KABARBURSA.COM - Gubernur Bank of England (BOE), Andrew Bailey, memberi sinyal bahwa perbaikan data inflasi dapat mendorong bank sentral untuk mengambil langkah lebih agresif dalam memangkas suku bunga. Pernyataan tersebut memicu penurunan tajam sterling sebesar 1,17 persen ke posisi $1,3109 pada pukul 10:05 pagi waktu London, menyentuh level intraday terendah sejak 12 September lalu.
Mengutip laporan dari CNBC International, Jumat 4 Oktober 2024, Bailey menyatakan dalam wawancara dengan surat kabar The Guardian bahwa BOE mungkin akan bersikap “sedikit lebih aktif” terkait penyesuaian suku bunga jika tren inflasi terus menunjukkan perbaikan signifikan. Ia pun menyebutkan adanya rasa optimisme karena tekanan biaya hidup tidak seberat perkiraan sebelumnya.
Namun, pernyataan Bailey turut berdampak negatif pada pergerakan pound sterling yang melemah 1,15 persen terhadap euro, turun ke level terendah sejak 20 September pada perdagangan Kamis malam waktu setempat. Penurunan ini terjadi meskipun beberapa analis meningkatkan ekspektasi mereka terhadap laju pemangkasan suku bunga Bank Sentral Eropa (ECB) tahun ini, setelah rilis data inflasi Jerman dan zona euro yang sama-sama di bawah 2 persen pekan ini.
Bank of America Global Research dan Moody’s Analytics termasuk di antara analis yang kini memperkirakan pemangkasan suku bunga sebesar 25 basis poin oleh ECB pada pertemuan Oktober mendatang, disertai dengan penurunan tambahan pada rapat terakhir tahun ini di Desember. Bank of America bahkan memproyeksikan suku bunga simpanan ECB akan mencapai 2 persen pada Juni 2025, lebih cepat seperempat tahun dari prediksi sebelumnya.
"Sterling kian tertekan setelah nada dovish yang mengejutkan dari Andrew Bailey dalam wawancara semalam," ungkap Francesco Pesole, ahli strategi valuta asing di ING. Ia menambahkan bahwa koreksi pound mungkin masih berlanjut hingga menembus angka 1,3 dalam waktu dekat, seiring penyesuaian ulang harga yang dipicu oleh tingginya suku bunga swap dolar AS.
Pesole menilai pergerakan tersebut sebagai respons pasar yang telah lama tertunda terhadap kebijakan moneter yang semakin mengarah pada pelonggaran. “Ini adalah momen yang telah lama dinanti oleh para pelaku pasar untuk melakukan rekalibrasi ekspektasi mereka,” pungkasnya.
Terseret Ancaman Resesi
Inggris tengah berada di persimpangan jalan yang penuh tantangan di satu sisi menghadapi ancaman resesi, di sisi lain dilingkupi ketidakpastian ekonomi yang menjulang di tahun mendatang.
Gelombang mogok kerja yang dilancarkan petugas transportasi dan kesehatan menjadi simbol ketidakpuasan sosial terhadap kondisi ekonomi negara ini.
Dengan pertumbuhan ekonomi yang stagnan nyaris di angka nol dan inflasi yang membumbung lebih dari 10 persen, proyeksi tahun ini tidak membawa secercah harapan.
Berbagai organisasi, seperti Lembaga Pertanggungjawaban Anggaran Inggris dan Dana Moneter Internasional (IMF), memprediksi ekonomi Inggris akan terkontraksi di tahun 2023.
Jika ramalan ini terbukti benar, Inggris berpotensi menjadi satu-satunya ekonomi besar yang terseret dalam resesi.
Tak seperti Rusia yang mampu menghindari jurang resesi meskipun diterpa badai sanksi ekonomi akibat perang Ukraina, ekonomi Inggris justru terus tergerus oleh empat faktor besar yang menghantam finansial masyarakatnya.
