Logo
>

Ekonomi Thailand Tertekan, Rupiah Tetap Lemah Hadapi Dolar

Ditulis oleh Syahrianto
Ekonomi Thailand Tertekan, Rupiah Tetap Lemah Hadapi Dolar

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Rupiah tampak masih lemah di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) sejak pekan lalu meskipun telah bergerak di bawah level Rp16.000 per dolar AS sejak pekan lalu. Namun, dolar AS memang masih perkasa di depan sebagian mata uang emerging markets.

    Secara historis, dolar AS yang menguat bisa menekan ekonomi emerging markets, terutama negara-negara dengan paparan eksternal yang besar. Misalnya, negara dengan porsi ekspor yang besar seperti Singapura dan Korea Selatan. Terbaru, pekan ini Thailand mengumumkan pemangkasan target pertumbuhan ekonomi tahun 2024. Padahal, ekonomi Thailand di kuartal pertama 2024 tumbuh subur. Ekonomi Thailand naik 1,5 persen secara tahunan pada periode Januari-Maret 2024. Angka ini jauh lebih tinggi ketimbang prediksi sebesar 0,8 persen.

    Pertumbuhan ekonomi Thailand didukung oleh pengeluaran dan investasi sektor swasta. Sebaliknya, pengeluaran dan investasi sektor publik mengalami penurunan, menurut laporan badan pusat statistik Thailand yang dikutip oleh Reuters. Thailand telah menurunkan target pertumbuhan ekonominya tahun ini menjadi antara 2-3 persen, dari target sebelumnya yang berada di kisaran 2,2-3,3 persen. Penurunan target ini terutama disebabkan oleh faktor-faktor eksternal seperti meningkatnya proteksionisme perdagangan, konflik geopolitik, dan ketidakstabilan ekonomi global.

    Secara historis, pertumbuhan ekonomi pasar berkembang cenderung berlawanan arah dengan nilai tukar dolar AS. Ketika dolar AS melemah, pertumbuhan ekonomi pasar berkembang biasanya meningkat, dan sebaliknya. Pengaruh dolar AS terhadap ekonomi pasar berkembang terlihat melalui berbagai saluran, seperti neraca perdagangan, penurunan harga komoditas ketika dolar menguat, serta peningkatan imbal hasil dolar.

    Saat ini, ada optimisme berkurangnya efek penguatan dolar AS terhadap tekanan ekonomi di emerging markets. Negara-negara berkembang telah mulai mengerek suku bunga di tahun 2022, seiring dengan potensi kenaikan suku bunga AS dari level 0-0,25 persen saat pandemi Covid-19 melanda. Kenaikan suku bunga emerging markets ini menyebabkan selisih atawa spread suku bunga dengan AS tetap terjaga. Negara-negara emerging markets pun memiliki neraca yang lebih sehat ketimbang sebelum-sebelumnya.

    Tingkat cadangan devisa dan cadangan lain emerging markets pun sudah jauh lebih tinggi ketimbang awal tahun 2000-an. Apalagi, sejak pandemi berbagai negara mempertebal cadangan emas sebagai opsi cadangan non-dolar. Perburuan bank-bank sentral dunia atas emas ini menjadi salah satu penyebab lonjakan harga emas ke rekor baru di saat dolar AS juga menguat, yang biasanya bergerak berlawanan.

    Meski efek penguatan dolar terhadap ekonomi emerging markets mulai menipis, tetap ada dampak yang dirasakan oleh negara-negara berkembang. Oxford Economics menghitung, kombinasi kenaikan suku bunga dalam dolar AS dan penguatan nilai tukar akan menyebabkan tekanan di sejumlah emerging markets.

    "Dalam skenario negatif ketika dolar AS menguat 10 persen tahun ini, agregat pertumbuhan emerging markets excluding China bisa turun menjadi hanya 1 persen-2 persen di tahun 2024," ungkap Adam Slater, Lead Economist Oxford Economist dalam laporan, Senin, 20 Mei.

    Sementara Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani Indrawati menurunkan target pertumbuhan ekonomi tahun depan menjadi 5,1-5,5 persen dari target sebelumnya 5,3-5,6 persen. Berbeda dengan Thailand, revisi turun target pertumbuhan ekonomi Indonesia disebabkan oleh potensi pelebaran defisit fiskal.

    "Pelebaran defisit fiskal berpotensi untuk meningkatkan yield obligasi, menekan nilai tukar rupiah, menaikkan suku bunga domestik dan pada akhirnya akan menurunkan aktivitas sektor swasta yang sering disebut sebagai crowding out effect," ujar Sri Mulyani dalam Rapat Paripurna DPR.

    Ekonomi Thailand Tumbuh

    Sementara itu, Thailand mencatat pertumbuhan ekonomi yang melambat tetapi lebih kuat dari yang diperkirakan pada kuartal I 2024. Pertumbuhan ini didorong oleh sektor pariwisata dan konsumsi swasta.

    Dewan Pembangunan Ekonomi dan Sosial Nasional pada Senin, 20 Mei 2024, mengatakan, Produk Domestik Bruto (PDB) Thailand dalam tiga bulan hingga Maret meningkat sebesar 1,5 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

    Meskipun pertumbuhan ini lebih lambat dari 1,7 persen pada kuartal yang sama tahun sebelumnya, angka tersebut jauh melampaui perkiraan median sebesar 0,8 persen dalam survei Bloomberg.

    Hanya satu analis yang memprediksi angka tersebut dengan akurat, sementara yang lain memperkirakan pertumbuhan akan terhambat sejak akhir pandemi.

    Secara kuartal, pertumbuhan ekonomi mencapai 1,1 persen, melampaui perkiraan median sebesar 0,6 persen. PDB mengalami kontraksi sebesar 0,4 persen pada periode Oktober-Desember. Mata uang baht menguat 0,1 persen terhadap dolar setelah data tersebut dirilis sehingga menuju ke reli empat hari.

    “Konsumsi swasta meningkat 6,9 persen secara tahunan pada kuartal I 2024, mengimbangi penurunan belanja pemerintah sebesar 2,1 persen,” menurut data yang dirilis oleh badan tersebut.

    Pertumbuhan PDB yang melampaui ekspektasi dapat mengurangi tekanan pada Bank of Thailand untuk menurunkan suku bunga, yang telah mencapai level tertinggi dalam satu dekade. Ini terjadi di tengah ketegangan antara pemerintah dan bank sentral, yang tampaknya mereda setelah menteri keuangan menyatakan bahwa keputusan moneter akan diserahkan kepada bank sentral, dengan menjelaskan bahwa akses terhadap pinjaman dan likuiditas lebih penting daripada tingkat inflasi dan suku bunga.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Syahrianto

    Jurnalis ekonomi yang telah berkarier sejak 2019 dan memperoleh sertifikasi Wartawan Muda dari Dewan Pers pada 2021. Sejak 2024, mulai memfokuskan diri sebagai jurnalis pasar modal.

    Saat ini, bertanggung jawab atas rubrik "Market Hari Ini" di Kabarbursa.com, menyajikan laporan terkini, analisis berbasis data, serta insight tentang pergerakan pasar saham di Indonesia.

    Dengan lebih dari satu tahun secara khusus meliput dan menganalisis isu-isu pasar modal, secara konsisten menghasilkan tulisan premium (premium content) yang menawarkan perspektif kedua (second opinion) strategis bagi investor.

    Sebagai seorang jurnalis yang berkomitmen pada akurasi, transparansi, dan kualitas informasi, saya terus mengedepankan standar tinggi dalam jurnalisme ekonomi dan pasar modal.