengenai dampak dari penambahan tujuh manfaat baru ini terhadap peningkatan kepesertaan PMI. Ia mengindikasikan bahwa masih ada pertimbangan mengenai alasan di balik rendahnya jumlah PMI yang mendaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan, mungkin karena masalah manfaat yang kurang atau persoalan lain.
Data dari Kementerian Ketenagakerjaan per Juli 2023 menunjukkan bahwa dari jutaan PMI, hanya 391.344 orang yang terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan. Informasi lain menyebutkan bahwa hanya sekitar 9.000 PMI yang bekerja di Arab Saudi yang terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan.
Netty juga menyoroti alasan-alasan dari PMI sendiri, yang menurut pengakuan mereka dan laporan dari Direktorat Jenderal Ketenagakerjaan dan Sumber Daya Manusia (DJSN), termasuk kesulitan dalam mengakses layanan dan mengklaim manfaat saat diperlukan.
"Mengatasi masalah akses dan klaim manfaat ini harus menjadi prioritas Kemnaker dan BPJS. Kita perlu memastikan bahwa PMI dapat dengan mudah mengakses layanan dan mengklaim manfaatnya, tanpa hambatan yang berarti," ujar Netty.
Menurut Netty, pemerintah harus berupaya untuk memberikan sistem jaminan sosial yang dapat diakses dengan mudah dan cepat oleh PMI di luar negeri, bekerja sama dengan BPJS Ketenagakerjaan dan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) untuk menyelaraskan dan menyinkronkan data.
"PMI yang berkontribusi besar bagi devisa negara tidak boleh merasa bahwa sistem jaminan sosial di negara penempatan lebih mudah diakses daripada BPJS. Program-program manfaat yang ditawarkan harus relevan dan memenuhi kebutuhan nyata dari PMI," tambah Netty.
Sejak awal tahun 2024, BPJS Ketenagakerjaan telah menunjukkan kinerja yang impresif dalam mengelola program jaminan sosial untuk tenaga kerja di Indonesia. Berikut adalah beberapa poin penting mengenai kinerja BPJS Ketenagakerjaan tahun ini:
- Peningkatan Kepesertaan PMI: BPJS Ketenagakerjaan mencatat lonjakan signifikan dalam kepesertaan Pekerja Migran Indonesia (PMI). Dari tahun 2021 hingga Juni 2024, jumlah kepesertaan PMI tumbuh sebesar 151,38 persen, mencapai angka 592.392 peserta. Ini menunjukkan komitmen BPJS untuk melindungi hak-hak para pekerja migran melalui program jaminan yang mereka kelola.
- Penyaluran Klaim JKK dan JKM: Sebagai bagian dari tanggung jawabnya, BPJS Ketenagakerjaan telah berhasil menyalurkan klaim sebesar Rp55,10 miliar untuk 2.368 kasus melalui program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM). Klaim ini merupakan akumulasi dari tahun 2017 hingga Mei 2024, yang menunjukkan komitmen mereka dalam memberikan perlindungan finansial kepada peserta yang mengalami kecelakaan atau meninggal dunia dalam lingkup kerja.
- Peningkatan Transparansi dan Pelayanan: BPJS Ketenagakerjaan terus berupaya meningkatkan transparansi dan kualitas pelayanan kepada peserta. Hal ini tercermin dalam upaya mereka untuk memberikan informasi yang jelas dan akses yang mudah terhadap manfaat jaminan sosial yang mereka sediakan.
- Kolaborasi dengan Pemerintah dan Pihak Terkait: Untuk memastikan keberlangsungan program jaminan sosial, BPJS Ketenagakerjaan aktif berkolaborasi dengan berbagai pihak terkait, termasuk pemerintah dan lembaga lainnya. Hal ini penting untuk meningkatkan efisiensi dalam pengelolaan dana dan perlindungan sosial bagi tenaga kerja di Indonesia. (*)