KABARBURSA.COM - Judi online menjadi fenomena yang meresahkan berbagai kalangan, termasuk para ekonom yang khawatir akan dampak negatifnya terhadap perekonomian. Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE), Mohammad Faisal, menyoroti sejumlah aspek penting yang terdampak oleh maraknya judi online, yakni produktivitas, konsumsi, dan investasi.
Faisal menegaskan judi online pada dasarnya mendorong pelaku ekonomi untuk mencari pendapatan melalui kegiatan yang tidak produktif. "Judi tidak mendorong produktivitas, tidak menggerakkan sektor riil," ujarnya kepada KabarBursa, Jumat, 21 Juni 2024.
Alih-alih menghasilkan barang atau jasa yang bermanfaat, aktivitas judi hanya memutar uang dalam sistem yang tidak produktif.
Dari sisi konsumsi, judi online mengakibatkan kerugian besar bagi para konsumennya. Meski ada yang beruntung memenangkan lotre atau taruhan, sebagian besar peserta mengalami kerugian yang signifikan.
"konsumen secara agregat, sebetulnya lebih rugi. Karena persentase kalah atau tidak dapat, atau spending yang dikeluarkan yang lebih banyak sebetulnya daripada keuntungan yang diperoleh yang terkonsentrasi pada orang-orang yang menang," jelas Faisal.
Hal ini, kata Faisal, telah terbukti dari penelitian di Amerika Serikat mengenai dampak bisnis lotere. Kecenderungan untuk berjudi terutama mempengaruhi mereka yang memiliki pendidikan rendah dan keterbatasan ekonomi.
Menurut Faisal, judi online menawarkan cara mudah untuk mendapatkan uang tanpa perlu bekerja keras, namun dengan risiko yang sangat tinggi. "Masyarakat dengan pendapatan terbatas atau mahasiswa yang membutuhkan biaya sering kali terjebak dalam judi online, berharap mendapatkan return tinggi dengan cepat," katanya.
Judi online juga berdampak negatif terhadap investasi. Tingkat kriminalitas dan stres yang meningkat akibat judi dapat mempengaruhi stabilitas sosial dan keamanan. Pada akhirnya, Faisal melanjutkan, dampak judi ini akan dirasakan juga pada iklim investasi.
"Dengan tingkat kriminalitas yang tinggi dan stres yang tinggi, produktivitas akan menurun dan ini mempengaruhi tingkat produksi dan konsumsi masyarakat," kata Faisal.
Kondisi ini mengakibatkan keamanan terganggu, sehingga investor enggan menanamkan modal mereka.
Dalam perspektif makroekonomi, Faisal melihat judi online sebagai aktivitas yang mengganggu tatanan ekonomi produktif. Ia menekankan pentingnya mendorong kegiatan ekonomi yang produktif dan berkelanjutan, daripada tergoda oleh iming-iming keuntungan instan yang ditawarkan oleh judi online.
"Kita ingin mendorong produktivitas dalam ekonomi, bukan kegiatan yang merusak," katanya.
Selain dampak ekonomi, judi online juga menimbulkan berbagai masalah sosial, kesehatan, dan psikologis. Tingginya tingkat stres dan kriminalitas di wilayah yang marak dengan judi menunjukkan betapa merugikannya aktivitas ini. "Negara-negara atau daerah-daerah yang judi itu berkembang, nah ini tingkat kriminalitas dan juga tingkat stres itu juga meningkat," ungkap Faisal.
Kondisi ini membuktikan judi online tidak hanya mengganggu perekonomian, tetapi juga kehidupan sosial masyarakat secara keseluruhan.
Dengan tren digitalisasi yang semakin pesat, judi online menjadi semakin mudah diakses, terutama oleh mereka yang rentan secara ekonomi. Faisal mengingatkan bahwa banyak orang terjebak dalam lingkaran setan judi online karena kemudahan akses dan janji keuntungan besar.
