KABARBURSA.COM — Badan Pangan Nasional (Bapanas) mengatakan akan memperkuat kolaborasi lintas sektor dan antarnegara guna menciptakan sistem pangan nasional yang tangguh dan berkelanjutan di tengah tekanan global yang semakin kompleks.
“Ketahanan pangan saat ini dihadapkan pada tantangan global, mulai dari perubahan iklim ekstrem seperti banjir dan kekeringan, hingga situasi geopolitik dunia yang berdampak pada pasokan dan harga komoditas pangan strategis,” ujar Direktur Kewaspadaan Pangan Bapanas, Nita Yulianis, dalam acara Policy Talk Series: Indonesia and Food Security Priorities, dikutip Senin, 14 April 2025.
Adapun, Bapanas memiliki mandat utama untuk menjamin ketersediaan pangan secara merata, terjangkau, dan berkualitas, sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2021. Bapanas bertanggung jawab menjaga stabilitas sembilan komoditas pangan strategis, yakni beras, jagung, kedelai, gula konsumsi, bawang, telur unggas, daging ruminansia, daging unggas, dan cabai.
Untuk penurunan jumlah daerah rentan rawan pangan, Nita juga mengungkapkan bahwa Bapanas berhasil menurunkan sebesar 62 Kabupaten/kota. “Pada tahun 2024, jumlahnya menurun menjadi 62 kabupaten/kota, dari sebelumnya 68 kabupaten/kota,” jelasnya.
Lebih lanjut, Bapanas ikut mendukung target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029 melalui kebijakan penurunan stunting, penguatan logistik pangan, pengendalian inflasi pangan, serta mendorong kemandirian dan tata kelola pangan yang berkelanjutan.
Salah satu fokus utama dalam RPJMN tersebut adalah pengelolaan Susut dan Sisa Pangan (SSP). “Bapanas ditunjuk sebagai instansi pengampu untuk mengurangi sisa pangan dari pelaku usaha dan konsumen melalui program penyelamatan pangan layak konsumsi. Ini menjadi bagian dari Program Ekosistem Ekonomi Sirkular,” terang Nita.
Kepala Pusat Strategi Kebijakan Kawasan Amerika-Eropa Kementerian Luar Negeri, Spica A. Tutuhatunewa, juga ikut menekankan bahwa ketahanan pangan kini menjadi elemen penting dalam strategi kebijakan luar negeri Indonesia, khususnya di kawasan Amerika dan Eropa. “Kolaborasi internasional, termasuk dengan negara-negara Nordik, sangat potensial dalam isu Food Loss and Waste,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Sekretariat Koalisi Sistem Pangan Lestari (KSPL), Gina Karina, menyoroti tantangan domestik dalam sistem pangan, seperti distribusi yang belum merata dan rendahnya akses masyarakat terhadap pangan sehat dan bergizi.
“Pola konsumsi yang masih didominasi karbohidrat juga menjadi tantangan besar,” katanya. Gina menambahkan, KSPL telah bekerja sama dengan Bapanas dalam penyusunan Buku Metode Baku Perhitungan Susut dan Sisa Pangan, sebagai langkah konkret dalam pengelolaan SSP.
Menutup pernyataan, Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi menegaskan pentingnya kolaborasi lintas pemangku kepentingan. “Masuknya isu SSP dalam RPJMN 2025–2029 mencerminkan keseriusan pemerintah dalam membangun ketahanan pangan nasional. Kolaborasi yang solid adalah kunci,” tegasnya.
Jaga Petani, Perkuat Dalam Negeri
Sebelumnya diberitakan Kabarbursa.com, Arief mengatakan bahwa pemerintah memastikan bahwa perlindungan terhadap petani dan peternak nasional tetap menjadi prioritas, meskipun persaingan tarif ekspor global, khususnya dari Amerika Serikat, semakin ketat.
Ia menegaskan bahwa langkah ekspansi pasar domestik kini menjadi strategi utama untuk memperkuat sektor pangan dalam negeri.
"Ada sisi positifnya juga, bahwa kita bisa memperluas pasar dalam negeri. Salah satunya misalnya dengan adanya program Makan Bergizi Gratis (MBG). Selain itu, kegiatan-kegiatan domestik lainnya juga bisa dioptimalkan untuk membuka pasar baru," kata Arief di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Pangan, Kamis, 10 April 2025.
Terkait arahan Presiden Prabowo Subianto mengenai perluasan kuota impor, Arief menekankan bahwa kebijakan tersebut bertujuan membuka kesempatan yang lebih luas bagi pelaku usaha, bukan sekadar memperbesar volume impor secara umum.
"Itu Bapak Presiden maksudkan supaya dipermudah, dibuka seluas-luasnya, jangan hanya 1-2 perusahaan saja. Angkanya sudah ada di Neraca Komoditas, itu yang dibuka. Komoditas yang diimpor pun hanya yang memang kurang atau insufficient," jelasnya.
Arief mengungkapkan, berdasarkan Proyeksi Neraca Pangan 2025, terdapat sejumlah komoditas pangan strategis yang produksinya belum mencukupi kebutuhan nasional. Salah satunya adalah daging ruminansia seperti sapi dan kerbau, dengan total ketersediaan 617,3 ribu ton, sementara kebutuhan mencapai 766,9 ribu ton per tahun.
Kebutuhan terhadap impor juga terlihat pada komoditas kedelai dan bawang putih. Ketersediaan kedelai domestik hanya sekitar 392 ribu ton, jauh di bawah kebutuhan tahunan sebesar 2,6 juta ton. Adapun ketersediaan bawang putih mencapai 110 ribu ton, sedangkan kebutuhan nasional sekitar 622 ribu ton.
Meski begitu, Arief menegaskan bahwa produksi dalam negeri tetap menjadi prioritas utama dalam kebijakan pangan nasional.
"Produksi dalam negeri itu selalu menjadi yang utama. Nomor satu itu. Kalau memang belum cukup, baru kita pikirkan pengadaan dari luar negeri sebagai alternatif terakhir," kata Arief.
Ia juga menyampaikan bahwa setiap kebijakan perdagangan pangan internasional yang diambil, termasuk soal impor, akan tetap mempertimbangkan keseimbangan perdagangan (trade balance) dan penguatan produksi nasional.
"Proyeksi yang disusun pemerintah memuat angka-angka yang kredibel, dan tujuannya adalah melindungi produsen pangan kita sendiri. Pengadaan dari luar negeri pun akan dikendalikan agar tidak mengganggu stabilitas pasar dalam negeri," pungkas Arief. (*)