KABARBURSA.COM - Direktur Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng, menyatakan bahwa pelemahan rupiah tak terhindarkan karena Indonesia terus mengalami defisit pendapatan primer.
Defisit ini mencakup berbagai pembayaran kepada tenaga kerja asing, pendapatan investasi asing, portofolio, dan utang.
Data dari Bank Indonesia (BI) menunjukkan bahwa selama lima tahun terakhir, yakni 2019-2023, defisit pendapatan primer Indonesia mencapai USD165,5 miliar atau sekitar Rp2.483 triliun (kurs Rp15.000 per dolar). Angka ini setara dengan satu setengah kali cadangan devisa yang dimiliki Indonesia.
Salamuddin menjelaskan bahwa meskipun teori investasi menyatakan investasi luar negeri akan meningkatkan ekonomi suatu negara, kenyataannya, keuntungan investasi cenderung mengalir kembali ke luar negeri.
"Uang yang keluar selalu lebih besar, sehingga mata uang negara penerima investasi seperti Indonesia akan melemah secara alamiah," ujarnya kepada Kabar Bursa, Jumat, 5 Juli 2024.
Dia menambahkan bahwa pelemahan rupiah terhadap dolar AS pasti terjadi karena defisit pendapatan primer yang terus berlanjut.
"Indonesia tidak akan pernah mengakhiri defisit pendapatan primer kecuali melarang keuntungan investasi dibawa ke luar negeri oleh investor asing. Namun, ini hampir tidak mungkin karena bahkan investor lokal pun lebih suka membawa keuntungannya ke luar negeri," kata Salamuddin.
Salamuddin juga menyoroti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar yang dinilai sudah usang dan tidak memberikan manfaat bagi negara.
"Perubahan UU ini adalah usaha untuk mengontrol secara terbatas keuntungan hasil investasi asing di Indonesia, sehingga keuntungan tersebut dapat diinvestasikan kembali di dalam negeri," katanya.
Menurutnya, perubahan UU lalu lintas devisa akan memungkinkan keuntungan hasil investasi asing dapat diinvestasikan kembali di dalam negeri, serta memungkinkan uang yang disimpan oleh orang Indonesia di luar negeri untuk dibawa pulang demi kemajuan bangsa.
Proyeksi Rupiah Triwulan III-2024
Nilai tukar rupiah diperkirakan akan bergerak dalam rentang Rp16.000-Rp16.500 per dolar AS pada triwulan III-2024, dipengaruhi oleh kebijakan pemangkasan suku bunga oleh bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve (The Fed).
Menurut Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), nilai tukar rupiah pada Jumat, 5 Juli 2024, ditutup di level Rp16.312 per dolar AS. Selama tiga pekan terakhir, rupiah bergerak dalam kisaran Rp16.300-Rp16.400 per dolar AS, dengan level tertinggi mencapai Rp16.458 per dolar AS pada 21 Juni 2024.
Data transaksi periode 24-27 Juni 2024 mencatat investasi portofolio asing dengan beli neto sebesar Rp19,69 triliun. Rinciannya adalah beli neto Rp8,30 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN), beli neto Rp2,23 triliun di pasar saham, dan beli neto Rp9,16 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
FX Strategist Global Financial Markets DBS Bank, Terence Wu, memprediksi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada triwulan III-2024 akan stagnan atau bahkan melemah. Penguatan dolar AS diperkirakan mulai mereda selama semester II-2024.
"Rupiah baru akan menguat pada triwulan IV-2024 dengan asumsi The Fed mulai memangkas suku bunga. Kurs dolar AS akan mencapai titik puncaknya, lalu rupiah akan menguat ketika The Fed menurunkan suku bunga," kata Terence dalam acara
"Navigating the Currency Volatility: Exploring Economic Projections and FX Investments with Bank DBS Indonesia" di Jakarta, Rabu, 3 Juli 2024.
Proyeksi Bank DBS menunjukkan nilai tukar rupiah pada triwulan III-2024 akan berada pada kisaran Rp16.000-Rp16.500 per dolar AS. Selanjutnya, rupiah diprediksi menguat hingga akhir tahun dalam rentang Rp15.800-Rp16.000 per dolar AS.
Terence menyebut pelemahan nilai tukar dolar AS di semester II-2024 disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk mulai memudarnya kekuatan ekonomi AS dibandingkan dengan kawasan Eropa dan Inggris yang mulai bangkit dari resesi. Kebijakan pemangkasan suku bunga di kedua kawasan tersebut juga turut melemahkan daya tarik dolar AS.
Upaya Bank Indonesia Menjaga Stabilitas Rupiah
Equities Specialist DBS Group Research, Maynard Arif, menyatakan bahwa Bank Indonesia (BI) terus berupaya menjaga stabilitas nilai tukar rupiah di tengah gejolak global. Upaya ini dilakukan melalui berbagai langkah, termasuk menaikkan suku bunga acuan dan memperkuat cadangan devisa.
Salah satu langkah konkret BI adalah menaikkan suku bunga acuannya menjadi 6,25 persen pada April 2024. Kenaikan suku bunga ini diharapkan dapat membantu menarik kembali aliran modal asing ke Indonesia dan meredam tekanan pada rupiah.
Selain itu, BI juga terus memperkuat cadangan devisa. Pada Mei 2024, cadangan devisa tercatat sebesar 139 miliar dolar AS, meningkat dari 136,2 miliar dolar AS pada April 2024. "Cadangan devisa kita masih cukup untuk ekspor dan untuk perekonomian, supaya berputar," kata Maynard.
Namun, Maynard juga mengingatkan bahwa cadangan devisa bukan satu-satunya faktor yang menentukan stabilitas rupiah. Para investor juga akan mempertimbangkan perbedaan suku bunga antara Indonesia dengan negara lain. (alp/*)