KABARBURSA.COM – Keputusan Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 5,50 persen pada Rapat Dewan Gubernur Juli 2025 mendapat respons positif dari pelaku pasar.
Ekonom dari Universitas Andalas, Syafruddin Karimi mengetakan langkah pelonggaran moneter itu dinilai menjadi sinyal dukungan terhadap pemulihan ekonomi nasional dan menciptakan peluang pertumbuhan di pasar modal, terutama bagi sektor-sektor domestik yang sensitif terhadap suku bunga.
“Penurunan BI Rate sebesar 25 basis poin langsung memberi sinyal positif ke pasar saham. Pelaku pasar melihat ini sebagai bentuk dukungan moneter yang memperlonggar likuiditas,” ujar Syafruddin kepada KabarBursa.com pada Jumat, 18 Juli 2025.
Menurutnya, kebijakan suku bunga lebih rendah akan menurunkan biaya pinjaman, memberikan ruang ekspansi sektor riil, dan mendorong optimisme terhadap pemulihan ekonomi. Implikasinya, investor cenderung melihat momen ini sebagai peluang masuk ke pasar saham, khususnya pada saham-saham berbasis konsumsi dan domestik.
“Investor melihat ini sebagai peluang membeli saham di tengah potensi ekspansi bisnis,” jelas Syafruddin.
Sektor-sektor yang diproyeksikan menjadi penerima manfaat utama dari penurunan suku bunga adalah properti, konstruksi, otomotif, dan barang konsumsi. Penurunan bunga pinjaman diyakini akan menggerakkan permintaan kredit untuk kepemilikan rumah dan kendaraan, sementara sektor konsumsi akan terdorong oleh daya beli masyarakat yang meningkat.
“Permintaan kredit yang lebih murah bisa menggerakkan sektor properti dan otomotif. Sementara itu, perusahaan barang konsumsi punya peluang ekspansi karena masyarakat terdorong membelanjakan uangnya,” ungkap Syafruddin.
Sebaliknya, sektor energi, pertambangan, dan komoditas disebut kurang terdampak langsung. Kinerja saham di sektor ini lebih banyak dipengaruhi oleh harga komoditas global dan permintaan ekspor daripada dinamika suku bunga domestik. Oleh karena itu, respons harga sahamnya cenderung lebih lambat.
“Penurunan BI Rate tidak otomatis menciptakan lonjakan permintaan batu bara atau minyak sawit,” katanya.
Dari sisi perilaku pasar, penurunan suku bunga acuan biasanya disambut dengan optimisme di awal, mendorong penguatan indeks saham dan peningkatan volume perdagangan. Reposisi aset terjadi karena pelaku pasar meningkatkan eksposur terhadap saham-saham siklikal.
“Pasar biasanya merespons dengan euforia moderat. Efek psikologis ini menjadi katalis jangka pendek,” tutur Syafruddin.
Namun, dampak ke sektor perbankan dinilai bersifat dua sisi. Di satu sisi, potensi peningkatan kredit terbuka lebar. Di sisi lain, bank menghadapi risiko tertekan pada margin bunga bersih atau net interest margin (NIM), terutama bila penurunan bunga simpanan tidak sejalan dengan penyesuaian bunga kredit.
“Jika tidak dikelola dengan tepat, penurunan BI Rate dapat membuat laba perbankan stagnan atau menurun,” kata Syafruddin.
Di pasar obligasi, yield cenderung turun seiring meningkatnya permintaan terhadap instrumen berisiko rendah. Harga obligasi naik, sementara investor institusional mulai memburu obligasi jangka menengah dan panjang untuk diversifikasi portofolio dalam kondisi suku bunga rendah.
“Investor akan berebut instrumen berisiko rendah sebelum suku bunga makin turun,” ujarnya.
Sentimen investor asing juga dinilai bisa membaik selama penurunan BI Rate dilakukan dalam konteks stabilitas makro dan inflasi yang terjaga. Prospek pemulihan konsumsi dan investasi dapat menjadi pemicu kembalinya arus dana asing ke pasar domestik.
“Penurunan BI Rate kali ini bisa membangkitkan minat asing pada pasar saham Indonesia,” ujar Syafruddin.
Meski demikian, ia mengingatkan bahwa keberhasilan menarik kembali modal asing tetap dipengaruhi oleh dinamika global seperti arah kebijakan The Fed, kestabilan rupiah, dan outlook ekonomi nasional. Penurunan suku bunga hanyalah satu dari banyak elemen penentu.
“Penurunan ini membuka ruang arus modal asing, tapi tidak cukup berdiri sendiri,” katanya.
Sementara itu, investor domestik cenderung makin percaya diri berinvestasi di saham ketika suku bunga rendah karena return dari deposito atau obligasi jangka pendek menjadi kurang menarik.
“Saham menjadi lebih menarik dibanding deposito atau obligasi jangka pendek,” kata Syafruddin. Ia menilai, kondisi ini juga memberi momentum mendorong peningkatan partisipasi ritel dan penguatan basis investor domestik di pasar modal.
Dari sisi strategi investasi, Syafruddin menyarankan rotasi portofolio ke sektor-sektor siklikal seperti properti, konstruksi, konsumsi, dan otomotif. Sebaliknya, eksposur ke sektor energi dan pertambangan bisa dikurangi karena sensitivitasnya terhadap suku bunga relatif rendah. Diversifikasi tetap penting di tengah ketidakpastian global.
“Investor disarankan fokus ke saham siklikal dan berorientasi domestik,” ujarnya.
Meski menyambut langkah BI, Syafruddin menilai penurunan suku bunga sebesar 25 bps belum bisa disebut agresif. Untuk mendorong lonjakan signifikan di pasar modal, kebijakan pelengkap seperti stimulus fiskal, reformasi struktural, dan penguatan fundamental ekonomi tetap dibutuhkan.
“Keputusan BI ini adalah langkah proaktif, tapi belum cukup kuat jika berdiri sendiri,” ujar Syafruddin.(*)