KABARBURSA.COM – PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) masih berada dalam zona turbulensi. Raport keuangannya di kuartal III-2025 memerah. Padahal sebelumnya, GIAA sempat mencatatkan perbaikan pascakreditur restrukturisasi.
Maskapai pelat merah ini tertekan kombinasi penurunan pendapatan, pelemahan efisiensi, dan struktur biaya yang belum pulih sepenuhnya.
Dalam laporan keuangannya, Garuda mencatat rugi bersih sebesar USD182,53 juta atau sekitar Rp3,03 triliun hingga September 2025. Kerugian ini melonjak 39,1 persen year-on-year (yoy) dibanding rugi USD131,22 juta (Rp2,18 triliun) pada periode yang sama tahun lalu.
Padahal, pada periode pascarestrukturisasi 2023–2024, Garuda sempat menunjukkan sinyal stabilisasi keuangan.
Sumber tekanan utama berasal dari penurunan pendapatan usaha sebesar 6,7 persen menjadi USD2,39 miliar (Rp39,78 triliun).
Sementara, pendapatan dari penerbangan berjadwal, yang menjadi segmen utama Garuda, anjlok 8,52 persen menjadi USD1,84 miliar. Kondisi ini menunjukkan pelemahan volume penumpang dan penurunan tarif rata-rata.
Tidak hanya itu, pendapatan penerbangan tidak berjadwal juga turun 2,8 persen, dan pendapatan lainnya melemah 3,18 persen. Dengan kondisi ini, Garuda kembali menghadapi tantangan klasik, yaitu top line turun dan bottom line makin dalam.
Efisiensi Tak Cukup Menahan Penurunan Laba
Jika melihat dari catatan kinerja keuangan tersebut, manajemen memang berhasil menekan beban usaha sebesar 6,7 persen menjadi USD2,28 miliar (Rp37,95 triliun). Namun, efisiensi itu tidak cukup menahan laju kerugian.
Alasannya, penurunan pendapatan lebih tajam daripada penghematan biaya, sehingga margin laba operasi ikut menyempit.
Dari sisi operasional, laba usaha kuartal III hanya Rp982 miliar. Angka tersebut menurun drastis dibanding rerata kuartal sebelumnya (yaitu Rp1,279 triliun). Lebih buruk lagi, beban lain-lain non-operasional yang mencapai Rp1,7 triliun ikut menekan posisi laba bersih.
Artinya, Garuda masih terlalu berat di sisi biaya non-operasional, terutama biaya bunga, selisih kurs, dan kewajiban restrukturisasi. Dengan demikian, setiap kenaikan harga avtur atau penurunan load factor langsung berdampak ke rugi bersih.
Dari sisi neraca, Garuda mencatat total aset USD6,75 miliar, naik dari USD6,4 miliar sebelumnya. Namun, kenaikan aset tidak diikuti peningkatan pendapatan atau efisiensi. Sebaliknya, liabilitas masih tinggi di USD8,28 miliar, sehingga menciptakan posisi ekuitas yang rapuh di USD1,53 miliar.
Debt-to-equity ratio Garuda berada di atas 5 kali lipat. Hal ini menandakan tekanan struktural yang signifikan pada leverage perusahaan. Dengan aset besar tapi tidak menghasilkan laba yang memadai, Garuda kini masuk kategori asset-heavy but profit-light. Sebuah struktur klasik maskapai dengan utilisasi armada yang belum optimal.
Profitabilitas Rendah, Efisiensi Belum Pulih
Beralih ke sisi profitabilitas dan efisiensi. Rasio keuangan Garuda memperlihatkan ROA negatif -0,56 persen dan ROE positif tipis 2,5 persen, yang menandakan bahwa keuntungan operasional sangat rapuh.
Meskipun arus kas dari operasi masih positif, namun tidak cukup besar untuk menopang beban bunga dan depresiasi aset. Dengan margin operasi di bawah 3 persen, Garuda mudah sekali kembali ke zona rugi begitu harga bahan bakar naik atau kurs rupiah melemah.
Dengan begitu, kinerja Q3 juga menunjukkan gejala stagnasi. Pendapatan per kuartal Rp13,78 triliun nyaris tidak tumbuh dari Q2 (Rp13,61 triliun), sementara beban usaha masih di atas Rp12,8 triliun.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa Garuda sudah kehabisan ruang efisiensi, karena pemangkasan biaya sudah dilakukan sejak pandemi, namun pendapatan belum pulih sepenuhnya.
Sementara itu, secara structural Garuda masih bergantung pada restrukturisasi utang dan kebijakan dukungan pemerintah. Kewajiban jatuh tempo, beban sewa pesawat, dan liabilitas jangka panjang yang besar berpotensi menekan likuiditas jika tidak ada tambahan restrukturisasi.
Rencana ekspansi rute internasional dan penambahan armada yang sempat disebut manajemen justru berpotensi menambah beban modal kerja. Tanpa peningkatan yield per penumpang atau diversifikasi pendapatan (seperti kargo atau charter flight), ekspansi ini bisa menjadi bumerang baru.
Jadi, secara ringkas, Garuda Indonesia masih dalam fase pemulihan semu. Pendapatan turun, rugi melebar, aset tidak produktif, dan rasio keuangan belum menunjukkan tanda keberlanjutan jangka panjang.
Efisiensi biaya memang tercapai di atas kertas, tapi tidak diimbangi peningkatan utilisasi armada dan pendapatan rute. Dengan posisi kas yang terbatas dan utang besar, Garuda saat ini lebih bertahan lewat financial engineering ketimbang lewat kinerja operasional murni.
Jika tidak ada langkah struktural untuk memperbaiki model bisnis, seperti pengurangan rute merugi, restrukturisasi lanjutan, atau kemitraan strategis, Garuda berisiko kembali ke spiral rugi yang sama seperti sebelum pandemi.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.