KABARBURSA.COM - Di tengah kecaman internasional terhadap Israel akibat agresi di Gaza, Indonesia diam-diam masih mengimpor beberapa barang dari negara tersebut.
Meskipun demikian, nilai impor dari Israel relatif kecil dibandingkan dengan total nilai impor Indonesia yang mencapai USD21,74 miliar pada Juli 2024.
Pelaksana tugas (Plt) Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, menyebutkan bahwa ada beberapa jenis produk yang diimpor Indonesia dari Israel meliputi mesin dan peralatan mekanis, perkakas serta peralatan dari logam tidak mulia, serta mesin dan peralatan listrik.
“Pada Juli 2024, produk impor dari Israel meliputi HS 84 mesin dan peralatan mekanis, HS 82 perkakas serta peralatan dari logam tidak mulia, dan HS 85. Namun, perlu saya tekankan bahwa nilai impor dari Israel sangat kecil jika dibandingkan dengan total impor Indonesia ke negara itu,” kata Amalia dalam konferensi pers, Kamis, 15 Agustus 2024.
Selama periode Januari-Juli 2024, total nilai impor Indonesia dari Israel mencapai USD39,99 juta. Angka ini mengalami kenaikan dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, yang tercatat sebesar USD12,08 juta.
Melihat tren tahunan, nilai impor Indonesia dari Israel meningkat dari USD1,7 juta pada Juli 2023 menjadi USD2 juta pada Juli 2024. Namun, jika dibandingkan secara bulanan dengan Juni 2024, nilai impor mengalami penurunan sebesar USD0,74 juta.
Selain impor, Indonesia juga masih mengekspor sejumlah produk ke Israel, dengan peningkatan pada Juli 2024. Nilai ekspor tercatat mencapai USD16,24 juta, mengalami kenaikan sebesar 1,86 persen dibandingkan bulan sebelumnya dan meningkat 21,39 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
“Ekspor Indonesia ke Israel mengalami kenaikan yang cukup kecil. Komoditas terbesar adalah HS 15, yaitu lemak dan minyak hewan nabati, diikuti oleh beberapa produk kimia dalam kategori HS 38 dan alas kaki HS 64,” pungkas Amalia.
RI Kebanjiran Plastik Impor China
Impor produk plastik jadi terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2024 hingga bulan April, nilai impor tercatat mencapai USD233,15 miliar.
Asisten Deputi Pengembangan Industri Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Eko Harjanto, mengungkapkan bahwa selama 10 tahun terakhir, neraca perdagangan plastik Indonesia selalu mengalami defisit. Defisit tersebut cenderung meningkat, dan pada tahun 2023 mencapai USD1,7 miliar.
“Ekspor plastik Indonesia cenderung stagnan setiap tahun, sedangkan impornya terus meningkat, seperti yang terlihat dalam grafik. Pada tahun 2023, ekspor mencapai USD1,49 miliar, sementara impor mencapai USD3,27 miliar,” kata Eko Harjanto dalam acara FGD ‘Membedah Tingkat Daya Saing Industri Plastik Hilir Indonesia di Tengah Maraknya Impor Produk Jadi Plastik’ di Pullman Hotel Thamrin, Jakarta, Kamis, 15 Agustus 2024.
Sementara pada 2024, periode Januari-April, nilai impor mencapai USD233,15 miliar. Sedangkan ekspor stagnan di nilai USD103,47 juta.
Di sisi lain, lanjut Eko memaparkan, kebutuhan plastik di Indonesia terus bertambah. Pertama, plastik untuk keperluan rumah tangga, produksinya dari dalam negeri 963.000 ton, lalu kebutuhan 605.000 ton, ekspornya 520.125 ton, sedangkan impornya masih 165.333 ton.
Plastik untuk bahan bangunan produksinya 67.996 ton, kebutuhannya 79.363 ton, ekspornya 5.486 ton, dan impornya 17.225 ton.
Lalu plastik untuk kemasan, produksinya hampir 112.532 ton, kebutuhannya 116.946 ton, ekspornya 2.916 ton, impornya masih lebih besar 7.330 ton. Terakhir, ada plastik lainnya dengan produksi 67.996 ton, kebutuhan 79.763 ton, ekspor 5.488 ton, dan impor 17.225 ton.
“Ternyata dari kesemuanya untuk plastik rumah tangga, kebutuhan bahan bangunan, kemasan, dan plastik lainnya, total kita masih lebih besar impornya daripada ekspornya,” ungkap Eko.
Adapun negara negara terbesar yang mengimpor plastik ke Indonesia adalah China sebesar 51,9 persen, diikuti Jepang 8,16 persen, Malaysia 6,4 persen, Thailand 5,3 persen, dan Korea Selatan 4,31 persen, kemudian Singapura 4,21 persen.
Sementara, dari sisi bahan baku plastik, Indonesia juga masih impor. Menurut Eko, bahan baku plastik untuk jenis PE, PP, PS, PVC dan PET oleh produsen dalam negeri saat ini baru bisa terpenuhi 50 persen sampai dengan 60 persen dari total kebutuhan bahan baku plastik nasional.
“Impor bahan baku plastik didominas oleh polyolefin yang terdiri dari impor polietilena (PE) sebesar 605.000 ton dan impor polipropilena (PP) sebesar 599.000 ton,” terangnya.
Lanjut Eko, pemerintah telah menyiapkan sejumlah langkah untuk mendukung geliat industri plastik tanah air dengan menerapkan ekonomi sirkular untuk keberlanjutan. Salah satunya dengan pengurangan pengenaan tarif PPN untuk industri plastik berbasis bahan daur ulang dan industri daur ulang plastik.
“Kedua, pemberian insentif fiskal lainnya dengan bobot persentase sesuai kedalaman ekonomi sirkularnya (9R), seperti pembobotan TKDN. Ketiga, mendorong akses pasar produk hijau melalui pengadaan barang/jasa pemerintah untuk menggunakan produk yang telah tersertifikasi industri hijau. Keempat, mendorong kemudahan pembiayaan bagi industri plastik/industri daur ulang yang sudah memiliki sertifkat industri hijau,” pungkasnya. (*)