Logo
>

Harga Minyak Dunia Bergerak Berlawanan, Trump Lagi-lagi Menekan Iran

Ditulis oleh Moh. Alpin Pulungan
Harga Minyak Dunia Bergerak Berlawanan, Trump Lagi-lagi Menekan Iran

Poin Penting :

    KABARBURDA.COM - Harga minyak dunia mengalami pergerakan yang berlawanan saat penutupan perdagangan Selasa waktu Amerika atau Rabu dini hari WIB. Hal ini terjadi di tengah drama tarif baru antara AS dan China serta langkah terbaru Presiden Donald Trump yang kembali menggencarkan kampanye tekanan maksimum terhadap Iran.

    Trump menandatangani memorandum presiden sebelum bertemu dengan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, memerintahkan Menteri Keuangan AS untuk menerapkan tekanan ekonomi maksimal terhadap Iran, termasuk sanksi dan mekanisme penegakan hukum. Menurut seorang pejabat AS, langkah ini bertujuan membawa ekspor minyak Iran ke titik nol.

    Dilansir dari Reuters di Jakarta, Rabu, Minyak West Texas Intermediate (WTI) AS ditutup turun 46 sen (0,63 persen) ke USD72,70 per barel (sekitar Rp1,16 juta). Sementara itu, Minyak Brent, patokan global, justru naik 24 sen (0,32 persen) ke USD76,20 per barel (sekitar Rp1,22 juta).

    Di awal sesi perdagangan, harga minyak sempat mendapat tekanan setelah tarif 10 persen AS terhadap impor China mulai berlaku pada Selasa hingga memicu aksi balasan dari Beijing. Di titik terendah sesi, WTI sempat turun lebih dari 3 persen, menyentuh level terendah sejak akhir Desember.

    Iran Kembali Jadi Target

    Trump pernah membawa ekspor minyak Iran nyaris ke nol selama periode pertamanya lewat sanksi yang agresif. Namun, di bawah pemerintahan Joe Biden, ekspor Iran kembali meningkat karena Teheran berhasil menghindari beberapa sanksi.

    Iran yang merupakan produsen minyak terbesar ketiga di OPEC, memproduksi sekitar 3,3 juta barel per hari, atau sekitar 3 persen dari pasokan minyak global. Menurut analis dari Price Futures Group, Phil Flynn, gejolak harga minyak pada perdagangan Selasa mencerminkan dua faktor utama:

    1. Tekanan awal akibat pembalasan tarif China terhadap AS yang membuat harga minyak anjlok.
    2. Kebijakan Trump terhadap Iran, yang kembali memperketat sanksi, membuat harga minyak naik lagi.

    Drama tarif AS-China dan sanksi Iran yang diperketat bisa membuat volatilitas harga minyak makin tinggi dalam beberapa waktu ke depan.

    Drama Tarif AS-China

    Para pelaku pasar sempat menunggu kepastian apakah bakal ada pembicaraan antara Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping untuk meredakan ketegangan tarif. Tapi, Selasa kemarin, Trump dengan santai bilang kalau dia tidak terburu-buru untuk bicara dengan Xi.

    Ketika ditanya soal langkah China yang membalas tarif AS dengan bea masuk baru, Trump cuma jawab, “Ya sudah, tak masalah.”

    Sebelumnya, penasihat perdagangan Gedung Putih, Peter Navarro, sempat bilang kalau kedua pemimpin negara itu bakal berbicara. Isu ini bikin investor berharap kalau China bisa dapat kelonggaran sementara, seperti yang didapatkan Meksiko dan Kanada sehari sebelumnya.

    Menurut John Kilduff, analis di Again Capital, pergerakan harga minyak mencerminkan naik-turun ekspektasi pasar terhadap drama tarif ini. “Minyak sempat turun karena pembalasan China, lalu naik lagi karena ada harapan soal telepon Trump-Xi. Tapi kita sudah tahu gimana biasanya ini berakhir, kan? Semua bisa berubah tiba-tiba,” ujarnya.

    Pada Senin, Trump sempat menunda ancaman tarif terhadap Meksiko dan Kanada selama 30 hari, setelah mereka sepakat memberikan konsesi perihal pengamanan perbatasan dan kejahatan lintas negara. Tapi untuk China, cerita bisa beda.

    Perang dagang yang masih berlangsung ini bisa mengurangi permintaan minyak dan menambah tekanan buat harga yang sudah naik-turun. Analis senior dari OANDA, Kelvin Wong, memperingatkan China bisa melakukan lebih dari sekadar menerapkan tarif 10 persen pada minyak mentah AS.

    “Mereka bisa sengaja melemahkan yuan kalau AS membalas dengan tarif tambahan pada ekspor China ke AS,” kata Wong. Ini bisa bikin dolar AS makin kuat, yang ujung-ujungnya melemahkan harga minyak. Ditambah lagi, OPEC+ masih berencana meningkatkan pasokan minyak mulai April yang bisa menambah tekanan ke harga.

    Data bea cukai China menunjukkan sepanjang 2024, impor minyak mentah China dari AS hanya menyumbang 1,7 persen dari total impor minyaknya. Artinya, kalau China makin keras dengan tarif minyak dan LNG dari AS, dampaknya bisa besar buat pasar energi AS karena harga minyak AS bisa jadi lebih mahal USD5-USD7 per barel (sekitar Rp80.000-Rp112.000) dibanding pesaing globalnya.

    “China pintar menargetkan minyak mentah dan gas alam cair dari AS, karena ini bisa membuat mereka benar-benar terlempar dari pasar China. Tambahan biaya USD5-USD7 per barel bikin minyak AS gak kompetitif lagi,” ujar Kilduff.

    Di tengah kekacauan tarif, laporan dari American Petroleum Institute (API) menunjukkan stok minyak mentah dan bensin AS meningkat, sementara stok bahan bakar distilat turun.

    Menurut sumber anonim yang mengutip data API, stok minyak mentah naik 5,03 juta barel dalam pekan yang berakhir 31 Januari. Kemudian stok bensin meningkat 5,43 juta barel dan stok bahan bakar distilat (seperti solar dan bahan bakar pemanas) turun 6,98 juta barel

    Data ini makin menambah volatilitas di pasar minyak karena meningkatnya stok minyak bisa memberi tekanan tambahan ke harga di tengah perang dagang yang belum jelas arahnya.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Moh. Alpin Pulungan

    Asisten Redaktur KabarBursa.com. Jurnalis yang telah berkecimpung di dunia media sejak 2020. Pengalamannya mencakup peliputan isu-isu politik di DPR RI, dinamika hukum dan kriminal di Polda Metro Jaya, hingga kebijakan ekonomi di berbagai instansi pemerintah. Pernah bekerja di sejumlah media nasional dan turut terlibat dalam liputan khusus Ada TNI di Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto di Desk Ekonomi Majalah Tempo.

    Lulusan Sarjana Hukum Universitas Pamulang. Memiliki minat mendalam pada isu Energi Baru Terbarukan dan aktif dalam diskusi komunitas saham Mikirduit. Selain itu, ia juga merupakan alumni Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau (2022).