KABARBURSA.COM - Banyaknya kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karyawan pabrik tekstil, membawa kecemasan tersendiri, Ekonom senior Faisal Basri menjelaskan, penyebab tumbangnya pabrik-pabrik tekstil ini bukan karena penerapan Permendag Nomor 8 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor, tetapi lebih disebabkan faktor lain.
Faisal menguraikan berbagai faktor yang menyebabkan banyak pabrik tekstil di Indonesia tutup, salah satunya adalah perkembangan teknologi yang tidak diimbangi oleh industri tekstil dalam negeri. Menurut Faisal, industri tekstil Indonesia pernah mencapai masa kejayaan dengan menghasilkan produk berkualitas tinggi, namun kemudian tertinggal dalam hal pengembangan teknologi. Akibatnya, harga produk tekstil dalam negeri menjadi mahal dan tidak kompetitif.
Dia juga menyoroti bahwa banyak pabrik tekstil lebih memilih mengalokasikan keuntungan mereka untuk investasi di sektor lain seperti properti, daripada melakukan modernisasi dan restrukturisasi. Sementara itu, pabrik tekstil di luar negeri terus mengembangkan teknologi mereka, sehingga mampu memproduksi barang dengan biaya lebih rendah. Hal ini menyebabkan pasar Indonesia dibanjiri produk impor murah, yang berujung pada penutupan banyak pabrik tekstil lokal.
Namun, tidak semua pabrik tekstil mengikuti pola tersebut. Faisal mencatat bahwa beberapa pabrik yang melakukan modernisasi dan fokus pada produk ekspor berkualitas tinggi berhasil bertahan dan bersaing di pasar global.
Selain masalah internal, Faisal juga menilai bahwa dukungan pemerintah terhadap industri tekstil sangat minim. Dia mengingat pengalaman bersama Kamar Dagang dan Industri (Kadin) yang berupaya membuat program restrukturisasi pabrik tekstil dengan menggandeng produsen tekstil dari Swiss. Namun, acara tersebut tidak dihadiri oleh perwakilan dari pemerintah, menunjukkan kurangnya perhatian dan dukungan dari pihak berwenang.
Secara keseluruhan, kurangnya pengembangan teknologi, keputusan strategis yang kurang tepat oleh para pelaku industri, dan minimnya dukungan pemerintah menjadi faktor-faktor utama yang menyebabkan banyak pabrik tekstil di Indonesia mengalami kesulitan dan akhirnya tutup.
Kemarin, Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang menegaskan, sektor TPT harus tetap optimis. Dia mengaku akan terus menjalankan kebijakan yang sejalan dengan pengembangan sektor TPT dalam negeri yang berdaya saing global.
“Dalam peta jalan dan kebijakan industri nasional, industri TPT merupakan sektor yang mendapat prioritas pengembangan karena memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian Indonesia,” kata Agus dalam keterangannya, Kamis, 4 Juli 2024.
Diketahui, kinerja di kuartal I tahun 2024 industri TPT menyumbang sebesar 5,84 persen terhadap PDB sektor manufaktur serta memberikan andil terhadap ekspor nasional sebesar USD11,6 miliar dengan surplus mencapai USD3,2 miliar.
Industri TPT juga sebagai sektor padat karya dengan menyerap tenaga kerja lebih dari 3,98 juta tenaga atau memberikan kontribusi sebesar 19,47 persen terhadap total tenaga kerja di sektor manufaktur pada 2023.
Sebagai sektor padat karya, industri TPT juga membutuhkan tenaga kerja dengan jumlah banyak dan memiliki kompetensi sesuai kebutuhan saat ini. Dalam hal ini, Kemenperin melalui satuan kerja di bawah binaan Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Industri (BPSDMI), yakni Balai Diklat Industri (BDI) Jakarta yang fokus menyelenggarakan Diklat 3in1 untuk memenuhi kebutuhan industri TPT.
“Diklat ini kami dorong untuk bisa menjalin kerja sama dengan industri. Contohnya adalah BDI Jakarta berkolaborasi dengan PT Globalindo Intimates,” ungkap kata Kepala BPSDMI Kemenperin, Masrokhan pada Penutupan Diklat Operator Sewing di PT Globalindo Intimates, Klaten, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu.
Melalui diklat ini, diharapkan pula para peserta dapat menjadi tenaga kerja yang siap pakai dan mampu mengisi peluang kerja di industri TPT. Hal ini akan berdampak positif pada peningkatan produktivitas dan daya saing industri tersebut.
Adapun PT Globalindo Intimates merupakan produsen pakaian dalam wanita yang telah menembus pasar ekspor. Perusahaan yang didirikan sejak tahun 2008 ini memiliki luas pabrik sekitar 32.000 m2 dengan total karyawan mencapai 3.600 orang.
Pada tahun 2018, PT Globalindo Intimates memulai proses transformasi digital sebagai langkah strategis untuk meningkatkan operasi dan kapasitas produksi dengan melakukan upgrade mesin menggunakan teknologi berbasis 4.0. Transformasi perusahaan berjalan dengan baik, dan pada tahun 2019 ditunjuk oleh Pemerintah Indonesia melalui Kemenperin sebagai proyek Lighthouse Industry.
“Diklat ini merupakan bagian dari komitmen PT Globalindo untuk terus meningkatkan kompetensi dan profesionalisme karyawannya. Dalam diklat ini, peserta mendapatkan pelatihan mengenai berbagai hal, seperti teknik menjahit, pemeriksaan mutu jahitan dan budaya kerja di industri garmen,” ujar Kepala BDI Jakarta, Ali Khomaini.
Ali menyebut, pihaknya mengajak seluruh pelaku industri untuk berkomitmen bersama dalam upaya pengembangan SDM industri yang unggul, demi mewujudkan Indonesia yang maju, adil, dan sejahtera.
“Menyambut era bonus demografi, di mana jumlah penduduk usia produktif di Indonesia akan semakin meningkat, diklat ini menjadi semakin penting. Bonus demografi ini harus dioptimalkan dengan baik, salah satunya dengan menyiapkan SDM yang terampil dan kompeten,” jelasnya.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.