KABARBURSA.COM - Nama Lo Kheng Hong identik dengan saham sepi bicara, tapi ramai cuan. Di balik portofolionya yang low profile, tiga bank koleksinya justru rajin tebar dividen dan konsisten jaga kinerja. Bukan cuma rutin, tapi yield atau imbal hasilnya bikin investor value ngiler.
Di tengah tren suku bunga tinggi dan ketidakpastian global, strategi "dividen plus diskon valuasi" bisa jadi salah satu resep cuan paling waras buat tahun 2025. Tapi, pertanyaannya: apakah ketiga bank ini masih layak dikoleksi atau justru sudah waktunya direalisasi?
PT OCBC NISP Tbk (NISP) bukan bank yang sering disorot oleh media, tetapi diam-diam selalu hadir di portofolio Lo Kheng Hong. Alasannya jelas, bank ini punya fundamental kuat, efisien, dan rajin bagi dividen.
Sepanjang tahun 2024, kinerja keuangan NISP sangat baik. Laba bersih naik 15 persen secara tahunan (year on year/yoy) menjadi Rp3,68 triliun. Rasio non performing loan (NPL) tetap terjaga di bawah 2 persen, menunjukkan kualitas aset yang prima. Selain itu, capital adequacy ratio (CAR) NISP tercatat di atas 24 persen, menandakan permodalan yang sangat kuat.
Adapun dividen per saham meningkat dari Rp55 di tahun sebelumnya menjadi Rp72 per saham untuk tahun buku 2024, memberikan yield menarik bagi investor.
Lebih lanjut, NISP tampil sebagai kandidat hidden gem dengan price to book value (PBV) cuma sekitar 0,6x per April 2025, jauh di bawah rata-rata sektor bank yang biasanya di kisaran 1,2x–2,0x. Dividend yield-nya sekitar 5,2 persen, cukup menarik untuk ukuran bank konservatif.
Selanjutnya ada PT Bank Danamon Indonesia Tbk (BDMN). Bank Danamon mulai unjuk gigi setelah beberapa tahun berbenah di bawah kendali Mitsubishi UFJ Financial Group atau MUFG. Fokus mereka ke segmen premium dan efisiensi udah mulai kelihatan hasilnya, laba bersih 2024 tumbuh ke Rp3,77 triliun, return on equity (ROE) naik ke 10,9 persen, cost to income ratio (CIR) menyusut ke 45 persen, dan rasio NPL membaik ke 1,9 persen.
Dividen tetap royal, valuasi masih di bawah 1x PBV, tapi anehnya, pasar masih sering ngelupain bank ini. Padahal, buat value investor yang jeli, BDMN ini ibarat barang diskonan berkualitas tinggi di pojokan toko.
Sementara PT Bank CIMB Niaga Tbk (BNGA) menjadi yang lagi on fire di arena dividend play. Di 2024, BNGA mencetak laba sebelum pajak Rp8,7 triliun (naik 4,4 persen yoy), pertumbuhan kredit tembus 6,9 persen, dan yang paling keren: rasio NPL turun ke level terendah, 1,76 persen. Selain itu, pertumbuhan dana murah (CASA) juga mantap, naik 14,2 persen jadi Rp172,1 triliun.
Karena itu, CIMB Niaga layak menyandang gelar “dividend monster” dari kalangan bank menengah. Dengan PBV sekitar 0,9x, valuasinya mulai mendekati wajar tapi belum masuk area mahal. Yang bikin standout adalah dividend yield-nya yang tembus 8,4 persen, salah satu tertinggi di sektor perbankan saat ini.
Dengan dukungan kuat dari CIMB Group Malaysia, BNGA ngebut di digitalisasi dan ekspansi ke segmen UKM. Dua tahun terakhir udah mulai rajin bagi dividen besar, bikin dia pantas masuk radar investor yang cari potensi cuan jangka menengah.
Berapa yang Dikantongi Lo Kheng Hong?
Simulasi cuan dividen yang diperoleh Lo Kheng Hong dari tiga saham bank andalannya bisa jadi bukti nyata bahwa strategi investasi jangka panjang dengan saham yang rajin bagi-bagi dividen memang bukan cuma teori.
Berdasarkan data terakhir dari laporan tahunan dan RTI Business, kita bisa menghitung estimasi dividen yang ia kantongi tahun ini. Pertama, dari saham NISP yang ia miliki lewat entitas PT Sutan Cempaka sebanyak kurang lebih 1,26 miliar lembar, dengan estimasi dividen per saham (DPS) sebesar Rp70, naik dari Rp60 tahun sebelumnya. Jika dihitung, total dividen yang dia dapat dari NISP saja mencapai sekitar Rp88,2 miliar. Saham ini terkenal stabil dalam membagikan dividen.
Lalu dari saham Danamon (BDMN), Lo Kheng Hong diketahui mengempit sekitar 203 juta lembar. Dengan DPS tahun ini yang relatif stabil di Rp376 per saham, potensi cuan dividen dari BDMN mencapai Rp76,3 miliar. Walaupun harga saham Danamon tak terlalu liar pergerakannya, dividennya tetap setia hadir di kuartal pertama, membuatnya cocok untuk investor bertipe "santai tapi cuan".
