Logo
>

Ekonom Senior Sentil PLN Soal Polemik PLTS Atap

Ditulis oleh Syahrianto
Ekonom Senior Sentil PLN Soal Polemik PLTS Atap

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap belum dapat dinikmati seluruh lapisan masyarakat. Penyebabnya, tidak adanya upaya dan komitmen kuat dari pemerintah Indonesia.

    Indikatornya ialah Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 2 Tahun 2024. Ini merupakan hasil revisi dari peraturan sebelumnya yang mengandung poin-poin krusial terhadap transisi energi.

    Ekonom senior Drajad Wibowo mengatakan permen tersebut berpotensi menghambat transisi EBT menggunakan energi surya. Penghapusan aturan soal ekspor-impor kelebihan daya oleh masyarakat ke PT PLN menjadi masalah.

    "Biaya pemakaiannya berisiko lebih mahal dan melalui birokrasi panjang sehingga itu menjadi cerminan paradigma lama memberi proteksi terhadap PLN," ujarnya kepada KabarBursa, Kamis, 7 Maret 2024.

    Selain itu, Drajad melihat terbitnya aturan tersebut jelas meningkatkan biaya pemasangan PLTS Atap oleh masyarakat. Ini menyebabkan adanya penurunan minat transisi energi EBT tersebut.

    Padahal di sisi lain, Kementerian ESDM mengungkap optimalisasi PLTS Atap dengan indikator meningkatnya partisipasi masyarakat. Namun kenyataannya, pembangkit listrik itu hanya digunakan masyarakat berpendapatan menengah ke atas.

    "Masyarakat diminta memaksimalkan PLTS Atap tapi prosedurnya dipersulit dan harganya dipermahal dibuktikan lewat permen tersebut," ungkap pembina Sustainable Development Indonesia (SDI) itu.

    Poin Poin Permen

    Hilangnya poin soal ekspor-impor dalam Permen Nomor 2 Tahun 2024 itu juga menjadi perhatian pengamat energi Fahmy Radhi. Menurutnya, ini ada kaitannya dengan PLN.

    Ia melihat PLN terbebani jika masyarakat pengguna dapat melakukan ekspor kelebihan listriknya. Akhirnya terbit peraturan terbaru. Sayangnya, langkah tersebut memiliki imbas terhadap tingginya biaya atau harga.

    "Padahal dalam peraturan menteri sebelumnya itu memungkinkan bagi konsumen PLTS Atap untuk ekspor-impor kelebihan listrik ke PLN. Itu akan diperhitungkan dalam pengurangan biaya pada PLN," kata Fahmy.

    "Nah tapi dalam aturan berikutnya memang satu sisi memperlihatkan (ekspor-impor) itu lama-lama menjadi beban bagi PLN sehingga aturan sebelumnya ditiadakan," sambungnya.

    Contohnya, konsumen PLTS Atap membangun pembangkit listrik berkapasitas 10.000 Watt. Namun konsumen sebenarnya membutuhkan hanya 5.000 Watt. Sisanya akan dibeli oleh PLN menurut peraturan yang telah direvisi sebelumnya.

    Minat Masyarakat Rendah

    Padahal mekanisme ini menurut Fahmy sangat tepat bagi transisi EBT. Alasannya masyarakat pengguna PLTS Atap akan mendapat keuntungan hasil penjualan kelebihan listrik itu kepada PLN. Akhirnya minat kepada energi hijau meningkat.

    "Nah dari situ lama-lama hal itu menjadi beban bagi PLN. Ujungnya aturan ekspor impor tadi ditiadakan. Harga menjadi lebih mahal dan akhirnya konsumen hanya dalam kategori menengah ke atas," terangnya.

    "Bukan cuma itu jadi kalau ada kelebihan listrik ya dipakai sendiri atau itu menjadi risiko konsumen tadi sehingga kembali lagi harganya makin mahal," lanjut Fahmy.

    Oleh karena itu akademisi dari Universitas Gadjah Mada itu menyampaikan pendapatnya bahwa harus ada langkah konkret dari pemerintah maupun PLN. Tujuannya ialah meningkatkan minat masyarakat dan membuat harga terjangkau PLTS Atap.

    "Pemerintah harus memproduksi komponen-komponen tersebut di dalam negeri. Selain itu pemerintah juga harus bisa mempermudah dalam hal perizinan apalagi menyangkut dengan PLN," pungkasnya.

    Untuk diketahui melalui penelusuran Kabar Bursa sebelumnya, biaya pemasangan PLTS atap masih sangat mahal. Setidaknya konsumen membutuhkan biaya berkisar Rp20 juta hingga Rp200 juta dalam dua jenis yaitu on grid dan off grid.

    Berdasarkan kapasitas dayanya, pembangkit listrik tersebut ada yang mulai dari 1.000 watt sampai 15.000 watt. Ini kategori daya yang cocok dengan penggunaan rumah tangga.

    Balik Batu Bara

    Namun ironisnya, pemerintah bercita-cita meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penggunaan pembangkit listrik "hijau" tersebut. Di sisi lain aturan yang diterbitkan oleh pemerintah sendiri justru menghambat mempersulit bahkan menciptakan harga yang tidak terjangkau seluruh lapisan masyarakat.

    Konsekuensinya ialah target pemerintah Presiden Joko Widodo terkait net zero emission (NZE) akan lama tercapai. Artinya negara lagi-lagi menggunakan pembangkit listrik konvensional yang bersumber dari batubara melalui Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). (ari/prm)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Syahrianto

    Jurnalis ekonomi yang telah berkarier sejak 2019 dan memperoleh sertifikasi Wartawan Muda dari Dewan Pers pada 2021. Sejak 2024, mulai memfokuskan diri sebagai jurnalis pasar modal.

    Saat ini, bertanggung jawab atas rubrik "Market Hari Ini" di Kabarbursa.com, menyajikan laporan terkini, analisis berbasis data, serta insight tentang pergerakan pasar saham di Indonesia.

    Dengan lebih dari satu tahun secara khusus meliput dan menganalisis isu-isu pasar modal, secara konsisten menghasilkan tulisan premium (premium content) yang menawarkan perspektif kedua (second opinion) strategis bagi investor.

    Sebagai seorang jurnalis yang berkomitmen pada akurasi, transparansi, dan kualitas informasi, saya terus mengedepankan standar tinggi dalam jurnalisme ekonomi dan pasar modal.