Logo
>

Harga Emas Melemah, Pasar Menanti Keputusan Trump soal Konflik Iran-Israel

Harga emas spot turun ke level terendah sejak 12 Juni akibat ketidakpastian geopolitik, sementara investor global menanti kepastian sikap AS terhadap konflik Iran-Israel.

Ditulis oleh Moh. Alpin Pulungan
Harga Emas Melemah, Pasar Menanti Keputusan Trump soal Konflik Iran-Israel
Ilustrasi: Harga emas turun di tengah tensi konflik Iran-Israel. Pasar menanti keputusan Trump terkait kemungkinan intervensi militer AS. Foto: KabarBursa/Abbas Sandji.

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM – Harga emas global cenderung stabil pada Sabtu, 21 Juni 2024, dini hari WIB, namun masih berada di jalur pelemahan mingguan. Hal ini terjadi setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump menunda keputusan soal kemungkinan keterlibatan langsung militer AS dalam konflik udara antara Israel dan Iran.

    Dilansir dari Reuters di Jakarta, Sabtu, harga emas spot bertahan di level USD3.368,68 per ons, posisi terendah sejak 12 Juni. Sepanjang pekan ini, logam mulia tersebut tercatat melemah sekitar 1,8 persen. Sementara itu, kontrak berjangka emas AS ditutup turun 0,7 persen ke level USD3.385,70 per ons.

    "Emas bergerak stabil setelah Trump mundur dari pernyataan serangan 'segera' ke Iran. Untuk saat ini, tampaknya semua kabar buruk sudah keluar," ujar analis dan pedagang logam independen, Tai Wong. Meski demikian, ia memperkirakan ada potensi koreksi lebih lanjut ke level USD3.250, namun koreksi tersebut kemungkinan akan cepat dibeli pasar dalam tren reli emas saat ini.

    Gedung Putih menyatakan keputusan final Trump akan diambil dalam dua pekan ke depan. Keputusan ini berpotensi mengubah dinamika konflik regional dan memberi tekanan tambahan pada Iran untuk membuka jalur diplomasi. Di sisi lain, Iran terus melancarkan serangan. Pada Jumat pagi, Teheran menembakkan rudal ke wilayah selatan Israel, termasuk ke dekat kompleks hunian, perkantoran, dan kawasan industri di Beersheba.

    Sebagaimana tradisi pasar, emas kerap menjadi pilihan lindung nilai (safe haven) saat ketidakpastian geopolitik dan ekonomi meningkat.

    Di tengah perkembangan ini, bank sentral AS (The Fed) pada Rabu lalu memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuannya. Meski masih memproyeksikan pemangkasan suku bunga sebesar setengah poin persentase tahun ini, The Fed juga merevisi arah kebijakan tahun-tahun mendatang—hanya merencanakan satu kali pemangkasan seperempat poin pada 2026 dan 2027. Kondisi suku bunga tinggi biasanya tidak bersahabat bagi harga emas, mengingat emas merupakan aset tanpa imbal hasil (non-yielding asset).

    Namun demikian, analis Julius Baer, Carsten Menke, menyatakan permintaan dari investor pencari perlindungan dan bank sentral dunia tetap tinggi. “Permintaan ini akan menopang harga emas pada level saat ini,” ujarnya.

    Sementara itu, pergerakan logam mulia lainnya juga menunjukkan tren beragam. Harga perak spot turun 1 persen ke USD36,02 per ons dan melemah 0,7 persen sepanjang pekan. Palladium sedikit turun 0,1 persen ke USD1.049, namun masih mencatatkan kenaikan mingguan sebesar 2,1 persen. Di sisi lain, platinum anjlok 3,1 persen ke USD1.266,72, meskipun masih berada di jalur penguatan mingguan selama tiga pekan berturut-turut.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Moh. Alpin Pulungan

    Asisten Redaktur KabarBursa.com. Jurnalis yang telah berkecimpung di dunia media sejak 2020. Pengalamannya mencakup peliputan isu-isu politik di DPR RI, dinamika hukum dan kriminal di Polda Metro Jaya, hingga kebijakan ekonomi di berbagai instansi pemerintah. Pernah bekerja di sejumlah media nasional dan turut terlibat dalam liputan khusus Ada TNI di Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto di Desk Ekonomi Majalah Tempo.

    Lulusan Sarjana Hukum Universitas Pamulang. Memiliki minat mendalam pada isu Energi Baru Terbarukan dan aktif dalam diskusi komunitas saham Mikirduit. Selain itu, ia juga merupakan alumni Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau (2022).