Rakyat Inggris kini harus berjibaku mendapatkan kebutuhan pokoknya. Penjatahan telur telah menjadi hal biasa, dan banyak keluarga kesulitan menemukan tomat, selada, serta sayuran segar lainnya.
Negara dengan ekonomi terbesar keenam di dunia ini seolah tak mampu menyediakan salad bagi warganya, tulis Financial Times. Konsumen pun terpaksa berpindah dari satu supermarket ke supermarket lain demi mengisi keranjang belanja mereka.
Kekurangan selada, tomat, paprika, mentimun, brokoli, kembang kol, hingga raspberry membuat berbagai supermarket di Inggris terpaksa menjatah penjualan produk-produk tersebut. Sebuah kombinasi kompleks faktor-faktor eksternal menjadi penyebab kekacauan ini.
Harga pupuk yang melambung, produksi yang menurun di Spanyol dan Maroko, ditambah kendala transportasi serta minimnya pekerja musiman, membuat rantai pasokan tercekik.
Sistem visa pekerja sementara yang memungkinkan pekerja tinggal di Inggris hanya enam bulan turut memperburuk keadaan. Sebelum Brexit, para pekerja bisa datang dan pergi dengan bebas dari negara-negara Uni Eropa, namun kini pekerja musiman harus didatangkan dari tempat sejauh Nepal.
Memiliki rumah di Inggris telah menjadi mimpi yang hampir mustahil bagi banyak orang. Schroders menyatakan perumahan kini lebih tidak terjangkau dibandingkan 147 tahun terakhir.
Lonjakan Suku Bunga
Ketika bank-bank sentral di seluruh dunia menaikkan suku bunga untuk mengendalikan inflasi, Bank Sentral Inggris justru lebih agresif, menaikkan suku bunga hingga 10 kali berturut-turut, mencapai puncaknya pada Februari lalu dengan kenaikan sebesar 0,5 persen hingga 4 persen.
Lonjakan suku bunga ini tidak hanya menggelembungkan harga rumah, tetapi juga membuat biaya sewa melambung tinggi. Ketika masyarakat tak lagi mampu membeli rumah, pilihan satu-satunya adalah menyewa, yang semakin memperparah kenaikan harga sewa.
Meski sejauh ini Inggris berhasil menghindari resesi teknis, prospek pertumbuhannya tetap suram dibandingkan negara-negara besar lainnya. IMF memperkirakan ekonomi Inggris akan menyusut sebesar 0,6 persen pada 2023, menjadikannya satu-satunya negara besar yang mengalami kontraksi ekonomi.
Rusia, yang dirundung sanksi internasional, justru memiliki proyeksi ekonomi yang lebih baik. Mayoritas analis sepakat bahwa Inggris hampir pasti akan jatuh ke dalam resesi, meski mereka berbeda pendapat soal seberapa dalam dan lama durasinya.
Inflasi yang terus bertengger di atas 10 persen menjadikan Inggris salah satu negara dengan inflasi tertinggi di dunia. Di sektor bahan pokok, inflasi mencapai angka menakjubkan 17,1 persen hingga pertengahan Februari, angka tertinggi dalam sejarah.
Menurut analis Kantar, rumah tangga Inggris kini menghabiskan rata-rata USD1.000 lebih banyak per tahun untuk belanja di supermarket, jika mereka tidak menyesuaikan pola belanja.
Namun, Luke Bartholomew dari Abrdn meyakini bahwa melihat kenaikan harga pangan secara terisolasi memberi gambaran yang keliru. Ia memprediksi inflasi akan merosot cepat, meski resesi mungkin diperlukan sebelum inflasi kembali stabil.
Seiring harga yang terus merangkak naik, tuntutan kenaikan upah menjadi tak terhindarkan. Perusahaan akan merespons dengan menaikkan harga lagi, menciptakan spiral inflasi yang tak kunjung berakhir.
Menurut Silvia Dall’Angelo dari Federated Hermes, Bank of England masih jauh dari menyelesaikan perjuangannya melawan inflasi, dan risiko penyebaran inflasi masih sangat nyata. (*)