Terakhir, dari CIMB Niaga, Lo Kheng Hong menguasai sekitar 96,5 juta lembar saham. Dividen BNGA tahun ini diperkirakan naik menjadi Rp181 per saham, dari sebelumnya Rp161. Dengan angka itu, total cuan dividen yang ia raup dari BNGA mencapai sekitar Rp17,46 miliar. Ini menandakan tren positif dan konsistensi manajemen BNGA dalam menjaga komitmen kepada pemegang sahamnya.
Jika ditotal, dari ketiga emiten bank tersebut, Lo Kheng Hong berpotensi meraup dividen senilai hampir Rp182 miliar pada tahun 2024 saja. Berikut rekapnya: dari NISP sebesar Rp88,2 miliar, dari BDMN Rp76,3 miliar, dan dari BNGA Rp17,46 miliar.
Dengan asumsi sederhana bahwa dividen ini merata sepanjang tahun, artinya Lo Kheng Hong digaji pasif sekitar Rp500 juta per hari, termasuk hari Minggu dan tanggal merah, benar-benar definisi tidur dapet cuan. Cuan model begini jelas bukan hasil spekulasi atau "goreng-gorengan", tapi buah dari kesabaran, pemilihan saham yang fundamentalnya solid, dan kepercayaan pada kekuatan waktu.
Meski prospek cuan dividen dari NISP, BDMN, dan BNGA terlihat menggiurkan, tetap ada risiko fundamental dan makro yang wajib diperhatikan. Salah satunya adalah potensi deindustrialisasi yang bisa menekan permintaan kredit dari sektor riil, terutama manufaktur. Selain itu, proses digitalisasi perbankan yang lambat bisa jadi hambatan pertumbuhan jangka panjang, apalagi jika dibandingkan dengan bank digital atau fintech yang lebih agresif.
Dari sisi teknikal dan likuiditas, saham seperti BDMN dan NISP cenderung sepi peminat, dengan rata-rata nilai transaksi harian di bawah Rp5 miliar. Ini membuatnya kurang ideal bagi trader jangka pendek karena volatilitas rendah dan spread lebar. Namun, justru kondisi ini cocok bagi investor jangka panjang yang mencari stabilitas dan potensi dividen berkelanjutan.
Strategi mitigasi terbaik adalah koleksi bertahap saat harga sedang koreksi, dengan pendekatan average down pada titik-titik support kuat. Mengingat fundamental tetap sehat dan dividen stabil, pendekatan buy and hold dalam horizon multi-tahun menjadi pilihan rasional, ala Lo Kheng Hong. Kuncinya: sabar, tahan, dan nikmati hasilnya tiap musim bagi-bagi cuan.
Filosofi Investasi Ala Lo Kheng Hong
Lo Kheng Hong bukan cuma investor kawakan, tapi juga ikon value investing di Indonesia. Filosofinya sederhana tapi dalam: beli saham perusahaan bagus saat harganya murah, tahan lama, dan biarkan waktu bekerja. Dia sering mengibaratkan beli saham itu seperti beli kulkas, bukan buat dipantau tiap hari, tapi disimpan, dipakai, dan dinikmati hasilnya di kemudian hari.
Gaya investasinya menghindari keramaian, dan justru masuk ke saham-saham yang sedang “dingin” di mata pasar tapi punya fundamental kokoh. Bagi Lo Kheng Hong, "kalau semua orang lari karena api, saya masuk ke ruangan itu cari saham yang terbakar, tapi masih punya fondasi beton."
Portofolio Lo Kheng Hong selalu menarik perhatian karena dipenuhi saham-saham yang low profile tapi high potential. Beberapa emiten yang sempat atau masih jadi koleksinya antara lain PT Gajah Tunggal Tbk (GJTL), PT Petrosea Tbk (PTRO), PT Intiland Development Tbk (DILD), serta tiga bank yang sudah dibahas sebelumnya: NISP, BDMN, dan BNGA.
Strateginya konsisten, yakni cari valuasi murah (PBV di bawah 1x), laba yang stabil atau tumbuh, manajemen terpercaya, dan bonusnya, dividen yang rutin. Tidak heran, selama lebih dari 30 tahun berinvestasi, ia sudah menjaring cuan hingga triliunan rupiah hanya dari capital gain dan dividen.
Meski kekayaannya ditaksir sudah menyentuh kisaran Rp2 triliun lebih (sebagian besar dari investasi saham), Lo Kheng Hong tetap hidup sederhana. Dia masih tinggal di rumah lamanya, tidak pamer kekayaan, dan tetap hadir sebagai pembicara di berbagai seminar dengan gaya santai dan apa adanya. Ini makin menegaskan bahwa mindset investor sukses bukan tentang gaya hidup tinggi, tapi kedisiplinan, kesabaran, dan kemampuan membaca peluang ketika pasar sedang salah harga.
Lo Kheng Hong tidak aktif di media sosial, tidak pernah kasih sinyal beli, dan jarang tampil di publik. Tapi setiap kali publik tahu ia membeli saham tertentu, saham itu langsung jadi sorotan. Dalam beberapa kasus, investor ritel ikut "nebeng" setelah tahu saham tersebut masuk portofolionya. Namun ia sendiri tidak pernah menyarankan siapa pun untuk meniru mentah-mentah. (*)