Logo
>

Efek Resesi AS, ExxonMobil Bakal Tahan Investasi ke RI?

Ditulis oleh KabarBursa.com
Efek Resesi AS, ExxonMobil Bakal Tahan Investasi ke RI?

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mengungkapkan bahwa hingga saat ini, ExxonMobil belum menunjukkan tanda-tanda akan menahan investasi di Indonesia, meski ada sinyal resesi di Amerika Serikat.

    Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas, Hudi D. Suryodipuro, menyatakan bahwa ExxonMobil masih aktif dalam beberapa studi bersama di Indonesia. Selain itu, proyek ExxonMobil melalui ExxonMobil Cepu Limited (EMCL), seperti Banyu Urip Infill & Clastic (BUIC), masih berjalan dan diperkirakan akan mulai beroperasi dalam waktu dekat.

    “Sampai saat ini, kami belum melihat niat dari ExxonMobil untuk menahan investasi di Indonesia. Kami akan terus memantau,” ujar Hudi di Jakarta Selatan, Rabu 7 Agustus 2024.

    Menurut data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), BUIC diperkirakan akan mulai beroperasi pada kuartal III-2024 dengan produksi mencapai 19.206 barel per hari (BOPD).

    Hudi menambahkan bahwa ExxonMobil juga sedang mengeksplorasi pengembangan Carbon Capture Storage (CCS) dalam kerjasama dengan PT Pertamina (Persero). Kerjasama ini meliputi evaluasi CCS Hub di barat laut Jawa, termasuk di Cekungan Asri dan Cekungan Sunda.

    “Secara keseluruhan, tren investasi ExxonMobil di Indonesia masih sangat positif,” tegas Hudi.

    SKK Migas juga tengah berkoordinasi dengan ExxonMobil untuk mengeksplorasi potensi dan peluang baru di sektor hulu migas Indonesia. Penemuan besar yang terjadi baru-baru ini telah meningkatkan minat investor, termasuk investor besar, untuk kembali menanamkan modal di Indonesia dan mencari lapangan serta wilayah kerja baru.

    Namun, kekhawatiran muncul di kalangan pengusaha migas terkait kemungkinan penahanan investasi oleh investor AS, seperti ExxonMobil, jika AS benar-benar memasuki fase resesi. Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas Nasional (Aspermigas), Moshe Rizal, mengatakan bahwa penundaan investasi pada sumur baru dapat mengancam produksi di Blok Cepu.

    “Jika resesi terjadi, ExxonMobil mungkin akan mengurangi investasi karena kekhawatiran finansial, yang bisa menyebabkan penurunan produksi di Blok Cepu,” ujar Moshe Selasa 6 Agustus 2024 kemarin.

    ExxonMobil, melalui EMCL, berperan sebagai operator di Blok Cepu di Jawa Timur. Situs resmi EMCL menyebutkan bahwa mereka telah memproduksi lebih dari 600 juta barel minyak mentah dari Blok Cepu. Data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan bahwa produksi ExxonMobil Cepu per 30 Juni 2024 adalah 143.946 BOPD, turun dari 155.444 BOPD pada tahun 2023.

    Belakangan ini, beberapa ekonom mulai mengungkapkan kekhawatiran mengenai potensi resesi di AS. Goldman Sachs Group meningkatkan kemungkinan resesi AS tahun depan menjadi 25 persen dari sebelumnya 15 persen, meskipun ada alasan untuk tidak terlalu khawatir meskipun tingkat pengangguran meningkat.

    Risiko Resesi Bagi ExxonMobil

    Ekonom Goldman Sachs, yang dipimpin oleh Jan Hatzius, menyatakan bahwa risiko resesi dianggap terbatas dalam laporan terbaru mereka pada Minggu 4 Agustus 2024.

    ExxonMobil mengumumkan laba bersih sebesar USD8,22 miliar untuk kuartal pertama 2024, mengalami penurunan tajam sebesar 28 persen dibandingkan dengan USD11,43 miliar yang tercatat pada periode yang sama tahun lalu.

    Penurunan laba ini terjadi di tengah turunnya margin penyulingan industri dan harga gas alam, yang kembali ke level historis sepuluh tahun setelah mencapai puncaknya tahun lalu. Total pendapatan dan pendapatan lainnya merosot menjadi USD83,08 miliar, dari sebelumnya USD86,56 miliar dalam tiga bulan pertama tahun 2023.

    Perusahaan menyatakan bahwa penurunan laba disebabkan oleh dampak waktu dari penilaian derivatif yang belum selesai serta dampak non-tunai dari penyesuaian pajak, inventaris, dan divestasi. Meskipun demikian, ExxonMobil menekankan pertumbuhan volume yang solid dan menguntungkan, terutama dari operasional di Guyana serta ekspansi kilang Beaumont.

    Faktor-faktor ini, dikombinasikan dengan penghematan biaya struktural, berkontribusi pada pengurangan dampak negatif dari volume dasar yang lebih rendah akibat divestasi, hak yang tidak menguntungkan, pembatasan pemerintah, dan biaya tambahan yang timbul dari pemeliharaan terjadwal.

    ExxonMobil, yang menargetkan penyelesaian akuisisi Pioneer Natural Resources, perusahaan minyak serpih AS senilai USD60 miliar atau Rp960 triliun pada kuartal kedua, melaporkan laba sebesar USD8,2 miliar atau Rp131,2 triliun. Angka ini menunjukkan penurunan signifikan sebesar 28 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

    Meskipun harga komoditas hidrokarbon cair menunjukkan sedikit peningkatan dan ExxonMobil berhasil meraih volume yang mengesankan dari Guyana, keuntungan tersebut tidak mampu menutupi dampak penurunan harga gas alam yang mencapai 32 persen.

    Bisnis produk energi perusahaan juga mengalami penurunan pendapatan yang mencolok, disebabkan oleh melemahnya margin keuntungan penyulingan. Meskipun terdapat laporan rekor penyulingan pada kuartal pertama, hal ini tidak cukup untuk membendung penurunan pendapatan yang turun 4 persen menjadi USD83,1 miliar atau Rp1.329,6 triliun. (*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    KabarBursa.com

    Redaksi