KABARBURSA.COM - Layanan parkir valet di Jakarta kini dikenakan pajak. Hal itu sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi DKI Jakarta No 1 Tahun 2024.
Kebijakan ini merupakan implementasi dari perubahan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 yang mengganti istilah “pajak parkir” menjadi “Pajak Barang dan Jasa Tertentu atas Jasa Parkir.”
Kepala Pusat Data dan Informasi Pendapatan Bapenda Jakarta, Morris Danny menjelaskan bahwa tujuan dari ketentuan ini adalah untuk menata dan mengatur sistem perpajakan di Jakarta, sehingga pendapatan daerah dapat dimaksimalkan.
“Jasa parkir kini termasuk dalam kategori Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT), yang dikenakan kepada konsumen akhir atas konsumsi barang atau jasa tertentu,” kata Morris, Selasa, 19 November 2024.
Dalam Pasal 48 ayat (1) Perda Provinsi DKI Jakarta No 1 Tahun 2024, disebutkan bahwa parkir valet termasuk dalam objek PBJT Jasa Parkir, yang berarti pengendara yang memanfaatkan layanan valet akan dikenakan pajak. Ketentuan ini berlaku tidak hanya di pusat perbelanjaan, hotel, atau tempat umum yang menyediakan layanan valet, tetapi juga di tempat parkir swasta yang menawarkan layanan serupa. Pajak ini akan langsung ditambahkan ke biaya layanan parkir valet.
Tarif pajak atas jasa parkir valet ditetapkan sebesar 10 persen, sebagaimana tercantum dalam Pasal 53 ayat (1) Perda Provinsi DKI Jakarta No 1 Tahun 2024. Hal ini berarti setiap pengguna jasa parkir valet di Jakarta akan dikenakan tambahan biaya 10 persen dari tarif parkir yang dibayarkan.
Morris mengingatkan masyarakat yang sering menggunakan layanan valet untuk memperhatikan ketentuan baru ini, yang diharapkan dapat mendukung kelancaran implementasi pajak demi pembangunan daerah.
Jakarta Daerah Terbanyak Karyawan Di-PHK
Jumlah tenaga kerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) di Indonesia terus mengalami peningkatan sepanjang tahun 2024.
Data terbaru yang dirilis oleh Satudata Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menunjukkan bahwa dari Januari hingga Oktober 2024, sebanyak 63.947 pekerja mengalami PHK.
Angka ini mengalami kenaikan signifikan dibandingkan dengan periode sebelumnya, yaitu dari Januari hingga September 2024, yang tercatat sebanyak 52.933 pekerja.
Menurut informasi yang disampaikan oleh Kemnaker pada laman resminya, jumlah pekerja yang ter-PHK pada periode Januari hingga Oktober 2024 menunjukkan tren yang terus memburuk. Hal ini mengindikasikan adanya tantangan besar yang dihadapi oleh sektor ketenagakerjaan di Indonesia, terlebih di tengah situasi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih pasca-pandemi COVID-19.
Jika dilihat berdasarkan wilayah, DKI Jakarta menjadi daerah dengan jumlah tenaga kerja yang paling banyak terdampak PHK.
Di Jakarta, sebanyak 14.501 orang kehilangan pekerjaan. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya. Jawa Tengah dan Banten mengikuti dengan jumlah pekerja yang terdampak masing-masing sebanyak 12.489 dan 10.702 orang.
Meskipun angka PHK ini cukup signifikan di wilayah-wilayah tersebut, faktanya fenomena PHK tidak terbatas pada area tertentu saja, melainkan terjadi hampir di seluruh Indonesia. Tren ini mencerminkan dampak luas yang dirasakan oleh dunia usaha di berbagai sektor, baik di daerah perkotaan maupun pedesaan.
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemnaker Indah Anggoro Putri menjelaskan bahwa lonjakan kasus PHK ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkelindan. Salah satu penyebab utama yang dikemukakan oleh Indah adalah ketidakmampuan sejumlah industri untuk bersaing di tengah tantangan global yang semakin berat.
“Banyak perusahaan yang belum mampu pulih sepenuhnya setelah pandemi COVID-19. Dampak dari pandemi yang berkepanjangan memang cukup besar, terutama bagi usaha kecil dan menengah yang lebih rentan terhadap fluktuasi ekonomi,” kata Indah.
Selain itu, sektor industri juga harus menghadapi berbagai kondisi eksternal yang tidak terduga, seperti ketegangan politik global dan perubahan pola konsumsi yang semakin cepat.
Perubahan dalam gaya hidup masyarakat yang lebih memilih berbelanja secara digital, misalnya, turut memberikan dampak terhadap perusahaan-perusahaan tradisional yang belum beradaptasi dengan cepat.
Selain itu, ketidakpastian ekonomi global yang dipicu oleh peristiwa-peristiwa seperti perang dan kebijakan proteksionisme dari beberapa negara juga semakin memperburuk keadaan. Semua faktor ini, menurut Indah, membuat banyak perusahaan terpaksa melakukan PHK untuk bertahan.
Penyebab lainnya adalah ketidakpastian ekonomi global yang dipicu oleh berbagai faktor. Pandemi COVID-19 sendiri membawa dampak yang luas terhadap seluruh sektor ekonomi.
Banyak sektor, terutama pariwisata, ritel, dan manufaktur, yang mengalami penurunan signifikan dalam pendapatan dan produksi selama periode tersebut.
Meskipun beberapa sektor mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan, namun laju pemulihan yang tidak merata memaksa banyak perusahaan untuk melakukan efisiensi dan mengurangi jumlah karyawan.
Selain itu, ketegangan geopolitik dan perang yang terjadi di beberapa wilayah, termasuk ketegangan antara negara besar, turut memperburuk situasi ekonomi global.
Kebijakan-kebijakan baru yang diterapkan oleh pemerintah di berbagai negara, seperti tarif impor yang lebih tinggi atau regulasi terkait produk tertentu, semakin mempersulit perusahaan dalam menjalankan operasionalnya.
Perubahan perilaku konsumen juga berkontribusi terhadap meningkatnya PHK. Masyarakat kini lebih memilih berbelanja secara online, yang mengubah cara perusahaan melakukan bisnis. Beberapa usaha yang tidak mampu beradaptasi dengan perubahan ini akhirnya harus menutup operasional mereka atau mengurangi jumlah karyawan. (*)