KABARBURSA.COM - Indeks IDX Consumer Cyclical (IDXCYCLIC) menjadi sektor yang mencatatkan penurunan terdalam hingga akhir April 2025 dibanding sektor lainnya.
Pengamat pasar modal sekaligus Founder Stocknow.id Hendra Wardana mengatakan kinerja IDXCYCLIC menurun sebesar 14,55 persen secara year to date (YtD) hingga akhir April 2025.
Menurut Hendra, koreksi tajam ini tidak lepas dari sejumlah tekanan, terutama dari sisi makroekonomi yang memukul daya beli masyarakat.
"Sektor konsumsi siklikal yang meliputi produk non-kebutuhan pokok seperti gawai, kendaraan, ban, pakaian, hingga hiburan sangat bergantung pada kondisi ekonomi yang stabil dan prospek konsumsi rumah tangga yang kuat," ujar dia kepada KabarBursa.com, Selasa, 29 April 2025.
Hendra melihat sejak awal tahun ini, daya beli masyarakat cenderung melemah akibat inflasi pangan yang cukup tinggi, terutama dari harga beras dan bahan pokok lainnya.
Ia menilai, kenaikan suku bunga acuan BI menjadi 6,25 persen juga menekan konsumsi karena tingginya biaya pinjaman dan cicilan, sementara pelemahan rupiah turut menyebabkan kenaikan harga barang impor yang sebagian besar dijual oleh emiten consumer cyclical.
"Selain itu, kenaikan upah minimum yang moderat pada awal 2024 belum cukup mendorong pertumbuhan konsumsi domestik," jelasnya.
Lalu bagaimana pandangan dari sisi pasar modal? Hendra mengatakan pelaku pasar juga bersikap hati-hati seiring dengan tren penurunan laba bersih pada sejumlah emiten sektor ini.
Ia menuturkan investor juga masih bersikap wait-and-see terhadap arah kebijakan fiskal pemerintah baru yang akan sangat menentukan arah belanja masyarakat. Namun, katanya, beberapa katalis positif dapat menjadi pemicu pembalikan tren IDXCYCLIC di paruh kedua 2025.
"Stimulus fiskal seperti program makan siang gratis dan subsidi pendidikan berpotensi mendorong konsumsi rumah tangga secara luas jika direalisasikan secara konsisten. Potensi pelonggaran suku bunga BI juga menjadi harapan pasar, karena akan membuka ruang belanja masyarakat terhadap produk tersier seperti gawai, kendaraan, atau hiburan," jelas dia.
Meski tengah dalam kondisi tekanan, Hendra melihat sejumlah saham IDXCYCLIC masih menarik untuk dikoleksi dengan pertimbangan valuasi yang murah serta prospek jangka menengah yang menjanjikan.
Seperti halnya SCMA yang menurutnya menarik dengan target harga Rp230, seiring strategi monetisasi konten digital melalui platform yang kuat dalam menghadapi persaingan OTT global.
"Sementara itu, ERAA yang kini diperdagangkan di bawah nilai wajarnya dinilai masih layak beli dengan target Rp510, karena memiliki jaringan distribusi gadget terluas dan mulai merambah bisnis gaya hidup dan digital," terangnya.
Tak hanya itu, Hendra juga merekomendasikan GJTL dengan target harga Rp1.200, yang berpotensi mendapat angin segar dari permintaan ekspor ban dan proyek infrastruktur dalam negeri.
"Dengan berbagai potensi katalis tersebut, pelaku pasar dapat mulai mencermati peluang akumulasi pada saham-saham consumer cyclical yang telah oversold namun memiliki fundamental yang tetap solid," pungkasnya.
Pertumbuhan Ekonomi RI Mandek: Ada Tiga Faktor Utama
Ekonom dari Universitas Paramadina Handi Risza Idris, menilai bahwa stagnasi pertumbuhan ekonomi Indonesia terjadi bukan tanpa sebab. Ia menyoroti tiga faktor utama yang menjadi akar permasalahan, yakni tumpang tindih regulasi, kualitas sumber daya manusia yang belum optimal, serta tidak efektifnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.
