KABARBURSA.COM - Eniya Listiani Dewi, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengungkapkan faktor yang dapat memengaruhi harga hidrogen di Indonesia. Dua faktor utama ialah permintaan yang meningkat serta ketersediaan infrastruktur pendukung hidrogen.
"Jika permintaan meningkat, harganya pasti akan jauh lebih murah. Diperkirakan pada tahun 2030, harganya mungkin hanya setengah dari harga saat ini," kata Eniya, Selasa, 21 Mei 2024.
Eniya menjelaskan bahwa saat ini harga hidrogen abu-abu (grey hydrogen) dibanderol sekitar USD3,5 per kilogram untuk bahan baku industri seperti pupuk. Namun, harganya bisa naik hingga USD21 per kilogram jika digunakan dalam volume kecil, seperti untuk keperluan laboratorium. Ia melanjutkan bahwa grey hydrogen menggunakan listrik dari gas alam (natural gas), sehingga memiliki tingkat emisi yang tinggi.
Eniya menekankan bahwa hidrogen merupakan energi sekunder, yang berarti energi tersebut dihasilkan dari bahan baku tertentu dan memerlukan listrik dalam proses pembuatannya.
Oleh karena itu, harga listrik yang kompetitif sangat penting untuk memproduksi hidrogen dengan biaya rendah. "Jika listrik diperoleh dengan biaya tinggi, hidrogen pasti akan mahal. Oleh karena itu, kita harus berupaya menemukan sumber listrik yang paling murah," ujarnya.
Listrik yang berasal dari fotovoltaik, atau teknologi yang digunakan untuk mengkonversi radiasi matahari menjadi energi listrik, saat ini masih mahal.
Eniya mengatakan harga listrik dari fotovoltaik bakal lebih kompetitif pada 2030, sehingga harga hidrogen juga menjadi lebih murah.
Namun, untuk saat ini, harga listrik paling murah dihasilkan melalui Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang berasal dari bendungan-bendungan lama dan sudah mengalami depresiasi. Walhasil, harga listrik yang dihasilkan menjadi lebih murah.
Selain itu, harga listrik yang murah juga berpotensi dihasilkan dari geothermal. Meskipun harganya saat ini mahal, kata Eniya, tetapi listrik yang dihasilkan berpotensi menjadi lebih murah karena Indonesia memiliki potensi panas bumi yang besar.
“Geothermal itu potensi Indonesia sangat banyak sekali, karena kita punya ring of fire, semua sumber panas di dalam tanah air kita itu banyak banget kan,” ujar Eniya.
Namun, Eniya tidak menampik bahwa investasi geothermal saat ini tidak terlalu banyak. Hal ini disebabkan karena sumber geothermal jauh dari sumber permintaan yang membutuhkan banyak listrik seperti di kota-kota besar.
Dengan demikian, Eniya selalu mendorong para investor untuk mengubah cara pandang ihwal investasi panas bumi di Indonesia. Misalnya, investor dapat membangun 1 pabrik yang menghasilkan ragam produk. Dengan demikian, sisa listrik yang tidak terpakai bisa dialihkan untuk membuat hidrogen.
“Dia [investor] bisa menjual hidrogen, bisa menjual listriknya ke penghuni di situ, terus bisa mengirimkan (mentransportasikan). Memang mungkin ini tidak semua geothermal, bisa cari geothermal yang dekat pantai, bisa kirim gitu ya. Memang studi seperti itu diperlukan untuk kita menentukan ini layak tidak sih untuk dibangun geothermal begini,” ujar Eniya.
“Nah, sekarang sudah mulai ada lagi bangun geothermal, ditambah satu produk lagi. Ada pasir silika yang bisa dihasilkan dari steamnya. Jadi, geothermal akan menjadi tidak mahal lagi.”
Sebelumnya, PT Pertamina New & Renewable Energy (PNRE) mengatakan masih terdapat kesenjangan dari harga bahan bakar minyak (BBM) seperti Pertamax Turbo dengan bahan bakar berbasis hidrogen atau fuel cell electric vehicle (FCEV).
Adapun, harga dari Pertamax Turbo di dispenser adalah Rp1.440/km. Sementara itu, harga untuk hidrogen pada 2025 diproyeksikan sebesar Rp6.940/km. Harga ini diproyeksikan bakal turun hingga Rp2.988/km pada 2025—2030 dan Rp2.158/km selepas 2030.
Hal ini seiring dengan pertumbuhan ekosistem dari kendaraan berbasis hidrogen atau FCEV, khususnya yang dibangun Pertamina.
VP Strategy & Portfolio Pertamina NRE Aditya Dewobroto mengatakan diperlukan upaya mitigasi untuk membuat harga bahan bakar hidrogen setara dengan harga bahan bakar minyak (BBM).
“Jadi memang ada gap yang perlu kita mitigasi, sehingga ada potensi penggunaan oleh masyarakat luas bisa tercapai,” ujar Aditya dalam seminar Menggali Potensi Besar dan Masa Depan Mobil Hidrogen, medio pekan lalu.
Aditya mengatakan, kontributor yang menyumbang harga hidrogen adalah belanja operasioanal atau operating expenditure (opex) sebesar 21,7 persen, yang salah satunya termasuk biaya transportasi, bahan baku (feedstock) H2 40 persen dan belanja modal atau capital expenditure sebesar 38,1 persen.
“Salah satu challenge adalah mendekatkan sumber demand dengan source dari renewable source karena salah satu komponen biaya yang drive harga hidrogen adalah transportasi selain dari capex,” ujar Adiya.
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.