Logo
>

Efektifkah Program Pensiun Baru Jawab Krisis Kemiskinan Lansia?

Ditulis oleh Dian Finka
Efektifkah Program Pensiun Baru Jawab Krisis Kemiskinan Lansia?

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Pemerintah Indonesia tengah dihadapkan pada tantangan besar dalam upayanya mengimplementasikan program pensiun baru yang dirancang untuk meningkatkan kesejahteraan para lansia.

    Program ini ditujukan untuk mengatasi peningkatan populasi lansia serta menurunkan tingkat kemiskinan di masa depan. Namun, berbagai kekhawatiran muncul terkait dengan pelaksanaannya.

    Pakar ketenagakerjaan dari UGM, Tadjuddin Noer Effendi, menyoroti salah satu masalah utama: bagaimana program pensiun ini akan diimplementasikan dan lembaga mana yang akan memegang tanggung jawab utama.

    “Pertanyaan besarnya, bagaimana implementasi program ini akan berjalan? BPJS Ketenagakerjaan sendiri sudah menghadapi banyak tantangan, dan sekarang dibebani dengan tanggung jawab baru. Apakah program ini akan benar-benar efektif bagi para pekerja dalam jangka panjang?” ujar Tadjuddin saat diwawancarai oleh Kabar Bursa di Jakarta, Sabtu, 7 September 2024.

    Pemerintah tampaknya mencoba merespons perubahan demografis yang terjadi di Indonesia, di mana jumlah lansia diperkirakan akan meningkat secara signifikan di masa depan.

    Menurut proyeksi, mulai tahun 2035, populasi lansia berusia di atas 50 tahun akan melonjak, mencapai sekitar 30-40 persen dari total penduduk pada tahun 2045.

    Meski demikian, ada kekhawatiran bahwa tanpa strategi yang matang, program pensiun ini tidak akan cukup efektif dalam menurunkan angka kemiskinan. Banyak pengamat mengingatkan bahwa sejumlah besar lansia di daerah pedesaan belum pernah memiliki akses terhadap program pensiun dan kini berpotensi jatuh ke dalam kemiskinan.

    “Perubahan demografi ini menuntut adanya strategi yang lebih komprehensif untuk mencegah peningkatan kemiskinan. Jika tidak, kita berisiko menciptakan kategori masyarakat miskin yang lebih besar di masa depan,” tambah Tadjuddin.

    Kekhawatiran lainnya adalah terkait jenis pekerjaan yang mungkin tersedia bagi lansia setelah mereka pensiun. Jika program ini mengharuskan para lansia untuk tetap bekerja, pemerintah harus memastikan adanya cukup lapangan pekerjaan, baik di sektor formal maupun informal. Ini menjadi tantangan tersendiri mengingat tingginya tingkat pengangguran di kalangan tenaga kerja muda serta ketidakpastian di sektor informal.

    “Bagaimana pemerintah akan memastikan bahwa lansia yang pensiun tetap memiliki akses ke pekerjaan? Apakah ada rencana konkret untuk menciptakan pekerjaan bagi mereka? Dan bagaimana dengan nasib pekerja di sektor informal dan pertanian yang selama ini tidak memiliki jaminan pensiun?” lanjutnya.

    Masalah ini semakin diperumit dengan data dari BPS yang menunjukkan adanya penurunan jumlah kelas menengah akibat gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang signifikan.

    Sepanjang tahun 2023, hampir 50.000 pekerja terkena PHK, dan angka tersebut diperkirakan akan terus meningkat pada 2024. Penurunan kelas menengah ini juga memperburuk kondisi kemiskinan.

    “Strategi apa yang akan diambil pemerintah untuk menangani dampak PHK yang melanda berbagai sektor industri? Program pensiun ini harus diiringi dengan solusi untuk masalah pengangguran dan kemiskinan yang sudah ada,” Tadjuddin menegaskan.

    Ia juga menambahkan bahwa pemerintah perlu segera memberikan penjelasan lebih lanjut tentang detail implementasi program pensiun ini serta memastikan bahwa seluruh masyarakat, termasuk para lansia di sektor informal dan pertanian, dapat merasakan manfaat yang merata dan adil.

    Kondisi Pengangguran Terkini

    Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa tingkat pengangguran di Indonesia mengalami penurunan pada Februari 2024. Dibandingkan dengan Februari 2023, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) turun dari 5,45 persen menjadi 4,82 persen, menandakan 790 ribu orang berhasil keluar dari jeratan pengangguran.

    Meskipun menunjukkan tren positif, jumlah pengangguran di Indonesia masih tergolong tinggi, mencapai 7,2 juta orang. Angka ini setara dengan 40,83 persen dari total angkatan kerja yang berjumlah 17,92 juta orang.

    Dari 7,2 juta pengangguran, mayoritas didominasi oleh lulusan baru dengan tingkat pengangguran terbuka (TPT) sebesar 15,51 persen. Hal ini menunjukkan masih tingginya kesenjangan antara keterampilan angkatan kerja dengan kebutuhan pasar kerja.

    Di sisi lain, sekitar 58,05 juta orang (40,83 persen) tercatat bekerja pada Februari 2024. Dari jumlah tersebut, pekerja formal mencapai 57,02 juta orang, pekerja paruh waktu 8,13 juta orang, dan setengah pengangguran 2,9 juta orang.

    Secara umum, angka pengangguran di Indonesia menunjukkan perbaikan dibandingkan tahun 2023. Namun, jumlah pengangguran yang masih tinggi dan dominasi pengangguran di kalangan lulusan baru menjadi tantangan yang perlu diatasi oleh pemerintah.

    Upaya peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan, penciptaan lapangan kerja, dan penyesuaian kurikulum pendidikan dengan kebutuhan pasar kerja menjadi beberapa solusi yang perlu diimplementasikan secara berkelanjutan.

    Pemerintah juga perlu memperkuat sinergi dengan berbagai pihak, seperti dunia usaha dan masyarakat, untuk mengatasi permasalahan pengangguran di Indonesia.

    Narasi berita ini diharapkan dapat memberikan gambaran terkini tentang situasi pengangguran di Indonesia, serta tantangan dan solusi yang perlu dihadapi. (*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Dian Finka

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.