KABARBURSA.COM - Nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) terhadap rupiah tercatat turun tipis pada perdagangan pagi akhir pekan ini, Jumat, 22 November 2024.
Berdasarkan data RTI per Jumat, 22 November 2024 pukul 09.01 WIB, dolar AS diperdagangkan di posisi Rp15.919, turun 1 poin atau 0,01 persen dibandingkan penutupan sebelumnya.
Dolar AS dibuka di level Rp15.920 dengan level tertinggi pada titik yang sama.
Secara mingguan, mata uang Negeri Paman Sam ini menguat sebesar 0,10 persen, sedangkan secara bulanan mencatatkan kenaikan sebesar 1,82 persen.
Dalam periode tiga bulan, dolar AS naik 2,82 persen, namun secara enam bulanan (mtm) melemah 0,79 persen. Sementara itu, sepanjang tahun ini hingga kini (year to date/YtD), dolar AS menguat 3,40 persen, dengan kenaikan tahunan sebesar 2,31 persen.
Terhadap mata uang lainnya, pergerakan dolar AS bervariasi. Mata uang ini melemah 0,12 persen terhadap dolar Australia dan 0,01 persen terhadap pound sterling Inggris.
Sebaliknya, dolar AS menguat 0,01 persen terhadap Euro, dan 0,17 persen terhadap Yuan China.
Selain itu, dolar AS melemah 0,04 persen terhadap Yen Jepang dan 0,07 persen terhadap dolar Singapura.
The Fed Rencanakan Pangkas Suku Bunga
Bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed) diproyeksikan akan memangkas suku bunga pada Desember 2024, namun skala pemangkasan hingga tahun 2025 diperkirakan lebih kecil dibandingkan prediksi sebelumnya.
Kebijakan ekonomi yang direncanakan oleh Presiden terpilih AS, Donald Trump, seperti tarif impor yang lebih tinggi dan pemotongan pajak, menjadi faktor utama yang meningkatkan risiko inflasi.
Prospek pemangkasan suku bunga menjadi lebih kompleks karena kekuatan ekonomi AS yang terus berlanjut, inflasi yang masih di atas target, dan pasar saham yang mendekati rekor tertinggi.
“Tidak ada sinyal dari ekonomi yang menunjukkan perlunya langkah cepat untuk menurunkan suku bunga,” kata Ketua The Fed, Jerome Powell.
Namun, mayoritas ekonom yang disurvei Reuters (94 dari 106) masih memperkirakan pemotongan suku bunga sebesar 25 basis poin pada Desember. Ini akan menurunkan suku bunga dana federal (fed funds rate) menjadi 4,25 persen-4,50 persen.
Sebanyak 12 ekonom memprediksi tidak ada perubahan. Ini menunjukkan keraguan yang meningkat dibandingkan survei sebelumnya.
Pasar kini hanya memperkirakan peluang pemangkasan Desember sebesar kurang dari 60 persen, meskipun sebelumnya optimisme untuk langkah tersebut lebih tinggi.
Dampak Kebijakan Trump terhadap Inflasi
Kebijakan yang direncanakan Donald Trump, seperti deregulasi, pelonggaran fiskal, kebijakan perdagangan proteksionis, dan pembatasan imigrasi, dinilai memiliki potensi besar untuk meningkatkan inflasi.
“Kami akan melihat deregulasi, kebijakan fiskal yang lebih longgar, kebijakan perdagangan proteksionis, dan langkah-langkah imigrasi yang lebih ketat. Semua ini meningkatkan risiko inflasi,” kata Stephen Juneau, ekonom Bank of America.
Karena risiko inflasi ini, Bank of America telah menaikkan proyeksi tingkat terminal suku bunga dana federal menjadi 3,75 persen-4,00 persen dari sebelumnya 3,00 persen-3,25 persen.
Selain itu, inflasi belanja konsumen pribadi (PCE inflation), yang menjadi indikator utama The Fed, diperkirakan akan tetap di atas target 2 persen hingga setidaknya tahun 2027.
Sebanyak 85 persen responden survei menyatakan bahwa risiko kenaikan inflasi pada 2025 telah meningkat secara signifikan.
Proyeksi Ekonomi dan Kebijakan Suku Bunga
The Fed diperkirakan akan memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin dalam tiga kuartal pertama 2025, lalu menahan suku bunga pada kisaran 3,50 persen-3,75 persen hingga akhir tahun.
Proyeksi ini lebih tinggi 50 basis poin dibandingkan prediksi bulan lalu, mencerminkan ketidakpastian terkait kebijakan inflasi Trump.
Sebagian besar ekonom memproyeksikan bahwa tarif impor yang direncanakan Donald Trump akan mulai berlaku awal 2025. Langkah ini dinilai akan berdampak signifikan terhadap ekonomi AS, dengan kemungkinan meningkatkan inflasi secara tajam.
“Tarif universal pada semua barang impor, ditambah tarif lebih tinggi untuk barang dari China, kemungkinan akan memicu rebound inflasi,” kata Philip Marey, analis senior dari Rabobank.
Di tengah tantangan kebijakan moneter dan risiko inflasi, ekonomi AS terus menunjukkan pertumbuhan yang kuat. Produk domestik bruto (PDB) Amerika Serikat tumbuh sebesar 2,8 persen pada kuartal terakhir, dan diperkirakan akan tumbuh 2,7 persen pada 2024 serta 2 persen pada 2025 dan 2026.
Pertumbuhan ini lebih cepat dari perkiraan The Fed untuk tingkat pertumbuhan non-inflasi sebesar 1,8 persen dalam beberapa tahun ke depan. Namun, tantangan inflasi dan kebijakan fiskal proteksionis dapat menjadi penghalang bagi stabilitas ekonomi dalam jangka panjang. (*)