KABARBURSA.COM - Direktur Utama Perum Bulog (Persero), Bayu Krisnamurthi, menyampaikan kekhawatirannya mengenai potensi defisit stok beras domestik yang diperkirakan mencapai 3 juta ton pada awal 2025. Kondisi serupa sebelumnya terjadi pada Januari—Februari 2024.
“Kita menghadapi Januari—Februari dengan kondisi paceklik atau masa belum panen, di mana terjadi defisit konsumsi produksi nasional sekitar 3 juta ton. Maret kita akan masuk ke bulan Ramadan,” ujar Bayu dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi IV DPR RI, Kamis 5 September 2024.
Melihat potensi defisit tersebut, Bayu berharap Bulog dapat diberikan penugasan lebih dini untuk segera mengimpor beras guna mengantisipasi kekurangan 3 juta ton yang diperkirakan akan terjadi pada awal 2025.
“Kami sebagai operator sangat berharap instruksi untuk menambah stok diberikan lebih awal, supaya persiapan bisa maksimal. Terlebih, Maret nanti sudah masuk Ramadan yang lebih cepat, jadi saya rasa ini perlu kita antisipasi bersama,” jelasnya.
Meski begitu, Bayu menegaskan bahwa stok beras untuk kebutuhan nasional hingga akhir tahun ini masih dalam kondisi aman. Pemerintah, lanjutnya, telah mengamankan sekitar 1,35 juta ton beras, dengan tambahan 900.000 ton beras impor yang segera masuk ke Indonesia dalam waktu dekat.
Bayu juga menyebut, pengadaan dalam negeri masih mengandalkan skenario optimis dengan penyerapan tambahan 200.000 ton. Sehingga, hingga akhir tahun 2024, pasokan beras diproyeksikan mencapai sekitar 2,45 juta hingga 2,5 juta ton.
Pada kesempatan yang sama, Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas), Arief Prasetyo Adi, memberikan instruksi kepada Perum Bulog untuk segera menyerap cadangan beras pemerintah (CBP) menjelang perhelatan Pilkada pada 27 November 2024.
Menurut Arief, permintaan beras cenderung meningkat signifikan menjelang Pilkada, mirip dengan tren saat pemilihan presiden (Pilpres). Untuk itu, Bapanas menargetkan cadangan CBP di atas 2 juta ton untuk menghindari lonjakan harga.
“Cadangan beras pemerintah, khususnya milik Bulog, harus aman. Kami berharap jumlahnya bisa lebih dari 2 juta ton, mengingat stok saat ini hanya 1,3 juta ton,” tutur Arief.
Arief juga menambahkan, hal ini sudah dikomunikasikan kepada tim transisi presiden terpilih agar mereka turut mempersiapkan strategi menghadapi peningkatan kebutuhan beras.
“Kita harus bersiap dari sekarang. Menjelang Pilkada dan Pilpres, kebutuhan beras biasanya meningkat tajam, terlebih di tiga bulan terakhir tahun ini dan dua bulan pertama di tahun depan. Oleh karena itu, persiapan cadangan pangan pemerintah, terutama beras, menjadi sangat krusial,” pungkas Arief.
Bapanas Dicecar
Ketua Komisi IV DPR RI, Sudin, mempertanyakan peningkatan tajam impor beras yang dilakukan Bulog sepanjang tahun 2024 dalam rapat dengar pendapat dengan Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas), Arief Prasetyo Adi. Sudin menyoroti kebijakan pemerintah yang memutuskan untuk mengimpor hingga 3,6 juta ton beras, sementara penyerapan produksi dalam negeri masih sangat rendah.
"Berapa banyak stok beras yang sebenarnya dimiliki Bulog?" tanya Sudin. Arief menjawab bahwa pada tahun 2023, Bulog mampu menyerap sekitar 1 juta ton dari produksi dalam negeri. "Sebagian besar beras kami peroleh dari produksi lokal, sekitar 1 juta ton," jelasnya.
