KABARBURSA.COM - Asosiasi Pengusaha Impor Daging Indonesia (Aspidi), angkat bicara mengenai pelemahan Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (AS) beberapa hari belakangan ini.
Sekretaris Jenderal Aspidi, Suhandri, mengatakan melemahnya Rupiah terhadap Dolar AS bisa membuat harga daging di pasaran merangkak naik.
"Otomatis (harga daging di pasaran naik) karena kenaikan ini atas barang yang sudah masuk," ujar dia kepada Kabar Bursa, Rabu 26 Juni 2024.
Suhandri menjelaskan, barang yang diimpor, dalam hal ini adalah daging, yang sudah masuk tidak berarti sudah dibayar.
Biasanya, daging baru akan dibayar hingga satu atau dua bulan setelah pembelian. Hal inilah yang menyebabkan harga daging di pasaran bisa naik.
Suhandri membeberkan harga daging di pasaran, khususnya sapi bisa bervariasi, tergantung jenisnya.
Berdasarkan pantauan dari panel Badan Pangan Nasional, Rabu 26 Juni 2024, harga daging sapi murni di pedagang eceran senilai Rp136.700 per kilogram.
Harga tertinggi terdapat di Papua Pegunungan dengan harga Rp172.130 per kilogram. Sementara harga terendah ada di Bali yang dibanderol Rp114.910 per kilogram.
Adapun di tengah melemahnya Rupiah ini, Suhandri menyampaikan para pedagang mengeluhkan pasar yang sepi.
"Keluhannya (pedagang) pasar sepi, artinya ada penurunan," ungkapnya.
Nilai tukar Rupiah pada akhir perdagangan, Selasa 25 Juni 2024, ditutup dengan di level Rp 16.375 per dolar Amerika Serikat (AS). Hal ini membuat Rupiah menguat dibanding hari sebelumnya sebesar Rp 16.394 per dolar AS.
Sementara pada pagi kemarin, Rupiah terlihat menguat. Di awal perdagangan, Rupiah naik 22 poin atau 0,14 persen menjadi Rp16.372 per Dolar AS.
Penguatan ini terjadi di tengah membaiknya sentimen pasar terhadap aset berisiko. Aset berisiko adalah aset apapun yang memiliki tingkat risiko tertentu. Umumnya mengacu pada aset yang memiliki tingkat volatilitas harga yang signifikan, seperti ekuitas, komoditas, obligasi bunga tinggi, real estat, dan mata uang.
Di sisi lain Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Eko Listiyanto, mengungkapkan bahwa tren pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) diperkirakan akan berlanjut hingga akhir tahun atau kuartal IV-2024.
Menurut Eko, penguatan rupiah hingga akhir 2024 hanya akan terjadi pada momen-momen tertentu seperti pemilihan kepala daerah (pilkada) dan masa libur akhir tahun.
“Sampai akhir tahun dugaan saya akan ada booster di kuartal IV-2024 karena ada pilkada dan libur akhir tahun, tapi memang secara umum rupiah ini akan cenderung tidak stabil,” ungkap Eko dalam agenda Seminar Nasional Kajian Tengah Tahun INDEF 2024: Presiden Baru, Persoalan Lama, Selasa 25 Juni 2024.
Eko menambahkan bahwa tidak stabilnya rupiah disebabkan karena banyak pengusaha yang masih bergantung pada bahan baku impor. Mereka perlu membeli dolar AS untuk memenuhi kebutuhan impor mereka. “Otomatis mereka memburu dolar AS untuk bisa mencukupi kebutuhan itu,” tambah Eko.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif INDEF, Esther Sri Astuti menyatakan bahwa fluktuasi nilai tukar rupiah dipengaruhi oleh kebijakan fiskal dan moneter yang masih ketat.
“Saat ini, kondisi ekonomi baik dari segi fiskal maupun moneter masih relatif ketat dengan terus meningkatnya suku bunga dan fluktuasi nilai tukar,” kata dia.
Mayoritas Bahan Baku
Dengan kondisi tersebut industri manufaktur bakal menjadi salah satu sektor yang paling terdampak karena mayoritas bahan baku yang berasal dari luar negeri.
“Karena nilai tukar Rupiah terhadap dolar terdepresiasi, sehingga industri manufaktur yang menggantungkan diri pada bahan baku impor akan sangat terdampak,” kata Esther.
Esther menegaskan bahwa pelemahan nilai tukar rupiah pasti berdampak pada industri manufaktur, karena masih bergantung pada impor bahan baku.
“Ini menunjukkan bahwa produksi industri dalam negeri masih sangat bergantung pada bahan baku impor, sehingga pelemahan mata uang pasti berdampak pada industri manufaktur,” ungkapnya.
Dia juga menyoroti permasalahan kompleks yang sedang dihadapi dalam perekonomian, khususnya terkait dengan tingkat suku bunga yang terus meningkat dan fluktuasi nilai tukar rupiah yang mencapai level Rp16.400-an per dolar AS. Analisisnya menyoroti bahwa hal ini disebabkan oleh kebijakan moneter dan fiskal yang ketat.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Shinta W Kamdani membenarkan,industri manufaktur seperti industri tekstil dan elektronik adalah industri yang paling terdampak, karena sebagian besar bahan bakunya masih diimpor dari luar negeri.
“Saat ini, sekitar 70 hingga 80 persen bahan baku industri tekstil dan elektronik masih diimpor,” imbuh dia. (yog/prm)