KABARBURSA.COM - Ekonom senior Samuel Sekuritas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi menilai, melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat disebabkan oleh kombinasi faktor domestik dan internasional.
Pertama, kata Fithra, terjadi penarikan dana dari pasar obligasi. Penarikan dana sebesar Rp33,3 triliun secara year to date (ytd) yang signifikan oleh investor asing dari pasar obligasi Indonesia secara langsung berdampak pada nilai rupiah.
"Berikutnya soal arus masuk pasar saham yang tidak dapat mengimbangi. Meskipun arus masuk Rp26,3 triliun dari sumber-sumber asing ke dalam pasar saham secara ytd, hal ini belum cukup untuk mengimbangi dampak dari arus keluar dari pasar obligasi," kata Fithra kepada Kabar Bursa, Selasa, 2 April 2024.
Lebih lanjut, ia menyampaikan bahwa ketidakpastian mengenai suku bunga The Federal Reserve (The Fed) memengaruhi pasar mata uang global. Artinya, kebijakan bank sentral AS dan ketidakpastian global memberi dampak signifikan.
"Data Personal Consumption Expenditures (PCE) yang kuat dari AS memengaruhi sentimen pasar global. Data konsumen AS yang kuat dapat menyebabkan dolar menguat sehingga memengaruhi mata uang lainnya. Sikap yang lebih tinggi untuk jangka waktu yang lebih lama menjadi momok," ujar Fithra.
Rupiah yang kian melemah di hadapan dolar AS tak lepas dari pengaruh kebijakan fiskal Indonesia dan risiko jangka menengah. Apalagi, investor ada telah memberi sinyal kekhawatiran terhadap kebijakan-kebijakan di bawah presiden terpilih Prabowo Subianto.
"Hal tersebut berdampak negatif terhadap kepercayaan terhadap rupiah. Ini juga terkait dengan ketidakpastian politik yang masih berlangsung hingga saat ini, seperti yang terjadi di Mahkamah Konstitusi," paparnya.
Adapun, Fithra menyatakan bahwa transaksi berjalan Indonesia berubah menjadi defisit pada 2023. Penyebabnya, permintaan global yang mempengaruhi ekspor barang dagangan melemah.
Hal tersebut pada gilirannya memperkuat ekspektasi akan adanya jeda yang lebih lama dalam penyesuaian suku bunga acuan Bank Indonesia (BI).
"Defisit transaksi berjalan tahun 2023 sejalan dengan proyeksi awal kami sebesar 0,1 persen terhadap PDB. Hal ini menyebabkan pelemahan rupiah," pungkas Fithra. (ari/prm)