KABARBURSA.COM – Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mencatat penurunan ekspor mobil yang cukup signifikan sepanjang tahun 2023 hingga November 2024.
Ekspor mobil secara utuh atau Completely Build Up (CBU) pada tahun 2024 mencapai 428.597 unit. Sementara pada periode yang sama di tahun 2023, total mobil yang diekspor sebanyak 468.595 unit.
Sepanjang tahun lalu, tercatat merek-merek Jepang masih mendominasi dalam peringkat lima besar pasar ekspor mobil secara CBU dari Indonesia ke berbagai negara tujuan.
Toyota menempati urutan pertama dengan mengekspor 151.348 unit atau berkontribusi sebesar 35,3 persen. Merek Jepang lain seperti Daihatsu mengekspor 102.260 unit, atau berkontribusi sebesar 23,9 persen.
Sementara untuk Mitsubishi mencatatkan angka ekspor 76.708 unit, atau berkontribusi sebesar 17,9 persen, Hyundai sebagai merek asal Korea Selatan yang mampu mengekspor 57.608 unit atau berkontribusi sebesar 13,4 persen dan Suzuki dengan jumlah ekspor mencapai 17.344 unit atau berkontribusi 4 persen.
Ketua I Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO), Jongkie Sugiarto mengatakan, Gaikindo menargetkan jumlah ekspor kendaraan pada tahun 2025 dapat meningkat dibanding tahun 2024.
“Untuk ekspor kita harapkan bisa mencapai 500 ribuan unit kalau bisa, syukur-syukur tahun ini bisa naik lagi setiap tahunnya,” ujarnya saat dihubungi kabarbursa.com, Selasa, 28 Januari 2025.
Namun Jongkie mengungkapkan, Gaikindo tidak bisa mengatur perihal ekspor kendaraan roda empat, sebab ekspor mobil ditentukan oleh pihak pusat atau principal dari masing-masing merek kendaraan.
“Kewenangan ekspor itu ada di kantor pusat merek-merek mobil. Misalnya pihak pusat Toyota di Jepang, dialah yang menentukan, termasuk untuk pasar negara mana saja yang akan menjadi tujuan, apakah ke Filipina, Vietnam atau negara lainnya. Di Indonesia, hanya bisa produksi saja untuk keperluan ekspornya,” jelasnya.
Terkait dengan tujuan ekspor, Filipina masih menjadi negara pertama yang paling banyak menerima ekspor mobil produksi Indonesia. “Filipina masih nomor satu, tapi untuk angkanya saya kurang tahu detailnya,” ucapnya.
Lebih lanjut, Jongkie menilai bahwa permintaan ekspor kendaraan dari Indonesia akan sangat bergantung pada kestabilan situasi geopolitik yang mempengaruhi ekonomi global.
“Ini sangat tergantung kepada negara tujuan ekspor itu. Apakah dia perang? Kalau dia perang, dia enggak butuh mobil. Kami juga enggak tahu di negara tujuan ekspor itu ekonominya bagaimana? permintaan pasarnya bagaimana? Jadi kami hanya bisa berharap tahun ini lebih baik,” ucapnya.
Harapan tersebut juga berlaku untuk penjualan mobil baru di Tanah Air yang menurut Jongkie harus lebih baik dibanding tahun 2024.
Menghadapi PPN 12 Persen
Namun untuk 2025, Gaikindo menyebutkan sejumlah tantangan dalam penjualan, hal ini terkait dengan naiknya pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen hingga regulasi lainnya.
“Tahun 2024 kan total penjualan mobil baru 865 ribuan. Kalau bisa tahun ini bisa meningkat dari angka itulah. Kita sedang berjuang banyak karena ada PPN naik jadi 12 persen, opsen mau dinaikan. Sehingga, kita sudah bicara kepada berbagai Pemda (Pemerintah Daerah) agar opsen jangan dinaikan dulu,” terang Jongkie.
Sementara itu, pengamat otomotif Yannes Martinus Pasaribu menilai, kenaikan PPN menjadi 12 persen yang akan berlaku pada 1 Januari 2025 mendatang bakal berdampak terhadap penurunan penjualan kendaraan. Secara otomatis, agar pabrikan tidak kelebihan stok kendaraan, maka bisa dipastikan akan mengurangi kapasitas produksi.
“Belum lagi perihal PPN yang naik jadi 12 persen, yang akan semakin membuat harga kendaraan tambah mahal. Padahal, kondisi kelas menengah Indonesia saat ini semakin tertekan karena tidak pernah mendapatkan insentif dari pemerintah,” kata Yannes kepada kabarbursa.com beberapa waktu lalu.
Di sisi lain, selama ini kelas menengah memiliki peran sentral sebagai bantalan ekonomi nasional dengan kontribusi terhadap konsumsi dan penerimaan pajak pemerintah.
Selain itu, kombinasi dari kenaikan pajak, penurunan daya beli, opsen atau pajak tambahan yang berpotensi meningkatkan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) di 2025, serta tekanan terhadap ekonomi lainnya menyebabkan produsen otomotif mengurangi volume produksi.
“Penurunan volume produksi dilakukan untuk menyesuaikan dengan permintaan pasar yang melemah. Hal ini berpotensi menyebabkan inefisiensi operasional dan pengurangan tenaga kerja di sektor otomotif,” ujarnya.
Selain PPN, kata Yannes, masalah lainnya yang akan menjadi penghambat kemajuan industri otomotif adalah kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 6,5 persen bakal memperburuk kondisi industri otomotif di Indonesia.
“Adanya program UMP 6,5 persen juga akan semakin meningkatkan biaya produksi kendaraan. Biaya tersebut akan dibebankan kepada harga akhir dan harus ditanggung oleh konsumen dan pembeli,” kata Yannes. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.