KABARBURSA.COM - Bursa saham Asia kembali lunglai pada Jumat, 4 April 2025, menyusul efek berantai dari tarif tinggi Presiden Donald Trump yang bikin Wall Street terguncang hebat—bahkan disebut sebagai gejolak paling besar sejak pandemi COVID-19 menghantam pasar global tahun 2020.
Segala macam aset ikut goyah. Harga minyak mentah turun, saham-saham teknologi besar ikut anjlok, dan nilai tukar dolar AS pun melemah terhadap sejumlah mata uang utama. Bahkan emas, yang biasanya jadi pelarian investor saat krisis, ikut terkoreksi. Semua ini dipicu pengumuman Trump soal kebijakan tarif besar-besaran yang ia sebut sebagai paket “Hari Pembebasan”. Ekonom mengingatkan, langkah ini bisa memunculkan kombinasi berbahaya, yakni perlambatan ekonomi dan lonjakan inflasi.
Sejumlah pasar di Asia—seperti Shanghai, Taiwan, Hong Kong, dan Indonesia—libur karena hari besar, sehingga tekanan jual di kawasan ini sedikit terbatas. Efek tarif Trump disebut ekonom baru akan memukul pasar saham Indonesia setelah perdagangan kembali dibuka pada Selasa pekan depan.
Dilansir dari AP di Jakarta, Jumat, indeks Nikkei 225 di Tokyo ambles 4,3 persen ke level 33.263,58. Di Seoul, indeks Kospi tenggelam 1,8 persen ke 2.441,86. Pemerintah Jepang dan Korea Selatan, dua sekutu utama AS, menyatakan fokus utama mereka saat ini adalah membuka negosiasi tarif yang lebih rendah dengan pemerintahan Trump. Australia juga tak luput. Indeks S&P/ASX 200 turun 2,2 persen menjadi 7.684,30.
Sementara itu, dolar AS di pasar Asia melemah ke 145,39 yen Jepang dari posisi sebelumnya di 146,06. Yen dikenal sebagai aset aman saat ketidakpastian meningkat, sedangkan kebijakan Trump memang ditujukan untuk melemahkan dolar demi membuat produk AS lebih kompetitif di pasar global. Euro naik ke USD1,1095 dari USD1,1055.
Tarif 10 Persen untuk Dunia, 49 Persen untuk Asia Miskin
Trump sebelumnya mengumumkan akan mengenakan tarif minimum 10 persen untuk seluruh produk impor dari dunia. Tapi tarif itu bisa jauh lebih tinggi tergantung negara asal barang. Untuk produk dari China dan Uni Eropa, tarifnya begitu melesat. Negara-negara kecil dan miskin di Asia bahkan dikenai bea masuk hingga 49 persen.
Menurut para ekonom UBS, kebijakan ini secara total bisa memangkas pertumbuhan ekonomi AS sampai 2 poin persentase tahun ini dan mendorong inflasi mendekati angka 5 persen. Level tarif yang diberlakukan disebut-sebut tertinggi dalam satu abad terakhir.
“Kebijakan ini bisa bikin otak waras berpikir bahwa kecil kemungkinan semuanya bakal dibiarkan terus berlanjut,” tulis Bhanu Baweja bersama tim analis UBS dalam laporan mereka.
Trump sendiri pernah bilang bahwa tarif “mungkin menimbulkan sedikit gangguan” pada ekonomi. Tapi Kamis kemarin, dia menepis kekhawatiran itu. Saat akan naik pesawat menuju Florida, ia bilang, “Pasar akan meroket, saham akan meroket, dan negara ini akan meroket.”
Apa yang ia katakan bertolak belakang dengan realita. Nyatanya, Pasar saham AS memang langsung merespons negatif. Indeks S&P 500 anjlok 4,8 persen ke level 5.396,52. Dow Jones terkoreksi 4 persen ke 40.545,93. Nasdaq terjun 6 persen ke 16.550,61.
Yang paling parah justru menimpa saham-saham perusahaan kecil. Indeks Russell 2000 ambles 6,6 persen dan resmi masuk zona koreksi—turun lebih dari 20 persen dari rekor tertingginya. Selain itu, empat dari lima saham dalam indeks S&P 500 tercatat turun.
Best Buy, ritel elektronik besar di AS, jatuh 17,8 persen karena sebagian besar barang dagangannya berasal dari luar negeri. Saham United Airlines merosot 15,6 persen karena kekhawatiran penurunan jumlah pelancong dan pebisnis. Target juga turun 10,9 persen akibat tekanan terhadap daya beli konsumen yang sudah dicekik inflasi kini makin berat menghadapi tarif baru.
Investor sebenarnya sudah memperkirakan Trump bakal umumkan tarif besar-besaran. Bahkan indeks S&P 500 sudah turun 10 persen dari rekor tertingginya sebelum pengumuman resmi. Sebagian analis menduga Trump hanya pakai tarif sebagai alat tawar-menawar, bukan kebijakan jangka panjang. Tapi pada Rabu, ia menegaskan bahwa ini adalah strategi untuk mengembalikan lapangan kerja manufaktur ke AS—yang tentu butuh waktu lama.
The Fed Bisa Turunkan Suku Bunga
The Fed (bank sentral AS) mungkin akan mempertimbangkan pemangkasan suku bunga untuk menopang perekonomian. Tapi masalahnya, suku bunga rendah juga bisa menyulut inflasi—sesuatu yang sudah cukup bikin rumah tangga AS gelisah mengingat tagihan bakal naik karena beban tarif.
Imbal hasil obligasi pemerintah AS juga turun karena ekspektasi pemangkasan suku bunga dan kekhawatiran terhadap kesehatan ekonomi. Yield obligasi tenor 10 tahun turun jadi 4,04 persen dari 4,20 persen sehari sebelumnya dan dari sekitar 4,80 persen pada Januari lalu.
Laporan Kamis menunjukkan jumlah pengajuan tunjangan pengangguran di AS lebih rendah dari perkiraan, sinyal yang cukup positif. Tapi di sisi lain, aktivitas bisnis sektor jasa seperti transportasi dan keuangan tumbuh lebih lambat dari yang diproyeksikan.
Sementara itu, harga minyak juga ikut merosot. Minyak mentah acuan AS turun 70 sen menjadi USD66,25 per barel. Brent, acuan internasional, turun 64 sen menjadi USD69,50 per barel.(*)