KABARBURSA.COM - Pengamat pasar modal, Ibrahim Assuaibi, memberikan pandangan terkait tren sektor farmasi yang saat ini sedang menghadapi berbagai tantangan, termasuk kemunculan virus Human Metapneumovirus (HMPV) di China.
Menurut Ibrahim, kemunculan virus HMPV tidak akan memberikan dampak signifikan terhadap kinerja saham farmasi. “Berbeda dengan COVID-19, virus ini tidak menimbulkan ancaman besar karena pemerintah Indonesia dan China telah memastikan bahwa virus ini tergolong ringan dan dapat ditangani dengan obat-obatan yang sudah tersedia,” kata Ibrahim kepada Kabarbursa.com dikutip, Jakarta, Senin, 13 Januari 2025.
Ibrahim mengatakan pasca wabah Covid-19, sektor farmasi menghadapi penurunan permintaan yang signifikan.
“Saat pandemi, saham farmasi melonjak tidak wajar karena permintaan produk kesehatan sangat tinggi. Namun, setelah pandemi usai, kebutuhan terhadap produk farmasi kembali normal, sehingga saham-saham ini mengalami koreksi besar-besaran,” ujar dia
Salah satu penyebab utama melemahnya sektor farmasi, menurut Ibrahim, adalah pergeseran fokus global ke sektor teknologi. “Banyak negara kini lebih memprioritaskan teknologi karena dianggap sebagai sektor yang lebih menjanjikan. Sementara itu, sektor farmasi sudah tidak lagi menjadi prioritas utama setelah berakhirnya pandemi,” kata Ibrahim.
Ibrahim juga mencatat bahwa diversifikasi usaha menjadi kunci bagi perusahaan farmasi untuk bertahan dalam kondisi pasar saat ini. “Perusahaan farmasi harus mampu beradaptasi dan mendiversifikasi bisnis mereka. Ketergantungan hanya pada produk obat-obatan tidak cukup untuk menghadapi perubahan tren pasar,” ujar dia.
Kemunculan virus HMPV, yang awalnya diprediksi dapat menjadi katalis bagi sektor farmasi, ternyata tidak memberikan dorongan yang signifikan. “Pernyataan pemerintah bahwa virus ini tidak berbahaya berhasil meredam kekhawatiran masyarakat. Hal ini membuat ekspektasi kenaikan saham farmasi akibat virus ini tidak terealisasi,” tutur dia.
Ibrahim juga menekankan pentingnya strategi perusahaan dalam menghadapi tren penurunan ini.
Situasi Tren Penurunan
Saham-saham berbasis farmasi di Indonesia mengalami tekanan besar di pekan-pekan awal perdagangan saham tahun 2025. Ada emiten kesehatan terkemuka, Kimia Farma, mencatat penurunan tajam dalam kinerjanya.
PT Kimia Farma Tbk atau dalam kode saham KAEF sempat, masuk peringkat keempat saham terkoreksi pada penutupan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sore lalu pukul 16.00 WIB Selasa, 7 Januari 2025.
Melansir dari laporan keuangan di Stockbit, emiten farmasi pelat merah ini melaporkan kerugian bersih sebesar Rp195 miliar pada kuartal ketiga tahun 2024, memburuk dibandingkan kerugian Rp156 miliar pada periode yang sama tahun sebelumnya. Secara keseluruhan, rugi bersih perusahaan dalam 12 bulan terakhir (TTM) mencapai Rp1,73 miliar, mencerminkan tekanan yang terus berlanjut di sektor farmasi.
Pendapatan KAEF pada kuartal ketiga tercatat sebesar Rp2,64 triliun, turun 4,27 persen secara tahunan (YoY) dibandingkan Rp2,76 miliar pada periode yang sama tahun lalu. Penurunan ini didorong oleh kontraksi dalam margin laba kotor yang hanya mencapai 29,2 persen, turun signifikan dari periode sebelumnya sebesar 37,3 persen. Selain itu, tekanan pada biaya operasional menyebabkan margin laba operasi berada di level negatif, yaitu minus 5,03 persen.
Secara fundamental, indikator keuangan KAEF menunjukkan posisi yang kurang solid. Rasio utang terhadap ekuitas atau debt to equity ratio berada di level 1,31, dengan total utang mencapai Rp6,97 miliar, terdiri dari utang jangka pendek sebesar Rp5,18 miliar dan utang jangka panjang Rp1,78 miliar. Dengan kas sebesar Rp505 miliar, KAEF menghadapi tantangan dalam likuiditas, terlihat dari rasio lancar atau current ratio sebesar 0,68 dan rasio cepat atau quick ratio 0,42, yang berada di bawah ambang batas sehat.
Dari segi profitabilitas, return on assets (ROA) dan return on equity (ROE) masing-masing berada di level negatif minus 10,3 persen dan minus 32,45 persen. Hal ini mencerminkan ketidakmampuan perusahaan untuk menghasilkan keuntungan dari aset maupun ekuitasnya dalam kondisi pasar yang penuh tekanan. Selain itu, skor Altman Z-Score yang negatif di angka minus 1,46 menandakan potensi risiko kebangkrutan yang perlu diantisipasi dengan langkah strategis.
Di tengah tantangan tersebut, Kimia Farma masih berupaya meningkatkan efisiensi operasional dan memperbaiki arus kas. Perusahaan mencatat arus kas operasi positif sebesar Rp582 miliar dalam 12 bulan terakhir (TTM), meskipun arus kas bebas hanya Rp88 miliar setelah memperhitungkan belanja modal sebesar Rp495 miliar.
Dari sisi harga saham, KAEF telah mengalami penurunan sebesar 48,12 persen secara tahunan, dengan harga saham saat ini berada di level Rp690, jauh di bawah harga tertingginya dalam 52 minggu terakhir, yaitu Rp1.365. Namun, saham ini mencatat kenaikan 14,05 persen secara mingguan, yang mungkin mencerminkan optimisme pasar terhadap potensi pemulihan di masa mendatang.(*)