“Indonesia ini mengalami stagnasi pertumbuhan karena tiga faktor utama ya. Pertama adanya tumpang tindihnya aturan, kemudian persoalan SDM dan yang ketiga tidak efektifnya APBN sebagai pengungkit pertumbuhan ekonomi,” ungkap Handi dalam diskusi IMF Memprediksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2025 - 2026 Hanya 4,7 Persen: Indonesia Bisa Apa? pada Senin, 28 April 2025.
Permasalahan ini, lanjut Handi, turut tercermin dalam tingginya rasio Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia, yang saat ini berada di angka 6,5. Angka tersebut jauh di atas rata-rata negara-negara tetangga di Asia Tenggara yang hanya berkisar 4 hingga 5.
Sebagai catatan, ICOR adalah rasio yang menunjukkan perbandingan antara tambahan investasi dengan tambahan output suatu negara. ICOR juga merupakan indikator makro yang menggambarkan efisiensi perekonomian suatu daerah.
Untuk diketahui, berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS), ICOR Indonesia mencapai 6,33 persen pada 2023. Angka tersebut lebih rendah dibanding ICOR Malaysia di angka 4,5 persen, Thailand 4,4 persen, Vietnam 4,6 persen, dan Filipina 3,7 persen.
“Nah tiga hal ini juga kemudian tercermin dari angka ICOR ya. Incremental Capital Output Ratio kita yang cukup tinggi 6,5 dibandingkan negara peers di kawasan ASEAN ini yang sudah 4 sampai 5,” jelasnya.
ICOR yang tinggi menjadi indikator bahwa investasi di Indonesia membutuhkan biaya yang besar untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang setara. Ini, kata Handi, memperlihatkan rendahnya efisiensi investasi nasional, yang kemudian menyebabkan investor melirik negara lain sebagai lokasi alternatif penanaman modal.
“Jadi artinya sebenarnya persoalan kita ini pemerintah itu juga sudah tahu gitu loh. Persoalan pertumbuhan kenapa kita terhambat ya tadi juga sudah disampaikan banyaknya hambatan, gangguan ya yang dilakukan ya dan kemudian kita mulai merasakan ketika para investor pindah dari Indonesia, pindah ke Vietnam, pindah ke Malaysia dan lain sebagainya,” katanya.
Handi pun mengkritisi wacana-wacana populis seperti pemberian tunjangan hari raya (THR) sebagai solusi ekonomi, yang menurutnya tidak menyentuh akar masalah.
“Jadi ini bukan persoalan kita memberikan THR atau tidak karena memang efisiensi investasi di kita ini tinggi, biaya tinggi gitu. Nah ini tercermin dari ICOR tadi,” tegas Handi.
Menurutnya, yang dibutuhkan saat ini adalah konsistensi kebijakan dan keberanian menyelesaikan masalah secara struktural. Ia juga menyoroti kecenderungan pemerintahan yang hanya fokus dalam durasi singkat karena tersandera agenda politik lima tahunan.
“Jadi kuncinya memang konsistensi kita dalam menyelesaikan persoalan perekonomian kita ini perlu dilakukan. Jadi jangan sampai yang kita alami kan durasi pemerintahan kita ini kan singkat, 5 tahun yang fokusnya paling cuma 2-3 tahun karena setelah itu udah urusan politik gitu,” kata Handi.
Ia bahkan menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo pun mengalami degradasi konsistensi kebijakan, yang pada awalnya baik namun menurun seiring berjalannya waktu.
“Nah jadi ini yang mungkin perlu kita review ya bagaimana tadi ya dikatakan di awal Pak Jokowi bagus tapi kemudian masuk tahun ke-2, tahun ke-3 mengalami degradasi sampai kemudian ya banyak melahirkan kebijakan-kebijakan yang kontraproduktif gitu,” tandasnya.
Meski begitu, Handi yakin pemerintah mengetahui secara jelas apa saja permasalahan ekonomi yang ada. Tantangannya adalah sejauh mana keseriusan untuk menyelesaikannya secara tuntas.
“Begitu juga dengan hari ini. Jadi saya tidak yakin pemerintah tidak mengetahui masalah yang ada nah tapi bagaimana menyelesaikan ini,” pungkasnya.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.