KABARBURSA.COM - Emiten tekstil, PT Sri Rejeki Isman atau Sritex (SRIL) melaporkan rugi bersih mencapai USD14,79 juta atau sekitar Rp235 miliar periode Januari-Maret 2024. Kerugian ini mengalami pertumbuhan 49 persen dari periode sama tahun lalu, USD9,92 juta.
SRIL juga mencatatkan rugi per saham bertambah menjadi USD0,0007 dari periode sebelumnya USD0,0005. Kerugian meningkat bila di bandingkan dengan periode yang sama di tahun 2023 sebesar Rp149,5 miliar. Dengan demikian, rugi bersih per saham setara dengan Rp11.44 per lembar.
Selanjutnya, penjualan bersih tercatat sebesar USD78,37 juta, turun 9,82 persen dari USD86,91 juta pada tahun sebelumnya. Beban pokok penjualan mencapai USD87,21 juta, naik dari USD82,54 juta pada periode yang sama tahun sebelumnya. Rugi kotor sebesar USD8,84 juta, melonjak 302 persen dari surplus USD4,36 juta pada tahun sebelumnya.
Beban penjualan sebesar USD3,03 juta, turun dari USD5,16 juta. Beban umum dan administrasi sebesar USD5,6 juta, turun dari USD5,94 juta. Keuntungan selisih kurs mencapai USD8,19 juta, naik tajam dari kerugian USD233,06 ribu. Kerugian penghapusan aset tetap sebesar USD585,01 ribu, dari sebelumnya nihil.
Beban operasi lainnya mencapai USD4,84 juta, turun dari surplus USD40,21 ribu. Rugi dari operasi sebesar USD14,70 juta, meningkat dari USD6,93 juta pada periode yang sama tahun sebelumnya. Pendapatan keuangan sebesar USD4,03 ribu, turun dari USD13,53 ribu. Beban keuangan sebesar USD608,43 ribu, turun dari USD776,71 ribu.
Total defisiensi modal mencapai USD969,61 juta, naik dari USD954,82 juta pada akhir 2023. Defisit mencapai USD1,17 miliar, naik dari USD1,16 miliar pada akhir tahun lalu. Jumlah liabilitas mencapai USD1,6 miliar, meningkat dari USD1,6 miliar pada akhir tahun sebelumnya. Total aset mencapai USD639,24 juta, turun dari USD648,98 juta.
Industri Tekstil Indonesia
Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) mengahadapi tantangan berat sejak awal tahun 2024. Hal itu tercermin pada data Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) yang mencatat sebanyak enam pabrik tekstil yang terpaksa gulung tikar dan menyebabkan lebih dari 11 ribu pekerja mengalami PHK. Sementara Perkumpulan Pengusaha Produk Tekstil Provinsi Jawa Barat mencatat 22 pabrik yang tutup di daerah tersebut.
Pakar Hukum Bisnis dan Perdagangan Internasional Ariawan Gunadi menilai, pemerintah perlu mengambil beberapa langkah strategis untuk menyelamatkan industri tekstil. “Pemerintah perlu melakukan optimalisasi kebijakan instrumen trade remedies terhadap praktik dumping yang dilakukan oleh China sangatlah penting. Hal ini dapat dimulai dengan menerapkan kebijakan safeguard berupa Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) Kain,” ujar Ariawan dalam keterangan tertulisnya, Kamis, 27 Juni 2024.
Menurutnya, langkah ini mampu melindungi industri dalam negeri dari lonjakan impor kain dari China yang mengakibatkan kerugian signifikan. Pelaksanaan kebijakan ini dapat diwujudkan melalui penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang menjadi dasar pelaksanaannya.
Selain itu, kata Ariawan, pemerintah juga perlu mengimplementasikan kebijakan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD). Dia menilai, kebijakan tersebut dirancang untuk menyeimbangkan dampak harga rendah yang tidak adil dari barang impor yang dijual di bawah biaya produksi.
Di sisi lain, Ariawan juga menilai, pemerintah bisa menerapkan kebijakan countervailing duties. Menurutnya, kebijakan ini mampu mengimbangi subsidi yang diberikan oleh pemerintah asing kepada eksportir mereka.
“Langkah-langkah strategis ini, jika dilaksanakan secara efektif, dapat membantu melindungi industri dalam negeri dari praktik perdagangan yang merugikan dan meningkatkan daya saing ekonomi Indonesia di pasar global,” jelasnya.
Menurutnya, pemerintah perlu mengoptimalkan sistem pemeriksaan bea cukai dengan mengimplementasikan teknologi pemindai berbasis kecerdasan buatan. Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan akurasi dalam proses pemeriksaan barang yang masuk dan keluar dari negara. Dengan pemanfaatan kecerdasan buatan, potensi kecurangan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab dapat diminimalisasi dan upaya penyelundupan barang ilegal bisa dideteksi lebih awal.
Ariawan juga menuturkan, ada beberapa faktor yang menyebabkan adanya ancaman terhadap industri tekstil nasional, di antaranya adanya kelebihan pasokan yang menyebabkan gelombang ekspor melebihi permintaan, khususnya di China, ketegangan geopolitik yang semakin meruncing telah memicu terjadinya fragmentasi hubungan internasional.
Di sisi lain, dia juga menilai lemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang di kisaran 16.800 per dolar AS dan meningkatnya impor ilegal dengan model borongan/kubikasi serta adanya mafia impor yang menyebabkan penumpukan kontainer di pelabuhan.
Dampak nyata yang dirasakan industri tekstil adalah adanya ketidakstabilan dalam industri ini yang menyebabkan perusahaan terpaksa mengurangi jumlah karyawan untuk menekan biaya operasional. Karena industri tekstil berkontribusi besar terhadap ekspor nasional, maka gejolak di sektor ini dapat mengurangi volume ekspor, yang pada akhirnya mempengaruhi devisa negara.
“Ketidakstabilan dalam sektor tekstil dapat mempengaruhi rantai pasok dari berbagai industri lain yang bergantung pada produk tekstil. Akibatnya, keseluruhan ekosistem industri yang saling terkait menjadi terganggu, menciptakan efek domino berkepanjangan yang dapat merugikan berbagai sektor ekonomi yang lebih luas,” tandasnya. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.