KABARBURSA.COM - Harga kontrak Crude Palm Oil (CPO) di Bursa Malaysia Derivatives (BMD) melonjak pada Selasa, 16 Juli 2024, dipicu oleh kenaikan harga minyak kedelai.
Berdasarkan data BMD pada penutupan Selasa, 16 Juli 2024, kontrak berjangka CPO untuk Agustus 2024 naik MYR45 menjadi MYR3.966 per ton. Kontrak berjangka CPO untuk September 2024 naik MYR49 menjadi MYR3.944 per ton.
Kontrak berjangka CPO untuk Oktober 2024 meningkat MYR51 menjadi MYR3.925 per ton, sementara kontrak berjangka CPO untuk November 2024 bertambah MYR52 menjadi MYR3.892 per ton.
Kontrak berjangka CPO untuk Desember 2024 menguat MYR53 menjadi MYR3.924 per ton, dan kontrak berjangka CPO untuk Januari 2025 naik MYR49 menjadi MYR3.935 per ton.
Dikutip dari Bernama, trader minyak sawit David Ng mengatakan harga CPO ditutup lebih tinggi karena kinerja minyak kedelai yang lebih kuat di Chicago Board of Trade (CBoT). Ditambah lagi, kinerja ekspor yang lebih kuat dari yang diharapkan, yang mencerminkan peningkatan permintaan secara keseluruhan dan kondisi perdagangan menguntungkan untuk produk minyak kelapa sawit.
"Kami melihat support pada 3.850 Ringgit Malaysia dan resistance pada 4.000 Ringgit Malaysia," katanya.
Perdagangan Sebelumnya
Harga CPO turun pada perdagangan Senin, 15 Juli 2024. Harga CPO di Bursa Malaysia untuk kontrak pengiriman September dihargai MYR3.896 per ton. Turun 0,49 persen dibandingkan penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
CPO melanjutkan tren negatif, di mana pekan lalu harga jatuh 3,1 persen. Pada awal perdagangan Senin, 15 Juli 2024, harga CPO dibuka di MYR 3.878 per ton. Namun selepas tengah hari, harga komoditas ini mulai membaik meski belum bisa lepas dari zona merah.
Penurunan harga minyak nabati pesaing ikut membebani harga CPO. Kemarin, harga minyak kedelai di bursa Dalian (China) turun 0,78 persen dan di Chicago Board of Trade (Amerika Serikat/AS) anjlok 2,04 persen.
Sementara harga minyak biji bunga matahari turun 0,48 persen. Kemudian harga minyak rapeseed jatuh 1,74 persen.
Saat harga minyak nabati pesaing turun, maka keuntungan menggunakan CPO akan berkurang.
Secara teknikal dengan perspektif harian (daily time frame), CPO masih terperangkap di zona bearish. Terbukti dari Relative Strength Index (RSI) yang sebesar 46,08. RSI di bawah 50 menunjukkan suatu aset sedang dalam posisi bearish.
Namun yang menarik, indikator Stochastic RSI sudah menyentuh 12,47. Sudah di bawah 20, yang berarti tergolong jenuh jual (oversold).
Oleh karena itu harga CPO berpeluang bangkit. Target resisten terdekat ada di MYR 3.903/ton. Jika tertembus, maka USD3.910 bisa menjadi target berikutnya.
Sedangkan target support terdekat adalah MYR 3.891 persen ton. Penembusan di titik ini bisa membawa harga CPO turun menuju MYR 3.872 persen ton.
Fenomena La Nina
Akan tetapi, fenomena cuaca La Nina yang makin dekat mengancam pasokan minyak kelapa sawit sehingga berisiko meningkatkan harga CPO dalam jangka pendek. Ahli Meteorologi Maxar Donald Keeney mengatakan bahwa La Nina diperkirakan terjadi mulai September 2024 atau Oktober 2024.
Fenomena alam ini akan membuat curah hujan di negara-negara asia tenggara, selaku penghasil utama minyak sawit, berada di atas normal. Meski belum diketahui seberapa intens curah hujan tersebut, waktu terjadinya La Nina berisiko mengganggu pekerjaan di lapangan saat panen kelapa sawit mencapai puncaknya.
Julian McGill, Direktur Manajemen dari konsultan Gleanuk Economics, menyatakan hujan lebat yang ditimbulkan La Nina juga berisiko membuat pasokan minyak sawit terancam dan secara simultan mengerek harga dalam jangka pendek. “Ini bisa mengakibatkan kekurangan minyak sawit, sehingga dapat mendorong harga naik dalam jangka pendek,” ujarnya.
Perkebunan sawit telah dihantam oleh cuaca tidak menentu, ekspansi terbatas, dan pohon-pohon yang mulai menua. Kondisi ini membuat harga naik lebih dari 5 persen sepanjang tahun ini, dan membuat pasar semakin rentan terhadap kemunduran lebih lanjut.
Harga acuan sawit kontrak berjangka di Malaysia diproyeksikan menutup tahu ini pada level MYR4.000 ringgit atau USD856 per ton. Proyeksi tersebut merupakan rata-rata dari survei yang dilakukan kepada pedagang, analis, dan eksekutif perkebunan.
“Faktor yang harus diperhatikan adalah cuaca dan permintaan,” tutur Direktur Godrej International Ltd., Dorab Mistry.
Mistry mengatakan bahwa berdasarkan survei, harga sawit akan menyentuh level 4.200 ringgit per ton pada semester II 2024. Namun, jika dampak La Nina tidak cukup serius, harga diperkirakan turun di level MYR3.750 per ton pada Agustus dan September.
Di sisi lain, beberapa faktor diperkirakan mempengaruhi pasar. Semisal, cuaca kering di wilayah Laut Hitam yang berisiko merusak tanaman bunga Matahari dan langkah pemerintah Indonesia untuk menambahkan lebih banyak bahan bakar nabati ke dalam diesel juga berisiko mengurangi surplus ekspor minyak kelapa sawit. (*)