Logo
>

Bukan lagi Ibu Kota, Jakarta Masih Jadi Primadona Sektor Perkantoran

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Bukan lagi Ibu Kota, Jakarta Masih Jadi Primadona Sektor Perkantoran

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Meski telah kehilangan statusnya sebagai ibu kota, Colliers Indonesia menyebut kota ini masih menjadi primadona bagi sektor perkantoran pada tahun 2025.

    Head of Research Colliers Indonesia, Ferry Salanto mengungkapkan, Kota Jakarta masih menjanjikan untuk sektor-sektor yang mencatatkan permintaan tinggi, antara lain adalah perusahaan yang bergerak di bidang jasa pengiriman (shipping), industri otomotif, serta perusahaan yang berhubungan dengan elektronik.

    “Salah tiganya ini adalah kantor-kantor yang bergerak dalam jasa pengiriman atau shipping. Kemudian, ada juga industri otomotif, dan elektronik,” ungkapnya dalam Media Briefing virtual, Rabu, 8 Januari 2025.

    Ferry menjelaskan bahwa permintaan ruang kantor di sektor jasa pengiriman masih stabil. Hal ini dikarenakan bisnis pengiriman barang yang terus berkembang, baik untuk kebutuhan logistik domestik maupun internasional.

    Selain itu, sektor otomotif, khususnya yang berfokus pada kendaraan listrik (EV), juga menunjukkan tren positif. Perkembangan sektor otomotif berperan dalam meningkatkan kebutuhan akan ruang kantor untuk perusahaan yang terlibat dalam industri ini.

    “Industri otomotif yang berkembang pesat, terutama yang berbasis kendaraan listrik, yang turut mendorong permintaan ruang kantor. Begitu juga dengan perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang elektronik,” ujar Ferry.

    Harga Sewa Mulai Murah?

    Lebih lanjut, stabilnya permintaan ruang kantor menurut Ferry mkarena saat ini banyak pelaku usaha dalam hal ini penyewa yang berada di gedung dengan grade B atau di luar CBD mulai mempertimbangkan untuk pindah ke gedung dengan kualitas lebih baik. Hal ini disebabkan oleh harga sewa yang saat ini masih menguntungkan bagi tenant.

    “Jadi, selain mencari gedung yang lebih bagus, penyewa juga tetap mempertimbangkan kualitas gedung dan lokasi. Lokasi dengan aksesibilitas yang baik, seperti yang terhubung dengan transportasi massal seperti LRT dan MRT, masih menjadi pilihan favorit bagi calon penyewa,” jelas Ferry.

    Menurut Ferry, tingkat hunian secara umum mengalami peningkatan meski pertumbuhannya masih moderat. Hal ini karena masih dibutuhkan waktu untuk kembali ke tingkat hunian yang lebih tinggi, setara dengan sebelum pandemi.

    Ferry juga mencatat bahwa harga sewa kini mulai stabil. Selisih antara harga penawaran dan harga transaksi kini lebih wajar, berkisar 10-20 persen, dibandingkan sebelumnya yang sempat mencapai 30 persen atau lebih.

    Menurutnya, ini menandakan bahwa gedung-gedung dengan tingkat okupansi di atas 70 persen sudah lebih percaya diri untuk menetapkan harga sewa yang lebih realistis.

    “Secara umum, tarif sewa pada 2024 menunjukkan kenaikan sekitar 3 persen dibandingkan tahun lalu, meskipun selisih antara harga penawaran dan transaksi semakin mengecil. Gedung-gedung yang sudah terisi dengan baik kini lebih percaya diri dalam menerapkan harga sewa yang lebih seimbang,” tambah Ferry.

    Dampak PPN 12 Persen

    Ferry juga menyebut, kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen untuk barang mewah tidak akan berdampak signifikan pada penjualan properti di Indonesia.

    Menurutnya, jumlah properti yang masuk dalam kategori barang mewah dengan harga di atas Rp30 miliar masih terbatas. Segmen pasarnya pun, kata Ferry, juga masih kecil. Karakteristik konsumen rumah di atas Rp30 miliar juga berbeda jauh dari konsumen kelas menengah ke bawah.

    “Kalau kita lihat, objek PPN 12 persen ini hanya untuk hunian mewah, secara umum tidak terlalu banyak dampak. Karena pertama, kalau kita bicara hunian mewah itu jumlahnya sangat sedikit sekali,” ujarnya dalam Media Briefing virtual, Rabu, 8 Januari 2025.

    Ferry menyebut rumah dengan harga di atas Rp30 miliar masuk dalam kategori “very luxury”. Sementara rumah yang tergolong “luxury” biasanya berada di kisaran harga Rp10-15 miliar untuk kategori real estate.

    “Kalau di atas Rp30 miliar itu biasanya individual houses. Pasarnya memang sangat sedikit. Jadi, kalau kita bicara pengaruh ke serapan, tidak ada, karena memang beda market,” tambahnya.

    Menurut Ferry, segmen pasar ini sebenarnya tidak menjadi masalah besar. Pasalnya, bagi orang yang memiliki kemampuan finansial, keterbatasan stok justru membuat properti tersebut semakin eksklusif.

    “Segmen market ini sebetulnya tidak terlalu jadi issue karena kalau bagi orang yang punya duit dengan ini stok sedikit sehingga jadi barang yang eksklusif, kalau mereka mau beli, mereka akan beli,” tambahnya.

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Ayyubi Kholid

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.