KABARBURSA.COM - Bank Indonesia (BI) melaporkan lonjakan signifikan cadangan devisa pada Agustus 2024, yang berhasil memecahkan rekor tertinggi sepanjang sejarah.
Pada Jumat 6 September 2024, BI mengumumkan bahwa cadangan devisa Indonesia per akhir Agustus mencapai USD150,2 miliar, naik USD4,8 miliar dibandingkan bulan sebelumnya.
Tak hanya itu, angka ini juga menjadi yang tertinggi sejak Indonesia merdeka. Posisi cadangan devisa ini mencerminkan pencapaian luar biasa dalam menjaga stabilitas perekonomian nasional.
Menurut BI, peningkatan ini didorong oleh beberapa faktor. Di antaranya penerimaan pajak dan jasa, penerimaan devisa dari sektor minyak dan gas, serta penarikan pinjaman luar negeri oleh pemerintah.
Pada akhir Agustus 2024, cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 6,7 bulan impor atau 6,5 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, jauh di atas standar internasional yang hanya sekitar 3 bulan impor.
Ke depan, BI optimis bahwa cadangan devisa ini cukup memadai untuk terus menjaga ketahanan sektor eksternal. Prospek ekspor yang tetap positif dan surplus neraca transaksi modal serta finansial turut menopang stabilitas eksternal.
Hal ini sejalan dengan persepsi positif investor terhadap prospek ekonomi nasional dan daya tarik imbal hasil investasi yang menarik.
Bank Indonesia juga terus memperkuat sinergi dengan pemerintah dalam upaya menjaga ketahanan eksternal. Langkah ini diambil demi menjaga stabilitas ekonomi yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, ungkap BI dalam keterangannya.
Data Cadangan devisa Disambut Rupiah Cerah
Rupiah kembali membuka jalan untuk menguat menuju level tertinggi yang tercatat tahun lalu, berkat sinyal perubahan kebijakan moneter yang semakin dekat dari Federal Reserve (The Fed). Perubahan ini, yang diharapkan terjadi pertengahan bulan ini, bisa memberikan dorongan positif bagi pasar.
Rencana The Fed untuk melakukan pelonggaran moneter, sebagai bank sentral dengan pengaruh global, memberikan peluang bagi Bank Indonesia (BI) untuk menyesuaikan kebijakannya. Penurunan suku bunga acuan oleh The Fed kemungkinan akan mendorong BI untuk mengikuti jejak serupa, menciptakan iklim yang lebih kondusif bagi perekonomian domestik.
Pelonggaran kebijakan ini sangat dinantikan setelah Indonesia menjalani periode pengetatan moneter sejak tahun 2022. Dengan suku bunga yang lebih rendah, perekonomian domestik diharapkan menerima stimulus yang dibutuhkan untuk mempercepat pertumbuhan, terutama dalam sektor investasi.
Obligasi Indonesia, salah satu instrumen yang diuntungkan dari penurunan suku bunga, diprediksi akan semakin menarik bagi investor asing. Bulan Agustus lalu menandai kebangkitan signifikan bagi rupiah, yang menguat sebesar lima persen. Ini menjadikannya salah satu mata uang dengan kinerja terbaik di Asia.
Sentimen pasar menunjukkan keyakinan bahwa periode pengetatan moneter global akan segera berakhir, yang mendorong penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD).
Data ekonomi terbaru dari Amerika Serikat menunjukkan perlambatan ekonomi, terutama terlihat dari sektor tenaga kerja yang lesu dan kontraksi dalam aktivitas manufaktur. Pelemahan ini memperkuat anggapan bahwa The Fed perlu segera melonggarkan kebijakan moneter untuk menghindari resesi. Beberapa pejabat The Fed juga telah mengungkapkan bahwa pemangkasan suku bunga diperlukan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi AS.
Dengan ekspektasi yang semakin meningkat akan adanya perubahan kebijakan dari pengetatan ke pelonggaran, aliran modal asing ke negara berkembang seperti Indonesia semakin terbuka. Dolar AS mulai kehilangan daya tariknya, sementara yield Treasury yang menurun menjadikan imbal hasil investasi di Indonesia lebih kompetitif.
Pada Agustus, investor asing membeli Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp38,7 triliun, jumlah terbesar sejak Januari 2023. Di pasar saham, arus modal asing juga sangat signifikan, dengan total pembelian mencapai Rp11,2 triliun, angka tertinggi dalam lima tahun terakhir. Jika tren ini berlanjut, rupiah berpotensi kembali menembus level di bawah Rp15.400 per USD.
Namun, ada beberapa kendala yang dapat menghambat penguatan rupiah. Pertama, normalisasi harga komoditas global dapat memperlebar defisit transaksi berjalan Indonesia. Ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan batu bara, penyumbang utama surplus neraca perdagangan Indonesia, mungkin hanya memberikan dukungan terbatas dalam jangka pendek hingga menengah karena risiko penurunan harga komoditas yang semakin besar.
Menurut analis Stephen Chiu dan Chunyu Zhang, kontribusi CPO dan batu bara terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia mencapai 2 hingga 3 persen pada tahun 2023. Normalisasi harga komoditas dapat menjadi risiko negatif bagi perekonomian ke depan, meski dalam dua tahun terakhir harga komoditas mendukung neraca perdagangan Indonesia.
Kedua, kebijakan fiskal di bawah pemerintahan baru yang akan dilantik pada Oktober mendatang juga menimbulkan kekhawatiran. Presiden terpilih, Prabowo Subianto, telah mengungkapkan niatnya untuk menaikkan rasio utang menjadi 50 persen dari PDB, dibandingkan posisi saat ini yang berada di angka 39 persen. Program-program ambisius yang direncanakan, dengan biaya besar, bisa menjadi beban tambahan bagi keuangan negara.
Para investor mungkin menunggu kejelasan mengenai program pembiayaan pemerintah baru sebelum kembali mengalirkan modal ke Indonesia. Hal ini bisa membatasi arus modal masuk dan menahan penguatan rupiah.
Jika faktor-faktor penghambat dapat diatasi, arus modal asing diperkirakan akan semakin deras. Mengingat posisi investasi asing di Indonesia belum sepenuhnya pulih ke level pra-pandemi, ada peluang besar bagi penguatan rupiah yang lebih signifikan ke depan.
Analisa menunjukkan bahwa rupiah menghadapi resistensi di level Rp15.751 per USD dan dukungan teknikal di Rp15.301 per USD, berdasarkan level Fibonacci. Dengan melemahnya dolar AS akibat ekspektasi penurunan suku bunga The Fed, peluang penguatan rupiah semakin terbuka.
Namun, ketidakpastian pasar global dan isu geopolitik tetap menyisakan risiko pelemahan rupiah hingga di atas Rp16.000 per USD. Gubernur BI, Perry Warjiyo, memprediksi rupiah memiliki potensi untuk menguat pada kuartal ketiga 2024 di kisaran Rp16.000 per USD, dan bergerak ke level Rp15.800 per USD pada akhir tahun.
Prediksi ini hampir terwujud dengan rupiah spot yang sempat menyentuh Rp15.399 per USD pada perdagangan hari ini, mendekati level penutupan tahun lalu di Rp15.397 per USD. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.