KABARBURSA.COM - Pemerintah melalui Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah mengupayakan berbagai insentif baru untuk mendorong peningkatan produksi minyak dan gas bumi (migas) nasional, mengingat capaian lifting migas pada kuartal pertama tahun ini belum mencapai target yang ditetapkan.
Menurut data dari Kementerian ESDM, produksi minyak dari Januari hingga Maret 2024 mencapai 563.000 barel per hari (bopd), atau sekitar 88,5 persen dari target yang ada di APBN 2024 sebesar 635.000 bopd. Direktur Pembinaan Usaha Hulu Migas, Ariana Soemanto, menyampaikan bahwa sejak 2021, Kementerian ESDM telah melakukan penyempurnaan kebijakan insentif baik untuk eksplorasi maupun eksploitasi migas.
"Kementerian ESDM sedang menyempurnakan kebijakan dan insentif di sektor hulu migas untuk membuat kegiatan eksplorasi lebih menarik. Kami juga sedang memfinalisasi kebijakan baru," kata Ariana dalam keterangan resmi Senin, 10 Juni 2024.
Salah satu kebijakan yang sedang difinalisasi adalah Kebijakan Kontrak Bagi Hasil Gross Split Baru melalui Peraturan Menteri ESDM. Kebijakan ini diharapkan dapat menyederhanakan parameter kontrak dari 13 variabel menjadi lima variabel, sehingga lebih mudah diimplementasikan, dan memberikan kepastian mengenai besaran bagi hasil yang lebih menarik bagi investor.
Selain itu, ada juga perencanaan untuk memberikan split tambahan khusus untuk migas non-konvensional (MNK), sebagai stimulus untuk meningkatkan minat investasi di bidang tersebut. Kebijakan lain yang masih dalam tahap pembahasan adalah revisi terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2017 dan Nomor 53 Tahun 2017 terkait perlakuan perpajakan di sektor hulu migas.
Marjolijn Wajong, Direktur Eksekutif Indonesia Petroleum Association (IPA), menyambut baik potensi tambahan split ini. Menurutnya, tambahan ini dapat meningkatkan daya tarik investasi di Indonesia, yang pada akhirnya akan mendukung peningkatan kegiatan eksplorasi dan produksi migas.
"Nantinya, hasilnya akan berdampak positif terhadap peningkatan kegiatan eksplorasi dan produksi migas," ujarnya.
Namun demikian, Marjolijn menekankan bahwa keberhasilan kebijakan ini sangat tergantung pada besaran split yang ditawarkan dan proses yang dibutuhkan untuk memperolehnya. Ketersediaan proses yang sederhana dan transparan dalam pemberian insentif akan menjadi faktor penentu efektivitas dari kebijakan ini dalam meningkatkan produksi migas.
Menyikapi hal ini, Tumbur Parlindungan, seorang pengamat migas dan Direktur TIS Petroleum, menilai bahwa insentif-insentif baru ini memang memberikan dorongan positif bagi daya tarik investasi di Indonesia. Namun, ia menekankan bahwa lebih dari sekadar insentif, apa yang dibutuhkan oleh para investor adalah kepastian hukum yang kuat terkait kontrak yang telah atau akan mereka tandatangani.
"Insentif hanya merupakan tambahan, bagaikan pelumas. Namun, kepastian hukum dalam kontrak merupakan hal yang utama bagi investor, baik di sektor migas maupun industri lainnya," ujarnya kepada KONTAN pada Minggu (17/6).
Menurut Tumbur, perbaikan dalam hal kepastian hukum ini menjadi krusial karena mempengaruhi bagaimana insentif-insentif tambahan akan diimplementasikan dan berdampak pada aktivitas eksploitasi dan produksi di lapangan migas.
Dalam pandangan Moshe Rizal, Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas), penting bagi pemerintah untuk memastikan komitmen nyata dalam mendukung investasi di sektor migas. Ia menyoroti bahwa untuk meningkatkan produksi migas, diperlukan investasi yang signifikan terutama pada lapangan-lapangan yang sudah mapan atau yang memiliki potensi besar namun belum sepenuhnya dimanfaatkan.
"Potensi lapangan migas di Indonesia masih sangat besar, namun untuk meningkatkan produksi diperlukan teknologi baru dan investasi yang cukup besar," tegasnya kepada KONTAN pada Senin, 17 Juni 2024.
Secara keseluruhan, upaya pemerintah dalam menyempurnakan kebijakan dan memberikan insentif baru di sektor hulu migas menunjukkan komitmen untuk meningkatkan daya saing Indonesia dalam menarik investasi migas. Namun, keberhasilan dari langkah-langkah ini akan sangat bergantung pada implementasi yang efektif dan memperkuat kepastian hukum bagi para investor, sehingga dapat mendorong peningkatan produksi migas secara berkelanjutan.
Sebelumnya diberitakan, Indonesia dinilai tidak boleh berpuas diri dengan neraca perdagangan yang surplus di sektor nonmigas. Hal ini dikarenakan masih adanya ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dan China.
Kementerian Perdagangan mencatat, pada Januari – April 2024, Indonesia masih mencatatkan neraca perdagangan yang surplus di sektor nonmigas dengan nilai USD17,68 miliar.
Catatan tersebut melanjutkan raihan surplus sepanjang 2023 dengan nilai total USD 56,8 miliar. Namun demikian, catatan surplus periode Januari–April 2024 mengalami penurunan sebesar 19,85 persen dari periode yang sama pada 2023.
Begitu juga dengan raihan ekspor nonmigas Indonesia pada 2023 tercatat sebesar USD242,9 miliar. Nilai tersebut mengalami penurunan cukup signifikan 11,97 persen dibandingkan dengan 2022, yaitu USD275,9 miliar.(*)