Namun, Sudin kembali menantang, "Lalu, bagaimana dengan impor? Tahun lalu berapa?" Arief menjelaskan bahwa pada 2023, Bulog mengimpor sekitar 2 juta ton beras, sementara tahun ini angka itu melonjak menjadi 3,6 juta ton.
Sudin mengkritik rendahnya penyerapan beras lokal di tahun 2024, yang hanya mencapai 833 ribu ton. “Impor sampai 3,6 juta ton? Itu jumlah yang sangat besar,” tegas Sudin.
Arief menyatakan bahwa Bulog memang telah ditugaskan untuk menambah penyerapan dalam negeri sebanyak 600 ribu ton lagi. Namun, Sudin tetap skeptis, “Apakah itu sudah dilakukan?”
Arief mengakui bahwa proses penyerapan masih berlangsung, dan produksi beras nasional diperkirakan meningkat pada bulan Agustus hingga Oktober 2024. “Kami memperkirakan produksi pada Agustus hingga Oktober berada di atas kebutuhan konsumsi, mencapai sekitar 2,5 hingga 2,6 juta ton,” ungkap Arief, sembari memperlihatkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS).
Namun, Arief juga menekankan bahwa cadangan pangan pemerintah, khususnya beras, harus dipersiapkan secepatnya mengingat masa kritis menjelang Pemilu 2024. Sudin menekan lebih lanjut, meminta kejelasan apakah Bulog akan mengandalkan stok dari dalam atau luar negeri.
Arief menjelaskan bahwa pengadaan beras dari dalam negeri tetap menjadi prioritas. Namun, jika pasokan lokal tidak mencukupi, impor menjadi langkah terakhir yang terpaksa diambil. "Prioritas pertama tentu pengadaan dari dalam negeri, tetapi jika penyerapan dalam negeri terlalu mahal dan mendorong harga naik, kami terpaksa mengimpor," kata Arief.
Diskusi berlanjut dengan fokus pada kemampuan Bulog menyerap beras dengan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang ditetapkan. Sudin bertanya, "Apakah HPP yang sekarang memungkinkan Bulog menyerap CBP?"
Arief mengakui bahwa HPP untuk Cadangan Beras Pemerintah (CBP) memang sulit dicapai karena harga pasar yang jauh lebih tinggi. “HPP untuk CBP memang agak sulit, Pak. Namun, untuk skema komersial masih bisa dilakukan,” jawab Arief.
Sudin tak puas, “Saya tidak bertanya soal komersial. Fokus saya pada CBP. Jangan sampai nanti, di bulan Oktober, ketika pemerintahan baru masuk, Bulog tidak bisa menyerap CBP karena harga pasar dan HPP berbeda jauh. Bagaimana prediksinya?”
Arief menyadari tantangan ini, terutama dengan HPP yang ditetapkan pada Rp11.000 per kilogram. "Dengan harga Rp11.000 dari Bapanas, sulit bagi Bulog untuk menyerap banyak, terutama saat produksi rendah," jelasnya.
Kunci dari keberhasilan penyerapan, lanjut Arief, sebenarnya terletak pada jumlah produksi. “Jangan sampai kita menaikkan harga pembelian Bulog hingga Rp12.500, tetapi produksinya tidak ada. Ini hanya akan mengangkat harga tanpa ada yang bisa diserap,” paparnya.
Arief menambahkan bahwa proyeksi produksi beras nasional pada 2024 menunjukkan potensi defisit sebesar 1,6 juta ton. Jika tren ini berlanjut, defisit beras akan mencapai 1 juta ton setiap bulan hingga akhir tahun. "Tahun lalu kita impor 2 juta ton, tahun ini 3,6 juta ton. Angka ini sejalan dengan sistem peringatan dini yang kita gunakan," tutup Arief.
“Cadangan pangan pemerintah, khususnya di Bulog, menjadi sangat penting. Kami tidak bisa terlambat mempersiapkan stok,” imbuh Arief, menegaskan urgensi persiapan menghadapi masa-masa kritis ke depan. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.