"Judi online merusak masa depan, terutama bagi mereka yang berpendidikan dan berpendapatan terbatas," ujarnya.
Dari sudut pandang kepatutan, etika, dan norma sosial, Faisal menilai judi online memiliki lebih banyak dampak buruk daripada manfaat. Ia berharap adanya upaya yang lebih kuat untuk mengendalikan dan mengurangi aktivitas judi online demi menjaga stabilitas ekonomi dan sosial.
Hingga kini, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat nilai transaksi keuangan mencurigakan, terutama terkait dengan judi online, mencapai lebih dari Rp600 triliun pada kuartal I 2024. Jumlah pemainnya tak main-main, saat ini tembus 3,2 juta orang.
Koordinator Humas PPATK, Natsir Kongah, mengatakan nilai transaksi mencurigakan tersebut terus meningkat. Pada 2022 tercatat ada 11.222 transaksi, kemudian 2023 meningkat menjadi 24.850 transaksi. Sementara, dari Januari hingga Mei 2024, sudah ada 14.575 transaksi.
“Tembus di angka Rp600 triliun lebih pada kuartal pertama 2024,” kata Natsir.
Memberantas dengan Bansos?
Tingginya angka pemain judi online ini sempat menarik perhatian pemerintah untuk menanggulanginya dengan cara yang berbeda. Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy, mewacanakan memberikan Bantuan Sosial (bansos) kepada keluarga pelaku judi online. Muhadjir, yang juga menjabat Wakil Ketua Satuan Tugas Pemberantasan Perjudian Online, berdalih kebijakan ini bertujuan membantu keluarga yang ekonominya terdampak judi online.
"Kita sudah banyak memberikan advokasi mereka yang korban judi online ini, misalnya kemudian kita masukkan di dalam DTKS sebagai penerima bansos," kata Muhadjir di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Kamis, 13 Juni 2024 lalu.
Penerima bansos adalah mereka yang identitasnya tercatat dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Peneliti dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Gurnadi Ridwan, mengatakan penerima bansos dari kalangan korban judi online tidak mudah dimasukkan ke dalam DTKS.
Alasannya karena perlu ada penyesuaian yang rumit dan akan menggeser data yang sudah ada atau menambah kuota baru. Kebijakan ini dapat menyebabkan pembengkakan anggaran bansos. Dengan memasukkan keluarga korban judi online ke dalam DTKS, jumlah penerima bansos akan meningkat drastis.
"Jika terjadi penambahan kuota bansos akibat masuknya kriteria korban judi, tentu akan memicu pembengkakan anggaran dan berpotensi memakan alokasi layanan publik lainnya seperti kesehatan dan pembangunan,” kata Gunadi kepada Kabar Bursa.
Anggota Komisi VIII DPR RI Wisnu Wijaya Adiputra menolak usulan Muhadjir Effendy yang akan memberikan bantuan sosial kepada pelaku judi online. Menurut Wisnu, usulan tersebut malah akan memperparah keadaan dengan meningkatkan kecanduan dan menarik pejudi baru.
“Mereka (para pelaku judi online) tentu akan berpikir, wah enak dong main judi online. Kalau menang dapat uang, kalau kalah dapat bansos. Mestinya Pemerintah ingat bahwa para pemain judi online ini adalah pelaku tindak pidana, bukan korban, sehingga harus diberikan bansos,” kata Wisnu.
Gurnadi sepakat dengan pandangan Wisnu tersebut. Menurut dia, meski pemerintah memiliki niat baik di balik kebijakan ini, ada kekhawatiran distribusi dana bansos tak sesuai target. Memang, tidak semua korban judi online dapat dimasukkan ke dalam DTKS sebagai syarat. Namun, proses verifikasi kriteria untuk menetapkan mereka sebagai penerima bansos dianggap sulit secara teknis dan memiliki risiko salah sasaran yang tinggi.
“Bahkan uang dari bansos tersebut juga berpeluang dijadikan modal untuk berjudi kembali,” kata Gurnadi. (alp/*)