Logo
>

Ditinggalkan Industri Mobil Listrik, untuk Apa Tambang Nikel Digarap?

BYD sebagai salah satu brand mobil listrik terbesar dunia, juga memilih menggunakan baterai LFP yang disebut Blade Battery. Begitu juga dengan Chery.

Ditulis oleh Harun Rasyid
Ditinggalkan Industri Mobil Listrik, untuk Apa Tambang Nikel Digarap?
Ilustrasi tambang nikel di Raja Ampat tuai perhatian, pengamat otomotif menilai posisi nikel tidak lagi strategis dalam produksi mobil listrik. (Foto: Mongabay).

KABARBURSA.COM - Aktivitas tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya tengah disorot publik karena berpotensi merusak keindahan alam dan ekosistem laut di wilayah yang berjuluk 'Surga Terakhir di Bumi'.

Diketahui, tambang nikel di Raja Ampat terletak di Pulau Gag, Kawe, dan Manuran akhir-akhir ini juga memicu gelombang protes melalui tagar #saverajaampat. 

Selain Raja Ampat, tambang nikel di Halmahera, Maluku Utara sudah lebih dulu mengakibatkan dampak negatif bagi kesehatan lingkungan hingga masyarakat, bahkan membawa bencana banjir bandang sampai tanah longsor.

Dari sisi industri otomotif, nikel menjadi bahan baku bagi sejumlah komponen terutama baterai mobil listrik jenis NMC (Nickel Manganese Cobalt) hingga onderdil lainnya semisal bemper dan gril sebagai pelindung korosi atau karat.

Di sisi lain, pasar otomotif nasional sedang gencar menggenjot kendaraan elektrifikasi baik itu motor dan mobil listrik yang diklaim ramah lingkungan serta didukung sejumlah insentif dalam pembeliannya. 

Untuk mobil listrik misalnya, terdapat insentif berupa PPN DTP (Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah) sebesar 11 persen hingga PPnBm DTP (Pajak Pembelian atas Barang Mewah Ditanggung Pemerintah).

Pengamat otomotif Bebin Djuana coba memberikan pandangannya terkait kontribusi hilirisasi nikel di Raja Ampat dan wilayah lain dalam industri kendaraan dalam negeri.

Menurutnya, pencemaran lingkungan dalam tambang nikel harus segera diatasi oleh pemerintah. Bebin juga lantas mempertanyakan soal izin tambang nikel di Raja Ampat.

"Pencemaran lingkungan adalah bagian dari kesalahan dalam proses. Seharusnya cepat ditangani supaya tidak berlarut-larut dan semakin parah kerusakannya. Terutama di Raja Ampat! Siapa yang mengajukan izin, siapa yang mengizinkan? Seharusnya diproses demi menyelamatkan lingkungan alam di sana," seru Bebin saat dihubungi KabarBursa.com, Sabtu 7 Juni 2025.

Ia menilai, posisi nikel saat ini tidak begitu strategis bagi manufaktur baterai mobil listrik. Sehingga, nikel sebaiknya tidak dieksploitasi secara agresif oleh para perusahaan tambang.

"Nikel bukan lagi bahan baku utama baterai BEV (Battery Electric Vehicle), tidak ada alasan untuk menambang secara besar-besaran," ucap Bebin.

Sejauh ini, memang sudah banyak pabrikan kendaraan yang memakai baterai jenis lain seperti Litihium Ferro-Phosphate (LFP) dibanding jenis NMC yang memiliki bahan baku utama nikel.

Ambil contoh Wuling dengan lini ABC Stories yang terdiri dari Air ev, Binguo EV dan Cloud EV mengusung baterai LFP. Lalu BYD sebagai salah satu brand mobil listrik terbesar dunia, juga memilih menggunakan baterai LFP yang disebut Blade Battery. Begitu juga dengan Chery.

"Baterai mobil listrik yang baru sudah tidak mengandalkan nikel sebagai bahan dasar. Masih ada sebagian yang memakai nikel, tapi kemungkinan pemakaian nikel akan semakin kecil ke depannya," ungkap Bebin.

Sentimen Tambang Nikel dengan Pembelian Mobil Listrik

Ia melanjutkan, aktivitas tambang nikel di Raja Ampat hingga Halmahera tidak menjadi sentimen negatif yang berpengaruh terhadap daya beli mobil listrik di dalam negeri.

"BEV tidak terdampak dari sentimen masyarakat yang membenci perusakan lingkungan dengan alasan menambang nikel. Ini karena nikel sudah ditinggalkan oleh industri otomotif kecuali negara-negara produsen yang tertinggal mengikuti perkembangan tehnologi," terang Bebin.

Dengan penambangan nikel yang dapat merusak lingkungan, embel-embel ramah lingkungan dari mobil listrik khususnya yang memakai baterai NMC kini jadi pertanyaan.

Namun seperti Bebin bilang, nikel kini mulai ditinggalkan karena ada baterai LFP yang memiliki sejumlah keunggulan.

"Yang jelas permintaan konsumen beralih ke LFP karena menyadari kapasitas listrik lebih besar, lebih ringan, harga lebih murah, masa pakai lebih panjang dan waktu charging lebih cepat. Lagi pula (LFP) tidak mudah panas.  Siapa yang mau baterai nikel? Kuno," tekannya.

"Sekarang publik bisa membuat pilihan untuk tetap berpartisipasi tidak mengotori udara sambil berhemat minyak bumi dengan memilih (mobil listrik dengan) baterai non nikel," pungkas Bebin menambahkan.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Harun Rasyid

Vestibulum sagittis feugiat mauris, in fringilla diam eleifend nec. Vivamus luctus erat elit, at facilisis purus dictum nec. Nulla non nulla eget erat iaculis pretium. Curabitur nec rutrum felis, eget auctor erat. In pulvinar tortor finibus magna consequat, id ornare arcu tincidunt. Proin interdum augue vitae nibh ornare, molestie dignissim est sagittis. Donec ullamcorper ipsum et congue luctus. Etiam malesuada eleifend ullamcorper. Sed ac nulla magna. Sed leo nisl, fermentum id augue non, accumsan rhoncus arcu. Sed scelerisque odio ut lacus sodales varius sit amet sit amet nibh. Nunc iaculis mattis fringilla. Donec in efficitur mauris, a congue felis.