KABARBURSA.COM - Harga minyak dunia melemah pada perdagangan Kamis waktu Amerika atau Jumat dini hari WIB, 7 Februari 2025, setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali mengulang janji untuk meningkatkan produksi minyak domestik. Pernyataan ini langsung bikin pasar waswas, apalagi sehari sebelumnya data menunjukkan stok minyak mentah AS melonjak jauh di atas ekspektasi.
Dilansir dari Reuters di Jakarta, Jumat, Kontrak berjangka Brent Crude turun 32 sen atau 0,4 persen, ditutup di USD74,29 (sekitar Rp1,19 juta) per barel. Sementara itu, West Texas Intermediate (WTI) juga melemah 42 sen atau 0,6 persen, berakhir di USD70,61 (sekitar Rp1,13 juta) per barel.
Trump dalam pidatonya Kamis kemarin kembali menegaskan komitmennya untuk mendorong produksi minyak AS—yang sudah menjadi yang terbesar di dunia—dengan tujuan menekan harga energi dan meredam inflasi di tingkat konsumen.
Awalnya, harga minyak sempat menguat sebelum akhirnya balik arah setelah pernyataan Trump. Meski begitu, para analis masih skeptis apakah produsen minyak AS benar-benar bakal tergoda untuk menambah produksi dalam kondisi pasar saat ini.
“Tidak ada tanda-tanda percepatan aktivitas pengeboran di AS,” kata analis UBS, Giovanni Staunovo. Ia mengaku heran dengan reaksi pasar yang begitu cepat terhadap komentar Trump.
Tekanan terhadap harga minyak juga datang dari meningkatnya persediaan minyak mentah AS. Harga minyak global sempat anjlok 2 persen pada Rabu, 5 Februari 2025, setelah laporan pemerintah menunjukkan stok minyak mentah domestik naik 8,7 juta barel dalam sepekan—jauh di atas ekspektasi analis yang hanya memperkirakan kenaikan 2 juta barel.
Analis Macquarie bahkan memperkirakan stok minyak AS masih akan bertambah besar lagi dalam laporan pekan ini. Jika prediksi ini benar, tekanan terhadap harga minyak bisa semakin berat dalam waktu dekat.
Trump Bikin Harga Makin Sulit Ditebak
Perdagangan minyak mentah masih bergejolak. Harga sempat menguat di awal sesi setelah Saudi Aramco—perusahaan minyak negara Arab Saudi—menaikkan harga jual ke pembeli di Asia secara signifikan. Selain itu, harga minyak juga terdorong oleh sanksi baru Amerika Serikat terhadap individu dan entitas yang diduga memfasilitasi pengiriman minyak Iran ke China.
“Peringatannya sudah keluar—jika Anda adalah kilang atau pengirim yang mengangkut minyak Iran, dalam bentuk apa pun, siap-siap kena sanksi dari Departemen Keuangan AS,” kata analis dari Price Futures Group, Phil Flynn.
Dalam jangka pendek, pasar minyak diprediksi tetap liar. Perdagangan global kini semakin dipengaruhi oleh kebijakan Donald Trump yang berubah-ubah soal tarif dan sanksi ekonomi. Pada Senin, Trump tiba-tiba menangguhkan ancaman tarif tinggi terhadap Meksiko dan Kanada, tetapi pada Selasa, tarif baru terhadap impor dari China mulai diberlakukan.
Sementara itu, kebijakan Trump terhadap Iran juga makin tak menentu. Di satu sisi, ia kembali memperketat kampanye tekanan maksimum terhadap Teheran, tetapi di sisi lain, ia masih membuka kemungkinan untuk mencapai kesepakatan dengan negara itu. “Satu-satunya kepastian di pasar minyak adalah bahwa komentar Trump akan terus menjadi pemicu volatilitas,” ujar Staunovo.
Sejak Trump dilantik pada 20 Januari, harga minyak mentah Brent sudah merosot lebih dari 8 persen, sementara West Texas Intermediate (WTI) turun lebih dari 7 persen. Gejolak ini tampaknya belum akan berakhir dalam waktu dekat.
Tren Menurun
Harga minyak dunia sehari sebelumnya juga mengalami tekanan berat. Pada perdagangan Kamis dini hari WIB, harga minyak mencatat penurunan lebih dari 2 persen. Penyebab utamanya tentu karena lonjakan persediaan minyak mentah dan bensin di Amerika Serikat. Sementara itu, ketegangan dagang baru antara Washington dan Beijing makin memperburuk ketidakpastian di pasar energi global.
Minyak mentah berjangka Brent di hari itu turun USD1,59 atau 2,09 persen ke level USD74,61 per barel. Sedangkan minyak mentah berjangka WTI acuan harga minyak di Amerika Serikat, anjlok lebih dalam USD1,67 atau 2,3 persen hingga menyentuh USD71,03 per barel.
Data dari Badan Informasi Energi AS (EIA) menunjukkan peningkatan besar dalam stok minyak mentah pekan lalu, yang sebagian besar disebabkan oleh lesunya permintaan bensin. Banyak kilang akhirnya menurunkan produksi dan lebih memilih menjalankan pemeliharaan rutin ketimbang memompa minyak dalam kondisi permintaan yang lemah.
“Kilang-kilang saat ini tidak punya kebutuhan mendesak untuk minyak mentah karena permintaan bensin sedang lesu,” ujar mitra di Again Capital, New York, John Kilduff.
Bukan cuma faktor internal AS, tetapi juga gejolak geopolitik yang makin panas ikut mengguncang harga minyak. China, sebagai konsumen energi terbesar dunia, baru saja melancarkan serangan balasan tarif impor terhadap minyak, gas alam cair (LNG), dan batu bara asal AS. Kebijakan ini diambil setelah Washington lebih dulu mengenakan tarif pada ekspor China.
Akibatnya, pasar minyak langsung merespons negatif. Harga WTI sempat anjlok hingga 3 persen, menyentuh level terendah sejak 31 Desember 2024. “Pemberlakuan tarif ini bakal bikin China mengalihkan permintaan energi mereka ke pemasok lain, yang bisa mengguncang keseimbangan suplai dan permintaan minyak global,” kata Presiden Lipow Oil Associates, Andrew Lipow.(*)