Logo
>

Ekonomi RI Ditargetkan Tembus 7 Persen, Realistis?

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Ekonomi RI Ditargetkan Tembus 7 Persen, Realistis?

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Indonesia sedang menatap masa depan dengan penuh ambisi dan harapan di bawah kepemimpinan baru Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.

    Dengan target pertumbuhan ekonomi yang menakjubkan, mereka menetapkan tujuan untuk mencapai laju 7 persen, langkah besar yang dirancang untuk mewujudkan cita-cita Indonesia Emas 2045 sebagai negara maju.

    Piter Abdullah, Direktur Eksekutif Segara Research Institute, menegaskan bahwa target ambisius ini realistis jika diterapkan selama dekade mendatang.

    "Indonesia memiliki semua prasyarat untuk tumbuh tinggi di atas 7 persen. Yang dibutuhkan adalah kebijakan yang tepat untuk mengatasi semua penyakit ekonomi, terutama inefisiensi," ujarnya kepada Kabar Bursa pada Kamis, 23 Mei 2024.

    Diketahui, Menteri Keuangan Sri Mulyani menetapkan target pertumbuhan ekonomi yang lebih konservatif, yaitu 5,1 hingga 5,5 persen untuk tahun 2025. Target ini dipaparkan dalam Rapat Paripurna bersama DPR RI, membahas Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) 2025. Menurutnya, target ini bertujuan mempercepat transformasi ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan pasca-pandemi COVID-19.

    "Pemerintah mengusulkan indikator ekonomi makro sebagai dasar asumsi penyusunan RAPBN 2025," jelas Sri Mulyani dalam rapat tersebut.

    Piter menekankan bahwa untuk mencapai cita-cita Indonesia sebagai negara maju di tahun 2045, pertumbuhan ekonomi di awal pemerintahan Prabowo-Gibran pada tahun 2025 harus berada di kisaran 5,1 hingga 5,5 persen.

    "Jika pertumbuhan 5,1 sampai dengan 5,5 persen tidak tercapai, maka tidak mungkin juga kita menargetkan Indonesia maju," tambahnya.

    Memang, setelah masa jabatan Presiden Jokowi, sorotan akan tertuju pada masa depan ekonomi Indonesia. Mengingat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2024 yang ditetapkan sebesar 5,11 persen menunjukkan stagnasi yang mengkhawatirkan. Data dalam satu dekade terakhir mencatat rata-rata pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 4,23 persen, jauh dari target awal Jokowi yang menggebu-gebu pada awal masa kepemimpinannya, yakni 7 persen.

    Namun, dengan janji-janji baru dari Prabowo-Gibran, harapan kembali membara. Mereka berambisi untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 6-7 persen. Tapi, apakah mereka akan mengulangi sejarah yang sama dengan pemerintahan sebelumnya?

    Andry Satrio Nugroho dari Center of Industry, Trade, and Investment, INDEF, menekankan bahwa kunci keberhasilan terletak pada efektivitas tata kelola pemerintahan. Menurutnya, keberhasilan pemerintahan dalam mencapai target pertumbuhan ekonomi sangat bergantung pada sistem tata kelola yang baik.

    "Kabinet koalisi yang besar memang menguntungkan untuk memperlancar program-program presiden dan wakil presiden terpilih, tetapi itu juga merupakan indikasi lumpuhnya check and balances di parlemen," jelasnya.

    Mengacu pada era Jokowi, koalisi besar yang mendukungnya belum mampu menopang pertumbuhan ekonomi yang signifikan.

    Indonesia bahkan berada di peringkat kedua terendah di ASEAN dalam hal tata kelola pemerintahan. Padahal, kabinet yang padat seharusnya memberikan bekal untuk membangun institusi dan tata kelola yang baik guna menstimulasi pertumbuhan ekonomi. Efektivitas pemerintahan memiliki dampak signifikan terhadap capaian target pertumbuhan ekonomi.

    "Minimnya efektivitas tata kelola pemerintahan berdampak pada capaian target pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, susunan kabinet akan menjadi cerminan seberapa efektif pemerintahan akan dijalankan," tandas Andry.

    Dampak Ekonomi Global

     Chief Economist Citi Indonesia, Helmi Arman, memaparkan terkait faktor-faktor yang bakal berdampak terhadap ekonomi global pada kuartal keempat atau akhir 2024 mendatang.

    Helmi mengatakan, ada beberapa risiko yang perlu dipantau, salah satunya adalah faktor ketegangan geopolitik yang bisa berdampak pada harga minyak mentah dunia.

    “Ketegangan geopolitik bisa memicu volatilitas harga minyak. Citi berpandangan, sebenarnya secara fundamental pasar minyak mentah dunia dalam kondisi over supply di mana pertumbuhan suplai lebih tinggi dibanding pertumbuhan  demand,” katanya kepada media di Jakarta.

    Helmi juga bilang, ketegangan geopolitik bisa meningkatkan posisi spekulatif. Hal ini, kata dia, berpotensi memicu volatilitas harga minyak dan meningkatkan ekspetasi inflasi secara global.

    Selain ketegangan geopolitik, faktor eksternal lainnya yang bisa mempengaruhi ekonomi global adalah pemilihan umum (pemilu) di Amerika Serikat yang dilaksanakan pada November 2024.

    Helmi membeberkan, pemilu di Negeri Paman Sam itu bisa memicu penguatan dolar atau kenaikan dolar indeks. Kondisi ini disebabkan oleh dua faktor.

    Yang pertama, jelas Helmi, potensi ekskalasi perang tarif antara Amerika Serikat dan China bisa memicu respon dari China berupa perlemahan nilai tukar yuan.

    “Di mana nilai tukar yuan ini adalah jangkar bagi menentukan negara-negara  emerging market. Lalu penyebab kedua adalah, apabila menjelang pemilu di Amerika Serikat, menguat wacana pengurangan pajak di Amerika Serikat,” pungkasnya.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Ayyubi Kholid

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.